Aku masih belum bisa tertidur saat mendengar suara gemertak gigi Suri yang sepertinya beradu. Dia juga beberapa kali terdengar buang angin dan mengigau, sehingga membuatku ingin tertawa. Bisa-bisanya dia buang angin di sini, padahal aku saja masih malu untuk buang angin di depannya, tapi memang sepertinya Suri sudah tertidur sehingga dia tidak sadar bahwa dia buang angin.
Aku lalu beranjak ke kamar mandi karena merasa ingin buang angin dan ingin memeriksa adik kecil yang ada di bawah sana apa masih terjaga atau sudah tertidur.
“Duuuuuttttt…”
Lega rasanya setelah aku bisa buang angin dikamar mandi, setelah menahannya dari tadi. Aku lalu melihat adik kecilku ternyata masih memaksa ingin keluar dari balik celana. Dengan senyum malu-malu aku lalu mengeluarkannya dan mengelusnya pelan-pelan. Terasa sangat geli. Aku lalu memejamkan mata dan tanganku terus memainkannya dengan ritme lambat hingga cepat. Ternyata terasa begitu nikmat. Aku membayangkan Suri yang melakukannya untukku. Tangannya yang lembut aku bayangkan tengah memegang “dia” yang kini sedang mengeras tak karuan. Tubuhku terasa kejang dan rasanya ingin pipis yang tak tertahankan. Dan tidak berapa lama, ada yang memancar di sana tak terkendali. Aku kira aku tidak bisa menahan pipis, tapi ternyata bukan pipis biasa, sebab warna urin itu bening bukan putih susu. Aku mengamati warna cairan itu yang biasanya aku lihat difilm-film dewasa namun kini aku menyaksikannya sendiri, bahkan memegang teksturnya dengan tanganku. Aku lalu mencium baunya, ternyata memang berbeda dengan urin. Aku tersenyum lega dan masih duduk di atas closet kamar mandi sambil memejamkan mata dan adik kecilku di bawah sana sudah lemas sehingga kuncup seperti bunga yang sudah layu.
“Begini rasanya ya, enak banget.”
Ucapku pelan, seraya masih berleha-leha di sana. Hingga tanpa sadar, saat aku membuka mata, Suri sudah berdiri di depanku. Entah sejak kapan dia di sana, tapi yang pasti dia terbelalak melihatku yang masih duduk tanpa menggunakan celana dalam. Aku lupa bahwa aku tidak menutup pintu kamar mandi, karena aku pikir Suri sudah tertidur.
“A a aku mau pipis..”
Suara Suri terdengar terbata-bata dan terlihat salah tingkah. Aku menutup adik kecilku dengan kedua tangan dan masih belum beranjak dari sana sebab aku ingin membilasnya terlebih dahulu dan membersihkan diriku.
“Aku mandi bentar kalau gitu ya? Ga enak banget ini”
Suri tidak mengiyakan permintaanku, tapi dia malah memegang kemaluannya dengan tangannya seperti kebanyakan perempuan saat kebelet pipis.
“Duh, kelamaan ah. Aku udah nunggu lama sejak kamu onani tadi. Udah kamu mandi aja, aku cuma mau pipis.”
Aku malu bukan main saat mendengar Suri melihatku saat sedang onani. Aku lalu berdiri dan membelakangi Suri yang sedang pipis. Rasanya benar-benar canggung karena mungkin dia melihat pantatku dengan jelas. Tapi, ya sudahlah, rasanya aku tidak bisa apa-apa lagi.
“Hey…”
Suri tiba-tiba menepuk pundakku. Aku lalu melirik ke arahnya tanpa membalikkan badan karena aku tidak ingin dia melihat sesuatu di bawah sana. Dan betapa kagetnya aku saat melihat ke arahnya, dia sudah berdiri tanpa busana.
“Kamu ngapain buka baju?”
Tanyaku yang sedikit terkejut melihatnya tanpa busana padahal tadi dia mengatakan cuma hanya ingin pipis.
“Aku mau mandi juga, gerah banget. Mau bareng?”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi saat satu persatu bajuku dia lepas dan dia menuntunku masuk ke dalam bathtub. Rasa malu dan canggungku sedikit demi sedikit hilang ketika kita berada di dalam bathtub. Kulit Suri benar-benar putih bersih, mulus dan tidak ada noda sedikitpun. Lehernya begitu mempesona saat rambutnya dia ikat. Aku melihat kupingnya memerah saat aku mengelus punggungnya. Pelan-pelan aku memeluknya dan tanpa sengaja tanganku menyentuh dua gundukan indah di sana.
“Maaf..”
Kata-kata maaf tiba-tiba keluar dari mulutku dengan spontan padahal tidak seharusnya aku meminta maaf karena kita sudah menjadi suami istri. Suri lalu berbalik dan tersenyum ke arahku. Dia tiba-tiba duduk di pangkuanku di dalam bathtub, sungguh benar-benar canggung dan membuat adrenalinku terpacu. Kini posisi kita benar-benar intim. Dia menduduki sesuatu di bawah sana yang pelan-pelan sudah terbangun lagi.
Matanya menatapku tanpa berkedip, sehingga aku mulai menundukkan pandangan karena tidak terbiasa bertatapan dalam jarak sedekat ini. Bibirnya pelan-pelan mendarat di bibirku, namun spontan aku berdiri sebelum sempat bibirnya hendak melumat bibirku. Suri kaget dengan reaksiku yang berdiri tiba-tiba karena adik kecilku kini berada tepat di depan wajahnya dan posisinya sudah tegak lurus. Dengan sigap aku menutupnya dengan kedua tanganku dan keluar dari bathtub menuju wastafel.
“Aku lupa gosok gigi dan cuci muka.”
Ujarku kepada Suri yang tampak kesal di dalam bathtub. Aku lalu menggosok gigi dan mencuci muka. Aku merasa tidak percaya diri berciuman saat bangun tidur dan belum menggosok gigi, karena aku takut Suri mencium bau yang tidak sedap dari mulutku dan aku juga akan kehilangan gairah jika Suri ternyata bau mulut.
“Apa harus se-perfectionist ini hanya untuk berciuman secara spontan?”
Suri kini sudah berada di samping wastafel dan menatapku tajam.
“Aku mungkin belum terbiasa…”
Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Suri sudah melumat bibirku dengan ganas. Lembut rasanya dan aku tidak mencium bau mulut dari bibir Suri, meskipun hanya aku saja yang baru menyikat gigi.
Bibir Suri masih dengan lincah bermain di sana. Lidahnya lalu beradu dengan lidahku. Dia lalu mengulumnya seperti anak kecil mengulum permen. Dia lalu menciummi leher dan telingaku. Rasanya geli bukan main. Aku yang terbawa suasana, lalu memegang dua gundukan indah di sana. Putingnya sudah mengeras dan berwarna merah muda. Aku lalu mengulum dan memainkannya sehingga dia menggeliat kenikmatan. Kita lalu melanjutkan aktivitas ini di atas kasur dan memakai selimut sebelum kita berdua benar-benar masuk angin.
Tangan Suri kini bergerilya ke bawah pusarku. Dia memegang sesuatu yang sudah berurat dan mengeras. Tangannya dengan lincah mengocoknya pelan. Mataku lalu merem melek merasakan kenikamatan tiada tara di sana.
“Begini rasanya jadi laki-laki.”
Gumamku dalam hati. Aku tidak pernah bisa membayangkan bahwa kini aku memiliki penis dan siap membuahi seorang perempuan di depan mataku.
“Kenapa kamu nangis?”
Tiba-tiba Suri menghentikan aktivitasnya saat melihatku yang menitikkan airmata.
“Ga apa-apa, aku cuma masih ga nyangka aja sekarang aku punya penis. Penis yang membuat aku banyak kehilangan orang yang aku cintai karena dulu aku tidak berpenis. Penis yang membuat aku merelakan orang yang sudah bertahun-tahun bersamaku hanya karena aku tidak memilikinya. Penis yang membuat semua mantanku memilih orang baru yang baru dikenalinya hanya karena mereka memiliki penis. Aku hanya merasa sakit walaupun sekarang aku sudah memilikinya, tapi aku masih belum lupa bahwa dulu cinta dan pengorbananku tidak lebih berharga dibandingkan penis. Penis yang membuatku tidak pernah bisa bersama mereka.”
Suri menatapku iba dan mengusap airmata yang makin deras turun di wajahku. Dia kini duduk di atas tubuhku dan menatapku lekat.
“Sayang, itu masalalu. Ini bukan moment yang pas untuk mengingat sesuatu yang sedih seperti itu. Mulai sekarang, aku ga mau melihat kamu mellow terus ya. Ada aku. Kamu sekarang memang sudah menjadi laki-laki, tapi aku yakin hati kamu masih lembut seperti perempuan. Dan aku tidak akan membiarkannya terluka lagi.”
Kita lalu berciuman dengan lembut, mengelus dan memeluk erat. Aku masih belum siap untuk melakukan penetrasi selayaknya pasangan suami istri karena aku terlalu takut untuk melihat darah malam pertama. Biarlah semua mengalir, sebab cinta bukan hanya soal seks. Dan untuk kali ini, aku hanya butuh pelukannya sampai pagi. Sebuah pelukan yang membuat aku yakin bahwa aku tidak sendirian. Pelukan yang membuatku selalu merasanya nyaman dan tidak kedinginan. Sebuah pelukan paling tulus dari orang yang sudah terikat dalam status sungguh begitu mengesankan.
Dalam bahasa tanpa tanda baca, aku masih mengejamu sebagai aksara-aksara. Menggantungkan detakan jantungmu pada siluet pagi yang terpatri diteras waktu. Sunyi memandangmu dalam gelisah berpacu nafsu. Bertengger di sana nama-nama lain dari rindu.
Suri, bidadari bermata bening yang jatuh dari langit ke sepuluh. Bercahaya ibarat kunang-kunang di tengah gulita malam. Ah, sungguh aku jatuh cinta tanpa apa dan mengapa. Tergila-gila pada paras setengah purnama tanpa harus menegadah ke atas langit dan menahan bendungan air mata.
Suri, bawa hatiku berlari..
Dan yakinkan aku sekali lagi!
Aku tidak sedang bermimpi…
Bersambung..
No comments:
Post a Comment