Wednesday, March 22, 2023

SURI (Bagian 19)

 


Keluarga Dee sudah berada di Bandara pagi ini dan bersiap untuk pulang ke Bali. Mereka berpamitan dan berjanji akan mengabariku secepatnya perihal progress adopsi anak. Sebelum pergi, aku menyempatkan diri membeli oleh-oleh untuk Tissa dan Arka. Aku membelikan boneka dan mobil-mobilan. Tissa yang memang sudah berusia tiga tahun sangat girang diberi boneka Teddy Bear yang memakai baju tuksedo berwarna biru, warna kesukaan almarhum ibunya.


“Maacih om! Tica cuka bonekanya!”


Celetuk Tissa dengan cadel, sehingga membuat kita semua yang mendengarnya tertawa. Aku lalu menggendong dan mencium anak balita yang menggemaskan itu. Dia masih tertawa seraya memperlihatkan gigi kelincinya.


“Nanti jangan panggil om ya, tapi panggil papa!”


Pintaku kepada Tissa yang sebentar lagi akan menjadi anakku. Suri lalu ikut mendekat kepada Tissa dan mengelus rambutnya.


“Nanti panggil tante, mama ya!”


Ucap Suri menambahkan. Suri lalu menggendong Tissa bergantian dengan aku. Sedangkan Arka masih tertidur dari tadi dipangkuan neneknya.


“Iya om papa sama tante mama. Tica pulang dulu. Dadah!”


Kita semua tertawa mendengar Tissa memanggil aku dan Suri dengan sebutan Om Papa dan Tante Mama. Ada-ada saja memang tingkah anak kecil selalu membuat orang dewasa terhibur dibuatnya.

***

Setelah mengantar keluarga Dee ke Bandara, Aku dan Suri langsung pergi ke kantor. 

Sepanjang perjalanan, Suri terus membahas kelucuan Tissa sehingga tidak sabar untuk segera memiliki anak.


“Kebayang ya kalau nanti kamu punya anak kandung sendiri, wajahnya pasti cantik dan ganteng banget. Cuma, kalaupun nanti kita punya anak kandung, sebisa mungkin kita tidak membeda-bedakan kasih sayang antara anak angkat sama anak kandung ya!”


Ucapku kepada Suri yang masih sibuk melihat video-video lucu Tissa di handphonenya. Dia kemudian menoleh ke arahku dan mengiyakan permintaanku untuk tidak membeda-bedakan anak.


“Iya dong sayang, aku ga akan beda-bedain anak, mau itu anak kandung atau anak angkat, semuanya sama aja. Aku bakal ngasih yang terbaik buat mereka. Tapi, ngomong-ngomong soal masalah anak kandung, kayanya aku belum siap. Aku takut banget liat proses orang melahirkan, hehe.”


Aku tertawa ketika mendengar Suri yang sangat takut dengan proses melahirkan. Aku tidak merasa aneh mendengarnya, sebab dulu akupun merasakan hal serupa ketika statusku masih seorang perempuan, yaitu takut membayangkan harus mengeluarkan seorang bayi dari vaginaku.


“Oya sayang, aku ga maksa kamu harus punya anak dari aku ya. Kita mengalir aja, kalau dikasih sama Allah ya alhamdulilah, kalau ga ya ga apa-apa. Kita masih bisa adopsi banyak anak-anak yang ga punya orangtua atau anak-anak yang kurang mampu. Aku nikah sama kamu juga bukan karena pengen punya anak. Aku ingin kita bisa tumbuh bersama sampai tua dengan saling menyayangi. Masalah anak itu bonus.”


Jelasku kepada Suri yang kini mulai menaruh tangannya di atas pahaku dan menatapku dengan tatapan seperti orang yang tengah jatuh cinta.


“Oh, so sweet banget sih suami aku ini! Tapi, awas aja kalau masalah aku yang belum siap punya anak kandung, nanti jadi alasan kamu buat poligami. Aku langsung bakal minta cerai kalau kamu berani-berani selingkuh dibelakang aku!”


Aku merinding mendengar kata-kata cerai yang keluar dari mulut Suri. Dasar Suri, baru aja dia memuji aku sebagai suami yang sweet, eh ujung-ujungnya jadi mengancam bakal minta cerai kalau aku selingkuh dan poligami. Untuk masalah selingkuh, Suri memang tidak pernah main-main dengan ucapannya, sehingga aku juga tidak berani berbuat macam-macam dibelakang dia.


“Siapa sih yang berani nyelingkuhin bidadari yang cantiknya udah ngalahin Cleopatra ini? Ga ada yang lebih cantik dari kamu lagi, mau itu lebih cantik wajahnya atau hatinya. Kamu itu paket komplit, jadi aku bakal setia sampai mati,hehehe.”


“Emang kamu udah liat Cleopatra? Palingan kamu taunya juga Mak Icih atau Mak Erot,hahaha. Kalau ngegombal itu jangan terlalu ketinggian, kurang ngena soalnya. Terus aku tuh bukan cewek yang bisa luluh sama gombalan, tapi..”


“Sama tusukan ya? Hahahaha.”


Balasku yang memotong ucapan Suri dan bergantian menggodanya.


“Kalau ditusuk terus nanti mati! Mending dijilat aja deh, rasanya geli-geli nikmat, hahahaha.”

““Masa iya kalau mati bunyi uh, oh, ah, terus merancu “Jangan berhenti sayang! Terus sayang!” Itu namanya keenakan, bukan mau mati,hahahahaha.””


Suri lalu mencubit pahaku karena aku terus menggodanya sambil tertawa.


“Kalah ngomong ya? Hehehehe.”


Tanya aku saat melihat Suri yang tidak membalas ucapanku dan malah tersipu malu-malu.

“Bukan kalah ngomong, cuma aku takut kalau ngelanjutin bahasan soal tusuk menusuk atau jilat menjilat, nanti ada yang membesar tuh dibalik celana kamu! Berabe kan kalau orang-orang nanti liat ada yang menonjol di bawah sana, dikira ada ular lagi sembunyi, hahaha.”


Suri tertawa lepas seakan puas telah membalas candaanku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat bidadari cantik di sampingku yang selalu punya cara untuk membuat aku tertawa.


“Okedeh kita ga usah bahas tusuk menusuk atau jilat menjilat. Tapi bahas hisap menghisap aja ya. Aku kan bayi kamu,hahahaha.”


“Iiiiih udah gede masih nenen, hahahhaa!!”


Kita lalu tertawa mendengar lagu itu lagi, membuat perjalanan menuju kantor yang sebetulnya macet menjadi tidak membosankan sama sekali karena aku memiliki istri kocak seperti Suri.

***


Sesampainya di kantor, Aku dan Suri kemudian masuk ke ruang kerjaku untuk memeriksa berkas-berkas yang harus ditandatangani. Belum sempat aku menandatangani semua berkas itu, Suri tiba-tiba menyuruhku untuk menutup mata. Aku tidak tahu kejutan apa lagi yang akan dia berikan sepagi ini. Aku hanya membayangkan bahwa Suri akan memberikan kejutan yang hot dan membuat libidoku naik, karena sepanjang jalan menuju kantor, kita terus membahas hal-hal yang menjurus ke hubungan intim.

Pikiranku kini berkeliaran kemana-mana. Aku membayangkan Suri memakai G-String dan bikini di depanku seraya menari striptis. Dia lalu menghampiriku dan membuka sleting celanaku, hingga tiba-tiba..

Imajinasiku lalu terhenti ketika Suri tiba-tiba menepuk pundakku.


“Sekarang buka mata kamu sayang!”

Ujar Suri yang seraya duduk di sampingku.


Dan alangkah terkejutnya aku, saat mataku terbuka, aku tidak melihat Suri memakai bikini dan G-String seperti dalam bayangnku. Tapi, yang aku lihat sekarang adalah seorang perempuan tionghoa yang memiliki wajah seperti Suga BTS sedang tersenyum ke arahku. Dia memakai kemeja putih dengan celana panjang berwarna pastel. Tangannya memegang tas dan blazer berwarna hitam. Rambutnya lurus sebahu dan berwarna pirang.


“Tasya?”

“Ini dia psikolognya sayang! Mulai sekarang, Tasya bakal jadi psikolog pribadi kamu sayang!”


Ucap Suri kepadaku yang masih melongo tak percaya. 

Aku memang sering curhat kepada Tasya yang merupakan seorang psikolog, namun yang aku lakukan adalah curhat layaknya curhat biasa kepada teman dan bukan konsultasi seperti ke psikolog. Aku sudah mengenalnya selama tiga tahun. Hanya saja kita jarang bertemu karena Tasya tinggal di Jakarta, sedangkan aku berada di Bandung. 

Terakhir kita bertemu di Bali saat aku menikah dengan Suri. Café milikku sekarang juga sebelumnya adalah milik sepupu Tasya yang bangkrut. Dan sekarang, Suri memilih Tasya untuk menjadi psikolog pribadiku. Ini sangat mengejutkanku. Aku yang sempat menyukai Tasya dan Tasya yang tau kisah hidupku dari awal hingga kisah-kisahku bersama mantan-mantanku, kini harus menjadi psikolog pribadi yang nanti akan banyak menghabiskan waktu bersamaku.


“Hai Indy, apa kabar? Udah jadi pengantin baru keliatan lebih cerah ya, hehe.”


Wajahku langsung memerah mendengar ucapan Tasya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Lidahku kelu dan tubuhku tiba-tiba berkeringat dingin. Inilah yang sering terjadi padaku jika aku harus berhadapan dengan seorang perempuan cantik.


“Bi.. bi.. biak!”


Ucapku terbata-bata dan salah menyebut kata “baik menjadi biak. Suri tertawa mendengarnya, sedangkan Tasya hanya tersenyum dan menutup mulutnya dengan tangan.


“Grogi ya? Atau salting?”


Tanya Suri seraya tertawa kembali, membuat wajahku yang sudah memerah kini semakin seperti udang rebus. Aku hanya diam dan tersenyum malu-malu dihadapan kedua wanita cantik itu.

Hari ini aku memang tidak langsung konsultasi masalah psikologis kepada Tasya karena Suri ingin lebih banyak menggali informasi tentangku dari Tasya. Suri juga sudah menyiapkan apartemen untuk Tasya selama dia berada di Bandung. 

Suri memang sangat peduli dengan kesehatan mentalku. Dia ingin agar aku bisa berdamai dengan masalalu dan menyembuhkan luka batin di masa kanak-kanakku. Untuk  itulah Suri sampai harus memanggil Tasya ke Bandung dan tinggal di sini untuk sementara waktu.


Oh Suri, kau adalah puisi yang aku pahat dalam hati, melodi yang aku senandungkan dalam nurani, dan bahagia yang aku awetkan dalam museum rasa. Kau adalah kupu-kupu yang menggelitik perutku setiap pagi. Menelurkan senyum dan tawa agar aku bisa berlari dan menggapai mimpi-mimpi.

Oh Suri, andai kita abadi!

Akan aku ucapkan kata-kata mencintai setiap hari.

Dan memelukmu hingga rambutmu memutih dalam kasih.

Kau adalah pelita bagi mataku yang kini buta

Dalam cinta..

Oh Suri,

Lagi-lagi aku jatuh hati!



Bersambung..



No comments:

Post a Comment