Sunday, April 30, 2017

Diary Waktu



“Apa yang kau takutkan lagi dengan hari esok? Dengan kepanikan-kepanikan yang kau ciptakan lebih dini dari yang seharusnya terjadi? Barangkali ada yang ingin kau tulis, tulislah di sini. Anggap ‘Aku’ sebagai penampung semua keluh kesahmu, anggap ‘Aku’ sebagai obat penenangmu. Coba ceritakan tentang gelisahmu, tentang murungmu, tentang rasa cemasmu yang tak kunjung usai. Ceritakan padaku semuanya!”
Diary Waktu.  

Aku sedang mencari ujung dari sebuah pertarungan waktu, tatkala rasa-rasa itu semakin liar mengurungku pada setiap titik yang tengah aku pijak.
Dan pada setiap garis yang tak memiliki batas, terkadang aku lupa bahwa ada sesuatu yang harus segera diakhiri, kesedihan..

Apa itu kesedihan? Mulanya aku diserang oleh rasa panik yang mengguncang dada, lalu gelisah dan cemas berkejaran sehingga menimbulkan bulir-bulir keringat dan rasa mulas diperut. Lalu semua menjadi buntu dan pikiran kemudian tercerai berai menjadi cabang-cabang yang beranak-pinak menjadi satu kesatuan rasa, putus asa..

TIDAK! Tak pernah aku kenali apa itu putus asa. Hanya saja kadang-kadang, kita tersungkur pada jurang kelelahan. Merasa tak tau lagi apa yang harus dilakukan. BUNTU.
Hingga seringkali, diam menjadi satu-satunya cara untuk bisa mengambil keputusan. Menjadikannya rem untuk setiap kepanikan yang tak bisa dikendalikan.

KENAPA? Aku selalu bertanya untuk setiap proses yang menyakitkan yang tak pernah tau kapan akan berakhir. 
Jarum jam adalah saksi di mana aku terus menatapnya. Berusaha memintanya mundur atau berhenti sesaat, tapi ia tak pernah bisa. WAKTU TIDAK BISA MEMBERIKAN TOLERANSI.
Dia terus bergerak, tak peduli betapa kita sangat ketakutan menghadapi badai yang akan segera datang menerjang. Ia tak peduli dengan ketidak siapan kita saat harus bertarung tiba-tiba. Waktu adalah guru paling disiplin yang mengajarkan kita untuk harus selalu siap dalam menghadapi apa yang seharusnya kita hadapi.

Perihal waktu, dia tidak pernah iba dengan tangisan yang merengek-rengek atau keluh kesah yang hampir tak memiliki titik untuk diakhiri. Waktu terus berjalan, bahkan di saat kita diam dan meminta sedikit jeda kepadanya.
KEJAM? Sepertinya begitu jika kita melihatnya hanya dari satu sudut pandang, tapi tidak ketika akhirnya kita tau bahwa selama ini kita yang terlalu bermanja-manja dalam antrian waktu. Merasa cukup persediaan untuk bisa menundanya sesaat, padahal tak pernah ada yang tau berapa lagi sisa persediaan yang kita miliki untuk bisa mencapai finish.
Lalu pada detik-detik terakhir itu barulah kita sadar bahwa waktu tak pernah mau berkompromi. Hingga babak-babak yang seharusnya kita selesaikan di awal, mau tak mau semua harus diselesaikan di akhir. Dan di titik akhir itu, kadangkala terjadi pertarungan sengit antara semangat dan putus asa, menyerah atau pasrah, hingga ujung-ujungnya kita mengharapkan suatu keajaiban.

Lalu, siapa yang patut disalahkan untuk semua kejadian itu? Bahkan ketika semua harus terulang dan terulang lagi pada babak-babak baru di mana kita diberikan cukup banyak waktu?

Adalah terlalu naif untuk mengatakan bahwa diri kita sendirilah dalang dari setiap persoalan ini. Diri yang seringkali ingin bersenang-senang padahal kita tau bahwa beberapa menit lagi akan segera datang badai yang tidak jelas dari mana arahnya. Kita berleha-leha, seakan memiliki ribuan menit untuk bisa menghentikan badai itu sesaat. Kita berleha-leha, seakan bisa melakukan negosiasi dengan badai yang kelak akan menghantam kita sejadinya.
 Tapi, terlambat. Semua kemudian menjadi tak terkendali, dan apa yang telah kita bangun selama ini lalu hancur tak tersisa dan hanya memberikan airmata sebagai kenang-kenangan terakhir dari apa yang selama ini kita upayakan.

Selesai. Dan sekarang kita berada lagi di sana. Berharap-harap cemas dan menebak-nebak apakah yang akan kita hadapi kali ini. Apakah tsunami, angin puting beliung, atau gempa?Kita tak bisa menerkanya.