Dee masih menjilati klitoris milikku ketika aku juga dengan semangat menjilati miliknya. Posisi 69, ini adalah posisi paling digemari sebagian pasangan lesbian, tak terkecuali Dee. Tangan Dee kini meremas pantatku dan aku semakin menghujamkan badanku bagian bawah ke wajah Dee. Aku terus menggesek-gesekkan klitorisku ke lidahnya yang bermain semakin lincah, begitupun dengan Dee.
“Arrrghh..”
Erangannya terdengar tidak begitu jelas sebab mulutnya masih dengan sigap memainkan surga kenikmatan di bawah pusarku. Dan tidak menunggu lama kita lalu mengalami orgasme bersamaan. Mulutku sudah dipenuhi oleh cairan kenikmatan yang keluar dari vagina Dee, begitu juga dengan mulutnya. Kita lalu terkulai lemas di atas ranjang. Tubuh telanjang Dee sudah basah oleh keringat. Kita lalu saling memandang dan tersenyum sebelum akhirnya membersihkan diri dan tidur berpelukan hingga pagi.
***
Aku terbangun tiba-tiba dengan keringat membasahi tubuh dan nafas ngos-ngosan.
“Astaghfirullahaladzim.”
Ucapku sambil mengelus dada. Aku tidak menyangka bisa memimpikan Dee yang baru saja tiada dan mimpinya malah mimpi yang seperti itu.
“Bener-bener kotor pikiranku.”
Tambahku menggerutu karena aku merasa malu dengan mimpi barusan. Biasanya difilm-film, saat tokoh utama kehilangan orang yang dicintainya, maka dia akan memimpikan orang itu dalam adegan romantis atau sedih dan bukan adegan seks seperti dimimpiku. Aku lalu tertegun dan merasakan ada yang sudah berdiri di balik selimutku.
Suri tiba-tiba terbangun dan melihat aku yang kini sudah tampak dalam posisi duduk.
“Kenapa sayang? Kamu mimpi buruk?”
Tanya Suri seraya mengusap keringat diwajahku.
“Bukan mimpi buruk, tapi mimpi basah.”
Jawabku seraya nyengir malu-malu ke arah Suri. Suri yang mendengar itu lalu menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum manis ke arahku.
“Bisa-bisanya kebawa mimpi ya, padahal tadi kan kita udah lama banget ngelakuin itu. Dasar bayi besarku emang suka banget ngempeng,hehehehe.”
Suri lalu menyingkap selimut yang menutup tubuhku. Dia lalu duduk di depanku dan meraba sesuatu yang sudah menonjol di balik celana. Dia kemudian membuka celanaku, hingga penisku kini terpampang jelas di depan wajahnya. Ukurannya sudah membesar dengan urat-urat yang tampak menonjol dengan jelas. Tangan putih Suri lalu mengocoknya pelan-pelan hingga membuatku merasa geli. Tidak lama kemudian, Suri mendekatkan penisku ke mulutnya. Dia hendak mengulumnya. Belum sempat Suri memasukannya, tanganku kemudian menghentikannya.
“Jangan! Nanti kamu jijik…”
Ujarku yang tidak ingin melihat Suri melakukan oral sex. Suri tidak menggubris ucapaknku. Dia malah menepis tanganku dan memasukan kepala penis ke mulutnya. Aku hampir pingsan menahan rasa nikmat tak terkira ketika lidah lembut Suri menyentuh penisku untuk pertama kalinya. Rasanya benar-benar berbeda ketika penisku masuk dalam lubang kemaluannya. Suri lalu menjilati kantong buah zakar yang menggantung di sana. Rasanya benar-benar menggelitik. Suri lalu mempercepat gerakannya saat memainkan penisku dimulutnya. Semakin cepat, hingga aku tak kuasa menahan getaran hebat di sekujur tubuh yang membuat aku menggelinjang dan hampir meledakkan spermaku di mulutnya. Dengan Sigap, Suri lalu mengeluarkan penisku sebelum penis itu membanjiri mulutnya dengan sperma. Penisku lalu memancarkan sperma dengan cukup banyak di luar mulut Suri. Aku kemudian merasa lemas dan tersenyum lega karena sudah menuntaskan gairahku yang terpacu karena mimpi.
“Makasih sayang!”
Ucapku yang melihat Suri masih berada di depan penisku yang sudah mengecil lagi. Suri hanya mengangguk dan tersenyum manis. Dia lalu buru-buru pergi ke wastafel untuk menyikat gigi dan membersihkan wajah serta tangannya. Tak lama kemudian, Aku pun beranjak dari tempat tidur dan memeluk Suri dari belakang.
“Kamu mau juga ga?”
Bisikku menggodanya dengan malu-malu.
“Engga, aku tadi muasin kamu aja. Biar kamu bisa tidur nyenyak habis ini.”
Jawab Suri sambil terus menyikat gigi.
“Bener nih? Nanti malah kamu yang ga bisa tidur.”
Tanyaku sekali lagi untuk memastikan kalau Suri memang benar-benar tidak mau aku melakukan oral sex kepadanya.
“Iya. Kan sebelum tidur kita udah ngelakuin itu, jadi kayanya aku kecapean. Kalau mau, aku pasti bilang terus terang sama kamu. Kamu cepet mandi gih, bersih-bersih dulu.”
“Oke deh kalo gitu.”
Aku lalu mengecup pipi Suri dan beranjak pergi ke kamar mandi.
***
7 hari setelah kepergian Dee untuk selamanya, Aku dan Suri lalu pergi ke rumahnya lagi.
Dihadapan suami dan istri barunya yang tidak lain adalah seorang pelakor, kita kemudian menyampaikan maksud dan tujuan untuk mengadopsi kedua anak Dee.
Sontak suaminya menolak, namun aku terus membujuknya dengan melontarkan alasan positif. Aku dan Suri juga berjanji akan merawat dan membesarkan anak-anak Dee dengan baik.
“Maaf, kita ga bisa ngasih anak-anak ke orang lain. Liat aja kasus Engeline yang kemudian mati ditangan orang yang mengadopsinya.”
Aku geram dengan ucapan suami Dee yang menyamakan kita dengan orangtua asuh yang telah membunuh Engeline.
“Apa anak-anak itu akan jauh lebih baik diasuh oleh seorang pelakor yang membuat ibunya menderita dan meninggal dunia?”
Semua orang kaget mendengar ucapanku, tidak terkecuali Suri yang kemudian menoleh ke arahku dan memegang tanganku untuk meredakan gejolak emosi yang terus naik.
“MAKSUD ANDA APA?? JANGAN KURANG AJAR DAN SOK TAU YA DENGAN RUMAH TANGGA ORANG LAIN!!”
Suami Dee membentakku dengan keras seraya tangannya menggebrak meja. Matanya hampir saja keluar karena melotot dan urat-urat wajahnya tampak menegang. Wajahnya sangat menyeramkan seperti gorilla yang sedang mengamuk dan hendak memakanku.
“Tenang dulu pa! Maafkan kata-kata suami saya. Kita hanya bermaksud untuk merawat anak-anak itu. Suami saya sudah mengenal Dee dan keluarganya hampir lima belas tahun, jadi bapak tidak usah khawatir. Kita juga tidak akan memisahkan anak-anak dengan keluarga kandungnya. Bapak dan ibu coba rundingkan dulu saja, tidak usah terburu-buru memberikan keputusan. Ini kartu nama saya. Kalau nanti sudah berubah pikiran dan bersedia memberikan anak-anaknya untuk dirawat dan dibesarkan oleh kita, maka bapak dan ibu bisa menghubungi saya. Oya, ini saya juga ada sedikit uang untuk kedua anak bapak mudah-mudahan bermanfaat.”
Suri lalu menyodorkan sebuah plastik hitam yang berisi uang di dalamnya. Mata istri muda itu kemudian terbelalak dan terlihat senang ketika tumpukan uang kini berjejer dimatanya. Bukan hanya dia yang terkejut, aku juga kaget bukan main karena Suri tidak memberitahuku sebelumnya kalau dia membawa uang cash sebanyak itu.
“LIMA RATUS JUTA???”
Ujar si pelakor dengan girangnya setelah dia menghitungnya dengan cermat seolah dia tidak bisa mengendalikan diri yang begitu bernafsu melihat uang.
“Anda pikir saya bisa disogok dengan uang?? Maaf, mau berapapun uang yang anda berikan, saya tidak akan sampai hati menjual anak saya. Ibunya sudah tidak ada dan saya merasa sangat bersalah. Jadi, saya akan menebus kesalahan saya dengan cara merawat anak-anak sebaik-baiknya.”
Si pelakor kemudian memukul paha suaminya dan dia memasang raut wajah marah. Dia seakan tidak setuju dengan apa yang diucapkan suaminya. Suri hanya tersenyum melihat pasangan itu.
“Kita tidak berniat melakukan transaksi jual beli anak. Saya memberikan uang ini untuk bekal kedua anak Dee. Saya tidak memaksa bapak untuk menyetujui keinginan saya untuk adopsi. Saya murni memberikan uang ini hari tanpa harus membawa pulang anak-anak bapak. Kami hanya ingin melihat mereka tumbuh dengan baik dan berkecukupan. Jadi, bapak tidak perlu menolak pemberian kami. Sekali lagi saya meminta maaf karena telah lancang mengutarakan rencana adopsi ini disaat keluarga bapak masih berduka. Sekali lagi kami minta maaf dan kami pamit sekarang.”
Aku dan Suri kemudian berpamitan. Suami Dee masih terlihat emosi dan tidak tersenyum sedikitpun, sedang si pelakor kini sudah bersikap ramah dan begitu bersahabat, sampai-sampai dia memeluk Suri dan mengucapkan terimakasih berkali-kali.
***
“Kamu harusnya ngasih uang itu ke mamah atau neneknya Dee, bukan malah ke si pelakor gatal itu!”
Umpatku kesal kepada Suri. Suri hanya tersenyum sinis tanpa berkedip, seperti tokoh antagonis yang tersenyum licik dalam sinetron-sinetron.
“Sebab cuma si pelakor yang bisa mengambil hati suami Dee, bukan ibu atau nenek Dee. Kita liat aja, rencanaku bakal berhasil.”
Suri kemudian menoleh ke arahku dan mencoba meyakinkanku bahwa kita akan berhasil mengadopsi kedua anak Dee.
“Ga heran apa yang orang bilang ya kalau uang bisa beli segalanya, terutama bisa membeli hati seorang pelakor. Selamat sayang, hari ini kamu berhasil dapetin hatinya si pelakor tuh, hahaha!”
Aku dan Suri tertawa terbahak-bahak. Dia memukul pundakku karena mendengar ucapanku yang kocak. Kita lalu melanjutkan perjalanan menuju hotel.
Banyak hati kini menanggalkan pakaiannya untuk berlari pada kertas-kertas bertuliskan angka-angka. Nominal adalah seorang pangeran berkuda besi yang bisa mendapatkan hati putri raja tanpa harus bertarung habis-habisan.
Uang adalah sang pemenang bagi para pecundang yang bertahtakan kata “jalang”.
Ironis memang, seperti kata tulus yang telah benar-benar hilang.
Dimakan bunga bank!
Bersambung..
No comments:
Post a Comment