Monday, March 20, 2023

SURI (Bagian 18)

 


Minder adalah satu kata yang sudah menjadi musuh bebuyutanku selama ini. Betapa tidak, perasaan inferior yang membunuh kepercayaan diriku saat berhadapan dengan orang lain itu kemudian menjadi momok yang sangat menakutkan ketika aku harus bergaul dengan orang lain yang mempunyai sesuatu yang lebih dariku, seperti wajah dan penampilan.

Aku memang selalu tidak percaya diri ketika harus berhadapan dengan perempuan cantik dan menawan karena aku akan merasa grogi dan deg-degan berada didekatnya. Begitupun juga ketika aku harus berhadapan dengan laki-laki yang tampan, aku akan merasa tidak percaya diri seketika dan merasa dia akan menelan diriku hidup-hidup, sehingga aku ingin bersembunyi dan menjauhi semua orang. Aneh memang, aku juga tidak mengerti kenapa aku harus merasakan hal seperti ini, apalagi sekarang aku bergelut didunia bisnis yang memaksaku untuk bisa bergaul dengan siapapun.


“Kamu kenapa harus jelous sama Teo sih?”


Tanya Suri tiba-tiba ketika kita sudah berada diruanganku. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku dan menatapku dengan mimik wajah serius. Aku yang tidak biasa ditatap dengan jarak sedekat itu, lalu mencoba memalingkan wajahku darinya. Tangan Suri lalu dengan spontan membalikkan wajahku kembali sehingga kini aku berhadapan lagi dengan dia. Suri lalu melumat bibirku dengan sangat bernafsu.


“Ini di kantor sayang!”


Ucapku seraya menghentikan ciuman Suri.


“Siapa bilang di bioskop!”


Ujarnya dengan wajah kesal karena aku menghentikan keinginannya untuk berciuman lebih lama lagi.


“Liat deh di serial-serial, kalau ciuman atau aneh-aneh dikantor itu suka ada yang ga sengaja denger di belakang pintu atau ngintip. Kalo sampe itu terjadi, mau aku taruh dimana mukaku?”


Jelasku yang dulu sering menonton serial dan tidak ingin hal serupa yang sering terjadi diserial kemudian terjadi padaku.


“Diserial banyakan yang kepergok itu orang yang lagi pacaran atau selingkuhan. Nah, kita ini suami istri. Kita juga pimpinan perusahaan, jadi ga akan ada yang berani negur atau mengkritik.”


Jawab Suri yang tidak pernah mau mengalah. Aku lalu tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan kalau sedang jutek seperti itu. Tanganku kemudian menarik tubuhnya ke arahku, aku lalu membalas ciuman Suri.


“Tapi, kita harus punya etika sayang!”


Bisikku sesaat setelah berciuman.


“Contohnya punya etika itu seperti kamu ya ngumpet di Café disaat harus bertemu orang-orang penting tadi?”


Sindir Suri yang kini cekikkan dan merasa puas ketika dia harus membalikkan ucapanku sendiri tentang etika.


“Kamu emang paling jago kalau balikin omongan orang!”


Ucapku seraya tertawa dan kemudian menggelitik ketiaknya.


“Ihh geli tau! Nanti nafsu makanku turun kalau digelitikin terus!”


Aku lalu menarik tubuhnya hingga menindih tubuhku yang terbaring di atas sofa. Tanganku kemudian medekatkan wajahnya ke arahku, lalu aku berbisik di telinganya.


“Yang penting bukan nafsu di atas ranjang aja yang menurun,hehe”


Candaku yang membuat wajah Suri memerah seketika.


“Ihh kamu nakal banget!”


Ujar Suri sambil menggelitikku yang masih berbaring di bawahnya. Aku yang merasa geli, tanpa sengaja memegang pantat Suri dan meremasnya. Kita lalu berpandangan seperti merasakan sesuatu yang mulai berdesir. 

Libidoku kemudian naik disaat Suri menggesekkan kemaluannya di atas kemaluanku. Mataku merem melek dibuatnya. Tanganku lalu meremas payudara Suri dan mencoba membuka kancing bajunya. Namun, belum sempat aku membuka kancing baju Suri, seseorang terdengar mengetuk pintu sehingga membuatku dan Suri kaget dan cepat-cepat merapikan baju. Aku lalu duduk di belakang meja kerjaku, sedang Suri masih duduk di sofa.


“Masuk!”


Teriakku kepada seseorang di balik pintu yang tidak aku ketahui siapa. Seorang laki-laki yang bak aktor Korea itu lalu muncul dihadapanku. Teo tersenyum ke arahku dan Suri, membuatku semakin geram melihatnya karena dia mengganggu aktivitasku saat sedang ingin menyalurkan hasrat yang kini harus aku tahan karena kehadirannya.


“Lagi-lagi orang ini!”


Gerutuku dalam hati yang merasa tidak pernah nyaman dengan kehadiran Teo.


“Maaf mengganggu, saya mau pamit dulu! Dan pembicaraan kita tadi perihal Sarana Olahraga, nanti aku lanjut minggu depan, kebetulan ada investor juga yang tertarik dengan bisnis kita. Nanti aku kenalin sekalian.”


Teo kemudian berlalu dari hadapanku tanpa berbicara panjang lebar lagi. Suri kemudian mengantarkannya ke luar.


“Mau lanjut?”


Tanya Suri ketika dia sudah berada diruanganku kembali.


“Udah ga nafsu!”


Jawabku singkat dengan wajah cemberut. Suri hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya melihat raut wajahku yang berubah seketika saat melihat Teo.

***


“Kamu kenapa sih jelous sama Teo?”


Tanya Suri kembali ketika kita berada di mobil dalam perjalanan pulang.

“Aku ga jelous, cuma minder aja!”


“Hah? Ko bisa?”


Suri kebingungan mendengar jawabanku yang merasa minder di depan Teo. Aku lalu menjelaskan masalah minder yang aku alami sejak dulu, namun aku tidak menjelaskan alasan kenapa aku minder kepada Teo, sebab aku merasa gengsi jika harus mengakui kalau Teo terlihat lebih unggul dibanding aku. 

Suri lalu mengangguk mendengar penjelasan dariku tentang masalah minder ini.


“Eh kita berhenti dulu ya. Aku pengen ke sana!”


Aku kemudian menghentikan mobilku dan tanganku menujuk ke pasar malam yang sudah ramai oleh pengunjung. Suri lalu menoleh dan melihat pasar malam itu, lalu dia melihatku dengan wajah semakin bingung?


“Kamu mau beli apa di pasar malam?”


Aku tersenyum mendengar ucapan Suri. Dan tanpa banyak basa basi, aku lalu membuka pintu mobil dan mengajaknya ke luar.


***


“Kamu suka aromanis?”


Tanya Suri yang melihatku yang semangat makan aromanis dengan wajah sumringah seraya melihat wahana-wahana permainan yang ada di pasar malam.


“Aromanis dan pasar malam cuma ngingetin aku aja sama masa kecil.”


Aku lalu menyodorkan aromanis itu ke mulut Suri. Dia lalu ikut makan besamaku. Kita lalu tertawa karena sudah bertingkah seperti anak kecil dengan makan aromanis di pasar malam seperti ini.


“Oya, tadi kamu bilang minder sama Teo? Ko bisa?”


Tanya Suri kembali yang masih penasaran dengan jawabanku. Aku tidak segera menjawabnya dan hanya menarik tangannya menuju wahana bianglala.


“Naik itu yuk! Waktu kecil aku takut banget naik bianglala, sampe nangis-nangis di dalem dan nyubitin paha sepupuku karena aku takut ketinggian. Sekarang aku pengen tau apa aku masih takut atau engga,hahaha.”


Suri tertawa mendengar aku menangis saat naik bianglala. Dia lalu mengangguk dan mengiyakan permintaanku untuk naik bianglala bersamanya.


“Rasanya beda ya! Ternyata sekarang aku ga takut lagi naik bianglala.”


Ujarku kepada Suri saat kita masih berada diwahana itu.


“Ya mungkin karena kamu sekarang udah dewasa sayang.”


Aku mengangguk mendengar ucapan Suri. Pikiranku kemudian  kembali ke masa kecil dan teringat kembali saat aku ingin naik semua wahana di pasar malam, namun tanteku melarangnya. Padahal sepupuku yang pergi bersamaku diperbolehkan naik wahana apapun yang dia mau. Tanteku beralasan bahwa sepupuku membawa uang lebih banyak dari ibunya, sedangkan aku tidak. Kenangan itu kemudian melekat dalam ingatanku sampai saat ini. Sebuah pengalaman pahit masa kecil ketika aku dibeda-bedakan dalam keluarga hanya karena masalah uang.


“Ko melamun?”


Tanya Suri tiba-tiba yang melihatku hanya diam membisu.


“Ah ga apa-apa. Aku cuma inget masalalu aja.”


Jawabku kepada Suri seraya tersenyum.


“Kamu kayanya cocok jadi ahli sejarah deh!”


Celetuk Suri sambil  nyengir.


“Kenapa?”


“Soalnya ingatan kamu itu kuat banget tentang masalalu. Seolah-olah kamu adalah tokoh masalalu yang hidup saat ini. Raga kamu emang ada dihadapan aku sekarang, tapi hati dan perasaan kamu kayanya masih terjebak di masalalu. Jadi, kamu cocok menjadi ahli sejarah yang selalu membahas masalalu, bukan masa depan.”


Aku terhenyak mendengar kata-kata Suri yang kemudian menampar kewarasan aku yang selalu hidup dimasalalu.


“Terus masalah minder, aku yakin ini pasti ada kaitannya dengan masalalu kamu, terutama masa kecil kamu. Besok pokoknya kita bahas ini kepada psikolog!”


Tambah Suri yang lagi-lagi membahas masalah aku yang harus segera konsultasi ke psikolog.


“Boleh, asal psikolognya ga cantik atau ganteng. Kalau bisa bapak-bapak atau ibu-ibu yang udah tua, jadi aku bisa fokus.”


Ungkapku kepada Suri yang menginginkan psikolog sesuai kriteria yang aku mau.


“Psikolognya janda beranak dua yang wajahnya mirip Agnes Monica!”


Ucap Suri sambil berjalan menuju mobil dan meninggalkanku yang masih terpaku mendengar ucapannya tentang psikolog yang mirip dengan Agnes Monica.


“Hei tunggu! Terus psikolognya mau jadi istri kedua ga? Hahaha.”


Teriakku menggoda Suri yang sudah berada di depan pintu mobil dan hendak masuk. 


“Psikolognya lesbi, jadi ga mau nikah sama cowo, apalagi jadi istri kedua. Jadi, jangan ngarep deh!”


Ujar Suri membalas candaanku seraya masuk ke dalam mobil.


“Ada-ada aja emang Suri, selalu punya cara bikin aku ketawa!”


Gumamku sambil tertawa dan menghampirinya yang sudah berada di dalam mobil.

***


Bianglala berbicara lebih banyak dari sekedar wahana yang berputar di bawah gelapnya malam. Putarannya kemudian membawaku pada dimensi segitiga bernama rahasia. Sebuah ruang dimana aku mengoleksi banyak airmata yang dibalut dengan tawa. Bersembunyi di balik topeng ketika kata “ceria” menjadi istilah paling mahal yang tidak bisa aku dapatkan cuma-cuma. 

Oh, Bianglala.. 

Jangan kembali membawa luka!

Aku sedang ingin tertawa!


Bersambung..

 

No comments:

Post a Comment