Meditasi
==========================================
27 Desember 2015
(Jingga/Noura dan Dee Meninggalkanku)
Sebuah bola besar tiba-tiba muncul dari dalam laut. Aku lalu menghentikan langkahku saat itu juga dan melihat kejadian itu dengan takjub. Bola besar yang seperti terbuat dari emas dan ditaburi oleh berlian yang berkerlap kelip, indah sekali. Kemudian pintu bola itu terbuka dan menjulurlah sebuah anak tangga dari dalamnya yang kemudian menghubungkannya dengan tepi pantai. Seseorang kemudian ke luar dari sana dan berjalan menuruni anak tangga. Kulitnya tampak keriput, dengan rambut putih panjang dan sebuah tongkat ditangannya. Bajunya lusuh, namun wajahnya tampak bersinar. Dia kemudian menghampiriku seraya tersenyum penuh kehangatan.
“Ibu? Apakah ini benar ibuku??”
Aku menanyakannya ragu. Sekilas, dia memang tampak seperti wajah ibu, walaupun ibu sebenarnya tidak setua ini. Dia lalu mengangguk pelan, kemudian dia mengeluarkan sesuatu di balik bajunya.
“Nak, sekarang masuklah ke dalam bola itu! Nanti setelah bola itu mendarat di dasar lautan, pintunya akan terbuka, namun kamu jangan khawatir, karena air lautan tidak akan bisa masuk meskipun pintunya terbuka. Setelah itu, keluarlah dan selami lautan. Nanti di perbatasan air tawar dan air asin, ada sebuah lorong yang akan membawa kamu pada sebuah tempat layaknya istana. Tolong, nanti ketika menyelami lautan, kamu ambil sebuah mutiara hitam dan jika sudah sampai ditempat yang ibu katakan seperti istana, kamu ambil sebuah pedang yang ada di sana. Dan ingat selama di istana, kamu harus cepat mengambil pedang itu dan segera kembali ke sini. Jika ada siapapun orang yang kamu kenal di dalam istana itu, kamu harus dengan cepat membunuhnya. Kamu jangan berlama-lama di sana, karena istana tersebut hanyalah fatamorgana. Ibu menunggu kamu di sini. Jadi, kamu jangan lupa pesan ibu!”
Aku terdiam mendengar kata-kata ibu. Bagaimana bisa aku menyelami lautan, menemukan mutiara hitam, lalu harus tiba di istana itu dan mengambil pedang? Aku pasti bisa mati sebelum sampai ke sana.
“Untuk apa sebenarnya mutiara dan pedang itu bu? Dan kenapa aku harus membunuh siapapun yang aku lihat di dalam istana? Aku ga akan bisa mengambilnya dan aku juga ga bisa membunuh orang. Aku ga bisa berenang, apalagi menyelami lautan seorang diri. Aku akan mati tenggelam sebelum menemukan kedua benda itu!”
Ibu kemudian tersenyum dan menepuk pundakku pelan.
“Dengar nak, ga ada yang perlu kamu takutkan. Kamu hanya perlu fokus pada tujuan! Kamu ga pernah sendirian, ada Allah yang selalu nemenin. Jadi, kamu harus yakin dan ingat, setelah menemukan pedangnya, kamu langsung pulang. Jangan sampai terbuai oleh keindahan istana itu, karena istana tersebut hanyalah fatamorgana! Sedangkan untuk orang yang harus kamu bunuh, itu adalah setan yang sedang menyamar dalam bentuk manusia.”
Dengan perasaan tegang dan masih belum yakin, aku lalu berjalan memasuki bola itu. Keadaan kemudian menjadi gelap setelah pintu tertutup. Keringat mengalir deras dan perasaan takut kemudian muncul begitu saja. Dzikir kemudian menemani perjalananku kali ini. Aku berharap tidak akan terjadi hal buruk yang menimpaku. Semua terasa hening, namun gerakan bola ini dapat aku rasakan getarannya.
Setelah menunggu beberapa lama dengan perasaan tegang, pintu akhirnya terbuka. Tak ada cahaya sedikitpun di depan mataku dan jantungku kini berdegup lebih kencang dibandingkan tadi. Aku ragu untuk melangkah, namun ini adalah amanat. Akhirnya aku memantapkan niatku dan berusaha meyakinkan diri ini bahwa Dia selalu ada bersamaku dan melindungiku.
“Bissmillahirrahmanirrahim!”
Aku melangkah dan keluar dari pintu itu. Air lautan kemudian menyentuh tubuhku tanpa permisi. Mataku tak bisa melihat apapun. Aku sangat panik karena susah bernafas dan banyak air yang kemudian masuk ke dalam mulutku. Dadaku terasa sesak dan pandanganku menjadi kabur. Aku merasa terombang-ambing oleh arus. Ketakutanku sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Lalu semua menjadi benar-benar buram. Kepalaku terasa pusing disertai perasaan mual yang menjadi-jadi. Tiba-tiba tubuhku rasanya seperti melayang. Lantas aku tak bisa mengingat apapun lagi.
Aku kemudian tersadar ketika kemudian tubuhku muncul ke atas permukaan laut dan mendapati sesuatu berada ditanganku.
“Kerang mutiara!”
Aku tersenyum senang. Aku bersyukur akhirnya tugas pertamaku selesai, walaupun aku tidak tahu warna mutiara yang berada di dalamnya. Belum sempat tubuhku hendak menyelam lagi, seseorang kemudian menepuk pundakku.
“Hey Biru!”
Ternyata Dee. Dia memang selalu memanggilku dengan sebutan Biru, warna kesukaannya.
“Hmm, dia lagi! Mau apa dia sekarang? Dia selalu muncul dan menghilang sesukanya.”
Gumamku dalam hati dan lantas menghiraukannya begitu saja. Aku lalu berusaha untuk kembali menyelam. Namun, dengan cepat tangan Dee menghentikannya.
“Tunggu! Ayo aku temenin kamu ke istana itu. Kita menyelam bareng biar kamu ga tersesat!”
Aku kemudian teringat pesan ibu untuk membunuh siapapun yang aku lihat. Namun, yang dimaksudkan oleh ibu adalah siapapun yang aku lihat di istana, sedangkan Dee aku lihat berada di luar istana. Aku lalu menjadi bingung karena aku takut salah dalam mengambil keputusan.
“Kamu harus percaya sama aku! Aku ga pernah melukai kamu selama ini. Aku selalu ingin membuat kamu bahagia, meskipun aku harus mengorbankan diri aku sendiri.”
Aku tersenyum kecut mendengarnya, seraya berusaha melepaskan genggaman tangan dia.
“Aku sadar saat kita terakhir bertemu, aku memang sempet bikin kamu kecewa, tapi aku punya alasan tersendiri untuk itu. Jadi, kamu harus percaya sama aku. Lautan ini lebih menyeramkan dibanding yang kamu bayangkan. Nanti ketika menyelam, kamu peluk aja aku dan pejamkan mata kamu. Kita nanti akan sampai ke istana itu dengan cepat.”
Aku berpikir sejenak untuk mempertimbangkan ajakan Dee menyelam bersamanya. Dan setelah aku pertimbangkan, aku memutuskan untuk menerima tawarannya dan menyelam bersama, karena aku pikir saat kita menyelam berdua, aku akan lebih aman dan cepat sampai juga ke tempat itu.
“Ya udah, oke!”
Dee tersenyum mendengar ucapanku. Aku kemudian memeluk punggungnya dan mulai memejamkan mata.
***
Aku tidak bisa merasakan apapun selain suhu tubuhnya yang hangat. Bahkan dinginnya air lautpun sepertinya tak mampu menyentuh kulitku kali ini. Aneh memang, namun itulah yang terjadi. Mataku terus terpejam. Suara arus lautan terdengar dengan jelas seperti auman raja hutan yang tengah mengaum dengan gagahnya. Perjalanan kali ini terasa begitu menyenangkan, karena aku tidak merasa takut sedikitpun, dan karena ternyata berdua lebih baik daripada sendirian.
Hingga sampai pada satu titik, tubuhku seakan terasa akan terbelah, kepalaku berputar, dan tubuhku seperti terhisap ke dalam sebuah pusaran di dasar lautan. Arusnya saling menghantam satu sama lain hingga membuat kulitku terasa akan terkelupas karena gerakan itu.
“Kita sudah sampai! Sekarang buka mata kamu!”
Aku kemudian membuka mata dan melihat sebuah istana yang berdiri dengan megah. Dinding-dindingnya terbuat dari batu dan logam mulia yang sangat indah, sehingga membuatnya tampak begitu gemerlap.
“Wow, indah sekali”
Aku begitu takjub melihat istana ini. Gerbang depannya tak kalah memukau karena terbuat dari emas yang dihiasi oleh yakut dan marjan.
“Kamu masuk sekarang! Aku tunggu di sini karena aku ga bisa ikut masuk. Nanti kalau udah dapat apa yang kamu cari, kamu cepat keluar. Aku janji ga akan ninggalin kamu. Aku akan nganterin kamu sampai ke tepi pantai.”
Aku kemudian berjalan mendekati pintu masuk istana itu. Namun, belum sempat aku membukanya, aku kemudian menoleh ke belakang dan melihat Dee yang masih berdiri di sana.
“Kamu yakin ga akan ikut masuk juga?”
Dee hanya menggeleng dan tersenyum mendengar pertanyaanku. Aku kemudian melanjutkan untuk membuka pintu itu, namun, ternyata pintunya tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Aku menjadi semakin takjub ketika melihat pemandangan tak biasa di dalam istana.
Atap istana ini ibarat langit berwarna biru dengan awan putih yang berarak disekelilingnya. Awan-awan ini bahkan tampak begitu hidup. Aku seperti berada di bawah naungan langit tanpa atap. Kemudian di sisi kanan dan kiriku berdiri tiang-tiang penyangga yang kokoh. Lantai yang aku pijak juga tidak kalah indah karena terbuat dari intan dan permata. Aku kemudian teringat tujuan aku memasuki istana ini yaitu untuk mengambil sebilah pedang. Mataku kemudian mencari-cari pedang yang dimaksud oleh ibuku.
“Di mana ya pedangnya?”
Aku lalu tertunduk lemas ketika tak menemukan pedang itu di manapun. Nafasku tersengal-sengal dan keringat mengalir dengan deras disekujur tubuh.
“Pedangnya ada di sebelah kananmu! Tepat berada di dekat dinding istana dan posisi pedangnya tergeletak di atas lantai.”
Tanpa menghiraukan darimana sumber suara itu berasal, aku kemudian berjalan dan mengambil pedangnya. Lalu tanpa pikir panjang, aku membalikkan badan dan hendak ke luar dari istana ini.
“Tunggu! Tolong aku! Aku ga bisa ke luar dari sini sejak lama. Aku terikat di sebuah kayu tak jauh dari posisimu sekarang berdiri. Tolong aku! Tebas tali ini sekarang dengan pedangmu!”
Aku kemudian berbalik dan hendak menolong orang tersebut, namun aku teringat ucapan ibu sebelum aku pergi.
“Jika ada siapapun orang yang kamu kenal di dalam istana itu, kamu harus dengan cepat membunuhnya.”
Aku kemudian berbalik arah lagi menuju pintu luar. Aku sadar bahwa orang yang memanggilku sebenarnya adalah setan. Maka dari itu, aku tak mempedulikannya lagi.
“Aku Jingga! Apa kamu tega ninggalin aku sendirian di sini? Apa kamu mau melihat aku mati, padahal kamu punya kesempatan untuk menolongku? Bukankah kita pernah punya kenangan manis? Bukankah kamu sangat menyayangiku?”
Orang itu kemudian menangis sehingga membuatku terharu saat mendengarnya. Dia adalah Noura yang sering aku sebut Jingga dalam semua tulisan-tulisanku.
Aku ternyata masih menyayanginya. Tapi, apakah dia benar-benar Jingga atau bukan, Aku masih meragukannya.
“Apa yang bikin kamu ga percaya kalau aku itu Jingga? Baiklah, pergi saja! Aku tau kalau kamu itu pengecut dan ga punya pendirian!!”
Aku geram mendengar kata pengecut dari mulutnya, sehingga aku memutuskan untuk menghampirinya. Dari jauh aku melihat tubuhnya terikat dengan tali. Kemudian, dengan hati-hati aku memotong tali itu. Setelah ikatan itu terlepas, dia memelukku erat seraya menangis.
“Kamu ga apa-apa? Apa ada yang luka? Coba sini aku lihat!”
Aku lalu melihat beberapa luka memar dan lecet di tubuhnya, tapi dia tidak melepaskan pelukannya.
“Aku kangen banget sama kamu Jingga!”
Airmataku kemudian mengalir dengan deras dan aku terus memeluknya.
“Kenapa dulu kamu ninggalin aku Jingga? Kenapa kamu ngebohongin aku? Apa kamu ga pernah kasihan sama aku? Kenapa Jingga?? Kenapa kamu ga pernah punya niat untuk bahagiain aku sekali aja?? Kenapaaaa??”
Aku masih menangis sesenggukan dipelukan dia. Pun dia yang tidak berhenti menangis. Kita lalu terdiam beberapa saat. Aku memang sangat merindukan dia, hingga aku memeluknya begitu erat.
“Aku butuh mutiara hitam untuk menyembuhkan luka di tubuhku, tapi sampai saat ini aku belum dapet mutiaranya.”
Aku merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh Jingga, sebab mana mungkin mutiara hitam bisa digunakan untuk menyembuhkan luka.
“Mana bisa mutiara dipake buat nyembuhin luka?”
Jingga kemudian mengangguk pelan seraya tersenyum ketika mendengar pertanyaanku.
“Memang ga bisa! Tapi untuk luka yang satu ini, obatnya cuma mutiara hitam.”
Aku kemudian teringat mutiara hitam yang tadi aku bawa. Aku hendak memberikan mutiara itu kepada Jingga, namun aku ragu karena mutiara tersebut adalah pesanan dari ibu dan aku harus segera memberikan mutiara dan pedang ini kepadanya.
Kata-kata ibu kemudian terngiang-ngiang lagi ditelingaku saat dia mengatakan bahwa aku harus segera keluar dari istana jika aku sudah menemukan pedangnya.
“Jingga, ayo cepat kita harus ke luar! Aku harus segera nemuin ibu aku!”
Aku lalu menarik tangannya dan hendak berjalan ke luar.
“Tunggu! Apa yang kamu pegang itu? Bukankah itu mutiara? Kenapa kamu ga langsung memberikannya kepadaku? Apa kamu udah ga sayang sama aku?”
Dia kemudian menangis tersedu-sedu. Aku lalu merasa bersalah kepadanya, namun aku juga tidak bisa mengingkari janjiku kepada ibu untuk membawa mutiara ini kepadanya.
Aku kemudian menghampiri Jingga dan mengusap airmatanya.
“Bukan begitu! Aku masih sayang sama kamu, tapi mutiara ini adalah pesanan dari ibu dan aku harus segera memberikan mutiara ini kepada ibu.”
Jingga lalu menangis lagi dengan tangisan yang semakin menyayat hati.
“Baiklah, kamu tinggalin aja aku di sini! Aku sekarang butuh banget mutiara itu. Kalau kamu benar-benar sayang sama aku, kamu bakal ngasihin mutiara itu untuk aku. Kamu tinggal mencari lagi mutiara untuk ibu kamu saat keluar dari sini.”
Aku diam sesaat dan mencoba mempertimbangkan saran dari Jingga.
“Tapi, aku belum tentu dapet lagi mutiaranya!”
Ujarku bersikeras. Jingga lalu memegang tanganku seraya tersenyum.
“Kamu pasti bisa dapet lagi, bahkan lebih banyak dari yang kamu kira. Aku yakin itu. Aku percaya sama kamu!”
Tiba-tiba aku merasakan semangat dan perasaan bahagia yang membuncah-buncah di dalam dada setelah mendengar ucapan Jingga.
“Baiklah, tapi apakah kamu masih mau jadi pacar aku?”
Jingga lalu berpaling.
“Apakah hati aku dihargain segitu? Udahlah, ambil aja mutiaranya. Aku ga jadi minta!”
Kata-katanya membuatku terhenyak, karena aku tidak pernah menghargai hati dia senilai dengan harga barang pemberianku, tapi dia malah menuduhku seperti itu.
“Ya udah, ini kamu ambil aja!”
Aku kemudian memberikan mutiara itu kepada Jingga dan berlalu dari hadapan dia. Aku tidak menunggunya untuk pulang bersama, karena aku tahu bahwa dia tidak pernah membutuhkanku. Dia hanya akan datang jika memiliki keperluan denganku, selebihnya aku tidak diharapkan untuk datang lagi dalam kehidupannya.
Belum sempat aku keluar, tiba-tiba terdengar suara Jingga tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Dengan penuh rasa penasaran, aku menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati dia tengah berpelukan dengan orang lain yang selama ini aku benci. Bukan hanya itu, mutiara yang aku dapatkan dengan susah payah juga diberikan Jingga kepadanya.
“Apa-apaan ini??”
Darahku terasa mendidih. Aku lalu menghampiri mereka, namun baru satu langkah aku berjalan, tiba-tiba aku ditendang oleh sesuatu yang tak kasat mata hingga aku terpental jauh ke luar istana. Pintu istana kemudian tertutup.
“Biruuu!!! Kamu kenapa??”
Teriak Dee yang merasa khawatir kepadaku karena aku terpental dari dalam istana hingga jatuh ke hadapannya.
Aku lalu menceritakan semua yang terjadi di dalam istana kepadanya. Dia sangat menyayangkan tindakanku yang telah memberikan mutiara itu. Dia mengatakan bahwa mutiara tersebut tidak akan pernah aku dapatkan lagi. Aku kaget mendengarnya dan kemudian menyesali apa yang telah aku lakukan tadi.
“Maaf Biru, sekarang aku ga bisa nemenin kamu lagi sampai ke tepi pantai, karena aku harus pulang!”
Kata-kata Dee sungguh mengejutkanku. Dia kemudian berpaling dan hendak pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuanku.
“Bukannya kamu udah janji mau nemenin aku sampai aku kembali ke tepi pantai? Kenapa tiba-tiba kamu bilang begitu? Apa kamu ga khawatir sama aku? Aku takut sendirian! Aku juga ga tau arah!”
Dee lalu menoleh kepadaku dengan ekspresi wajahnya yang dingin dan kaku, seakan-akan ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Maaf, tapi aku ga bisa!”
Dee lantas pergi dan meninggalkanku di tempat asing ini seorang diri. Di lautan luas yang katanya lebih ganas daripada hutan belantara. Dia benar-benar telah meninggalkanku.
Air mataku mengalir dengan deras. Aku menangis bukan karena ketakutan, hanya saja aku tidak menyangka bahwa tidak ada seorangpun yang benar-benar merasa khawatir terhadap diri kita seperti layaknya keluarga sendiri. Keluarga yang kadang sering kita kesampingkan hanya untuk mengutamakan orang lain.
Sesaat lamanya aku terpaku di sini dengan perasaan bingung, bimbang dan sedih.
Aku lalu begitu merindukan ibu dan berharap dia berada di sini sekarang. Ibu yang sedari kecil tidak pernah menelantarkan aku di tempat asing seorang diri. Jangankan menelantarkan, dia bahkan selalu mengkhawatirkan aku siang dan malam apabila aku jauh dari dia. Ibu yang selalu terjaga dan selalu berada di sampingku ketika aku sakit dan tidak berdaya.
“Ibu, aku benar-benar kangen sama Ibu!”
Air mataku semakin deras mengalir. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya diam terpaku di sini seraya merasa bersalah dengan ibuku karena tidak bisa membawa mutiara yang dia pinta.
“Bergeraklah atau kamu akan mati pelan-pelan di sini sebagai seorang pengecut! Kenapa baru saat ini kamu merindukan ibumu? Kenapa disaat mereka meninggalkanmu, kamu baru teringat akan keberadaan ibumu? Kenapa?? Bukankah ketika kamu memberikan mutiara itu kepada orang lain, kamu telah menunjukkan bahwa ibumu tidak penting untuk kamu perjuangkan?? Lalu kenapa sekarang kamu menangis dan tidak bisa melakukan apa-apa??”
Suara itu seperti sebuah tamparan keras untukku. Aku tertunduk dan kehilangan banyak kata-kata. Aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Aku mengakuinya. Dan ini adalah kali pertama aku menerima apa yang dikatakannya, tanpa sanggahan dan tanpa pembelaan.
“Lihatlah ke sebelah kananmu! Masuk dan cepatlah pulang! Temui ibumu sekarang!”
Mataku menoleh ke sebelah kanan dan betapa terkejutnya aku ketika melihat bola besar yang pertama kali mengantarkanku ke sini, kini sudah berada di hadapanku. Hatiku girang bukan main, lalu dengan cepat aku memasukinya. Aku sudah tidak sabar untuk bisa segera tiba di tepi pantai dan bertemu ibu hanya untuk mengucapkan rindu.
***
“Ibu!!”
Aku memeluk Ibu seraya menangis sejadi-jadinya.
“Kamu ga apa-apa nak?? Ibu sangat khawatir sekali dengan keselamatan kamu. Ibu jadi merasa bersalah karena sudah menyuruh kamu ke sana sendirian!”
Aku menyeka air mataku dan menundukkan pandanganku dengan perasaan bersalah karena tidak bisa membawa mutiara yang dia minta.
“Aku ga apa-apa bu, tapi mutiara itu..”
Lidahku kelu dan tidak sanggup untuk melanjutkan ucapanku. Aku takut membuat ibu kecewa karena sudah berani pulang tanpa membawa mutiara yang ibu pinta.
“Ga apa-apa nak, yang penting buat ibu adalah keselamatan kamu. Melihat kamu sekarang pulang dengan selamat saja ibu sangat bersyukur.”
Aku lalu memeluk ibu dengan erat dan menangis sejadinya dalam pelukan dia. Kata-katanya seakan menyadarkanku bahwa tidak ada kasih yang paling tulus dibandingkan dengan kasih sayang seorang ibu. Bahwa tidak ada yang lebih menyayangi kita selain dia, meskipun kita tidak memberinya imbalan, hadiah-hadiah indah, atau apapun yang dapat dihitung dengan materi.
Jadi, jika sekarang ada yang bertanya kepadaku,
“Siapakah cinta sejati itu?”
Maka, aku akan menjawab,
“Ibu!”
***
=====================================================================
Aku lalu membuka mata ketika rasa damai mulai menelusup dalam dada. Hatiku terasa begitu sejuk sekarang, seperti sejuknya pohon yang membuatku bisa berteduh dari panasnya sinar matahari. Hatiku juga merasa tenang, seperti tenangnya air danau yang kini berada dihadapanku.
Aku baru saja selesai bermeditasi dan merenung seorang diri di sini. Aku memang paling suka menyendiri ketika pikiranku sudah mumet dengan semua persoalan hidup. Akhir-akhir ini memang banyak sekali yang harus aku selesaikan, entah terkait kesehatan mentalku, berdamai dengan masalalu, serta persoalan-persoalan yang berada di luar diriku seperti kasus Rossa dan juga Anna.
Saat bermeditasi tadi, aku diingatkan kembali pada tahun 2015 ketika Noura menyakitiku dengan cara menguras habis materiku dan berselingkuh dibelakangku, serta Dee yang pernah menelantarkanku ditempat asing saat aku jauh-jauh menemuinya datang, namun dia justru pulang dan meninggalkanku sendirian. Tapi, seorang ibu masih dengan tulus berdiri di sampingku hingga detik ini. Menemaniku berjuang menghadapi kerasnya kehidupan disaat semua orang pergi meninggalkan. Seorang malaikat tak bersayap yang seringkali kita lupakan karena kita terlalu mabuk oleh cinta-cinta semu yang seringkali membuat kita jadi dungu.
“Oh ibu, masihkah aku diberi waktu untuk mengucapkan rindu kepadamu? Aku mencintaimu!”
***
Bersambung…
No comments:
Post a Comment