Aku sudah bersimpuh dikaki ibuku ketika kita baru saja sampai dirumah. Aku menangis dan meminta maaf berkali-kali seakan-akan aku akan berpisah dengannya pada hari ini. Tidak, bukan karena aku akan pergi atau ibuku yang akan pergi, hanya saja aku ingin bersujud dikaki seorang perempuan luar biasa yang sudah berjuang untukku hingga detik ini. Kita hanya punya hari ini dan besok belum tentu menjadi milik kita. Oleh karena itu, aku berusaha memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.
“Maafin aku ya mah!”
Itulah kata-kata yang terus aku ucapkan kepada ibuku. Dia hanya mengangguk dan memelukku seperti pelukan belasan tahun yang lalu yang hangatnya msih terasa hingga sekarang.
“Mamah selalu maafin semua anak-anak mamah dan mamah selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian siang dan malam!”
Aku lalu memperkenalkan Tissa dan Arka yang sudah menjadi anakku kepada ibuku. Dia terlihat bahagia karena sekarang memiliki dua cucu yang lucu-lucu.
“Tissa, kenalin ini nenek kamu sekarang. Nanti Tissa panggil nenek ya!”
Ucapku kepada Tissa yang kini langsung digendong oleh ibuku.
“Duh lucunya ya cucu nenek, hehe.”
Ibuku lalu menciummi pipi Tissa yang sedang digendongnya.
“Nenek, Tica mau es cim!”
Kita semua kemudian tertawa karena Tissa selalu meminta es krim kepada siapapun yang dia temui dan sekarang dia meminta es krim kepada ibuku yang baru saja menjadi nenek barunya.
“Ya udah nanti nenek beliin Tissa es krim ya.”
Tissa lalu bertepuk tangan dan tertawa dengan girang dipangkuan ibuku.
“Maacih nenek, Tica cayang nenek!”
Celetuk Tissa seraya mencium pipi ibuku. Ibuku tertawa dan mencubit pipi Tissa gemas karena Tissa sangat lucu.
“Jangan dibeliin es krim mah, tadi soalnya Tissa udah beli es krim sama aku. Jajan yang lain saja, soalnya takut dia sakit perut.”
Ucapku kepada ibu yang sudah bersiap mau pergi ke warung bersama Tissa.
“Ih papa jaat! Tica maunya es cim!”
Kita semua tertawa lagi mendengar Tissa yang tiba-tiba bilang aku jahat karena sudah melarang ibuku untuk membelikannya es krim.
“Ya udah tapi sekali ini lagi aja ya!”
Tissa lalu mengangguk dan pergi bersama ibuku.
***
Acara syukuran kemudian berlangsung dengan meriah dan banyak sekali anak-anak yang datang. Selain anak-anak dari panti asuhan, aku juga mengundang anak-anak penyandang disabilitas, dan anak-anak jalanan yang biasa ngamen dan meminta-minta dijalanan. Mereka semua terlihat bahagia ketika aku membagikan makanan dan boneka yang tadi aku beli. Sedang untuk anak laki-laki, aku memberi mereka mobil-mobilan. Aku tadi membeli mobil-mobilan secara mendadak karena tidak tahu jumlah pasti anak laki-laki yang bisa datang hari ini. Selain itu, aku juga memberi mereka amplop berisi uang.
“Sayang, aku bahagia banget bisa mengadakan acara seperti ini. Aku bahagia karena bisa melihat semua anak-anak tersenyum.”
Ujarku kepada Suri yang juga terlihat sumringah melihat banyak anak-anak berkumpul di sini dengan perasaan bahagia.
“Iya sayang, aku juga mau mengadakan acara seperti ini rutin. Aku pengen melihat setiap anak bisa tersenyum dan menghabiskan masa kecilnya dengan penuh keceriaan.”
Aku lalu merangkul Suri karena merasa bersyukur dengan dia yang selalu sejalan dan terus mendukungku dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang bermanfaat untuk orang lain.
Ketika aku sedang asik-asiknya melihat anak-anak tertawa dan bercanda ketika MC mengadakan games untuk mereka, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki dengan tubuh tambun dan kepala plontos masuk ke dalam rumah dan berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat geram dengan kedua mata melotot dan urat-urat wajah yang terlihat menegang. Dia terus mendekat, mendekat, dan…
“BUKKKKKK!!!”
Pria itu menonjok wajahku hingga aku tersungkur dan hidungku mengeluarkan darah.
“Arrrrrrghhhhhh!!!”
Semua orang diruangan ini menjerit melihat aku ditonjok dengan tiba-tiba. Pria itu lalu menarik kerah bajuku dan memelototiku seperti monster yang siap menerkamku.
“Heh elu cowo bajingan yang kemarin sore baru kawin itu ya? Berani-beraninya sekarang mau ngambil bini gue!! Gue hajar sampai mampus!!”
Pria botak itu lalu memukulku berkali-kali, sampai kemudian satpam datang dan memborgol tangan pria itu. Dia terus memberontak dan berteriak-teriak sehingga membuat anak-anak ketakutan.
“INGET SEKALI LAGI KALAU MASIH GANGGU ANNA, GUE GA SEGAN-SEGAN HABISIN NYAWA LO!”
Pria itu kemudian dibawa oleh satpam ke kantor polisi karena dia tiba-tiba menganiayaku. Semua orang kini menghampiriku yang masih berlumuran darah.
“Sayang, kita ke rumah sakit sekarang!”
Suri lalu membopong badanku dan yang lainnya juga ikut membantu.
“Anak-anak tolong dihibur dulu! Jangan sampai kejadian ini membuat mereka shock dan ingatannya tentang kekerasan mengendap dalam alam bawah sadar.”
Ucapku kepada MC yang terlihat iba melihatku yang penuh dengan darah yang keluar dari hidung.
Dari jauh aku melihat Anna menangis karena ketakutan melihat sikap kasar suaminya dan Anna juga merasa bersalah kepadaku. Dia lalu menghampiriku dan ikut mengantarku ke rumah sakit.
“Maafin Anna!”
Ujar Anna kepadaku seraya menangis sesenggukan. Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum, walau wajahku merasa kesakitan.
Aku langsung dibawa ke rumah sakit oleh Suri dan yang lainnya untuk divisum dan diobati. Aku ingin agar suami Anna cepat diproses oleh pihak berwajib sampai ditahan.
Dalam perjalanan, Anna tidak berhenti menangis. Suri lalu memegang tangannya agar Anna sedikit merasa tenang.
“Maafin aku ya! Gara-gara aku, Indy dipukul dihadapan semua orang. Aku takut setelah ini keamanan kalian juga terancam karena anak buah dia sangat banyak.”
“Ga usah takut sama preman dan anak buahnya! Kita punya Tuhan yang bisa menghabisi mereka dengan sekejap. Kamu liat sendiri kan gimana akhirnya saat kamu mencari rasa aman dengan menikahi preman? Coba kalau dari awal kamu bersandar cuma sama Tuhan, Dia ga akan membuat kamu menderita seperti sekarang.”
Anna mengangguk tanda dia setuju dengan perkataanku. Dia sepertinya menyesal karena sudah mencari rasa aman dari seorang preman yang kini membuatnya juga tidak pernah benar-benar merasa aman.
***
Di rumah sakit, pikiranku terus mencari cara untuk menyelamatkan Anna dari cengkraman preman itu. Aku lalu berpikir untuk menyembunyikan Anna terlebih dahulu ke tempat yang jauh dari jangkuan suami dan anak buah suaminya. Namun, aku kembali sadar bahwa jika kita sudah ditakdirkan untuk mati hari ini, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.
Aku lalu tiba-tiba teringat apartemen yang disewa Suri untu Tasya selama dia berada di Bandung. Aku kemudian berpikir apa salahnya jika Anna tinggal sementara waktu dengan Tasya. Tasya juga pasti tidak akan keberatan, karena apartemen yang dia tempati memiliki dua kamar, sehingga kamar yang satunya bisa dipakai oleh Anna dan anaknya.
“Sayang, kayanya untuk sementara Anna lebih baik mengungsi dulu ke apartemen Tasya. Aku khawatir dengan dia dan anaknya kalau mereka masih tinggal di sana. Gimana menurut kamu?”
Suri tidak langsung menjawab ucapanku. Dia terlihat sedang berpikir beberapa saat, hingga tiba-tiba Suri memegang tanganku dan tersenyum seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan ide bagus.
“Kayanya jangan di apartemen Tasya deh, karena kalau sampai ketahuan suaminya, itu bisa jadi bahaya juga buat Tasya. Gimana kalau Anna tinggal dirumah kita saja? Rumah kita lebih luas daripada apartemen yang ditempati oleh Tasya, selain itu, letaknya juga tidak jauh dari kantor, sehingga Anna bisa pergi ke kantor dan pulang bareng kita. Itu jauh lebih baik menurutku. Gimana?”
Mendengar saran dari Suri yang menginginkan Anna untuk tinggal dirumahku, tiba-tiba badanku meriang dan perutku terasa mules. Aku tidak tahu harus bagaimana mengendalikan perasaan yang masih ada untuk Anna jika aku kemudian harus intens bertemu dengan dia, entah dirumah, dimobil atau dikantor.
“Nanti kita bicarakan lagi setelah pulang ya!”
Ucapku kepada Suri, karena aku merasa tidak enak jika harus mengatakan bahwa aku tidak sependapat dengan Suri, sedangkan Anna masih berada di sini. Aku takut Anna merasa tersinggung karena aku lebih menginginkan dia untuk tinggal di apartemen Tasya dibandingkan dirumahku.
***
Baru saja aku pulang dari rumah sakit, aku sudah dihadapkan dengan seorang bapak-bapak yang tengah berdiri di luar pagar bersama Ibu Tuti. Ibu Tuti terlihat menghalang-halangi laki-laki itu untuk masuk. Aku lalu keluar karena merasa penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
“Maaf ada apa ya pak?”
Ibu Tuti lalu mendekatiku dan berbicara dengan suara yang sangat pelan karena dia sangat ketakutan.
“Ini suamiku! Dia sangat marah dengan bapak!”
Aku langsung memegang kepalaku yang masih terasa nyut-nyutan karena dipukuli oleh suami Anna dan kini aku harus menghadapi satu orang lagi yang sedang terpancing emosi karena anaknya aku sembunyikan di sini.
“ANDA SIAPA??”
Tanya bapak berkumis tebal itu kepadaku dengan bola mata yang hampir keluar karena dia melotot dan berkacak pinggang ke arahku.
“Perkenalkan saya Indy! Saya pemilik rumah ini!”
Mendengar namaku, Bapak itu langsung mengamuk seperti banteng yang tengah menyerudukku. Aku didorong hingga tersungkur ke tanah. Ibu Tuti kaget dan membantuku berdiri dengan cepat. Suri, Anna dan semua yang berada di dalam mobil juga keluar untuk menolongku. Tidak berapa lama, satpam yang tadi sedang berada di dalam juga keluar dan cepat-cepat mengamankan bapak itu.
“Dimana anak saya? Anda sudah berani-beraninya membuat anak saya mengundurkan diri dari tempat kerjanya! Anda pendukung LGBT hah?? Anak saya mau dilamar oleh teman kerjanya, tapi anda malah mendukung anak saya dengan perempuan! Otak anda, anda taruh dimana?? Bisa-bisanya orang cerdas dan beragama seperti anda mendukung LGBT! Coba kalau anak anda seperti itu, apa anda bakal mendukung??”
Kata-kata bapak itu seperti menamparku dihadapan semua orang. Baru kali ini aku dibentak-bentak dihadapan banyak orang karena dikira mendukung LGBT.
Aku tidak membalas ucapan bapak itu dan memilih untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan suami Ibu Tuti yang masih berteriak-teriak lalu diamankan oleh satpam.
Aku masuk ke dalam rumah dengan gontai. Aku tidak menyangka bahwa hari yang aku kira akan sangat menyenangkan jadi berakhir seperti ini.
“HEI PAK DIREKTUR, SAYA SUMPAHI ANAK ANDA SUATU HARI NANTI BISA SUKA SESAMA JENIS BIAR ANDA TAHU RASANYA BERADA DIPOSISI SAYA!!”
Teriak suami Ibu Tuti yang membuatku semakin bad mood karena mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan hari ini.
“Aku mau sendiri dulu!”
Ucapku kepada Suri yang hanya mengangguk melihatku masuk ke dalam kamar dengan tubuh agak limbung karena sudah dipukuli dan dimaki-maki oleh orang-orang yang menamakan dirinya laki-laki.
***
Sebuah pukulan membawaku kembali pada masa silam. Masa dimana aku baru mengenal apa itu kata “kejam”. Masa dimana yang aku rindukan adalah perlindungan. Masa dimana teriakan, ancaman dan suara barang-barang pecah menjadi hantu yang sangat menakutkan. Masa dimana aku mulai tahu tentang apa itu rasa sakit.
Sebuah hujatan membawaku kembali pada masa kelam. Masa dimana aku sangat butuh penghargaan. Masa dimana aku merasakan apa itu pengabaian. Masa dimana aku tahu bahwa aku tidak pernah diinginkan. Masa dimana Tuhan memberiku banyak cobaan dan ujian.
Sebuah makian membawaku kembali pada masa dimana aku masih menjadi seorang perempuan. Seorang perempuan yang mencintai perempuan. Seorang perempuan yang selalu disudutkan dengan norma dan aturan. Seorang perempuan yang seringkali ditinggalkan ke pelaminan karena dia perempuan. Seorang perempuan yang seringkali menyimpan jejak kenangan tentang kesedihan.
Dan kini aku telah menanggalkan nama “perempuan”, namun aku masih harus berjibaku dengan persoalan-persoalan tentang perempuan.
Jadi, siapakah aku sekarang?
Yang terus berjuang untuk baju yang telah aku tanggalkan..
Yang terus berlari untuk hati yang telah menyakiti..
Yang terus melindungi untuk puisi yang tak punya arti..
Aku masih perempuan!
Yang bisa kau rasakan dengan kelembutan!
Aku masih perempuan!
Dalam tubuhku yang kini bukan perempuan!
***
Bersambung…
No comments:
Post a Comment