“Hallo Papa! Hallo Mama!”
Ucap Tissa yang kini sudah berada di depanku. Aku lalu menggendongnya dengan perasaan bahagia yang tidak bisa terlukiskan. Wajah lucunya yang sedang tersenyum dan memperlihatkan dua gigi kelincinya membuatku terhibur seketika. Anak ini benar-benar menggemaskan dan selalu membuat kita semua tertawa dibuatnya. Tissa kini bahkan sudah bisa memanggilku dan Suri dengan sebutan Papa dan Mama.
“Hallo sayang! Tissa udah pinter sekarang ya, ga manggil lagi Om Papa sama Tante Mama, hehe. Nanti Tissa juga punya nenek baru di sini. Hari ini Papa mau ajak Tissa sama Arka ketemu nenek.”
Tissa lalu tertawa girang karena dia mau bertemu dengan nenek barunya di Bandung. Suri yang sedang menggendong Arka kini ikut tertawa melihat tingkah anak balita yang menggemaskan itu.
“Tica mau es cim, boleh ga Om Papa?”
Aku dan Suri lalu tertawa kembali mendengar Tissa yang mulai lagi memanggilku dengan sebutan Om Papa.
“Hayoloh, Tissa salah lagi manggil papa, nanti papa ga beliin es krimnya,hehe.”
Tissa dengan cepat menutup mulutnya sambil cekikikan.
“Tica lupa Om, eh papa! Tica pengen es cim ya, papa?”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya seraya menciummi pipi anak lucu yang sekarang sudah resmi menjadi anak angkatku itu.
“Ayo kita makan es krim sekarang!”
Ucapku sambil memboyong Tissa, Arka dan Suri ke mini market untuk membeli es krim.
***
Setelah Tissa dan Arka resmi menjadi anak angkatku, aku dan Suri lalu berencana mengadakan syukuran hari ini di rumah ibuku di Cileunyi. Aku datang ke Cileunyi sekalian juga untuk mengetahui perkembangan masalah Rossa yang sedang bermasalah dengan ayahnya karena menjalin hubungan dengan perempuan.
Hari ini aku mengajak Tasya, Anna dan semua mantan yang bekerja diperusahaanku untuk ikut ke Cileunyi karena aku ingin memperkenalkan dua orang anak angkatku kepada mereka. Aku juga mengundang empat puluh anak yatim untuk berdoa bersama menyambut kehadiran keluarga baruku di Bandung.
“Papa, Tica mau naik odong-odong!”
Ucap Tissa menunjuk ke luar jendela mobil. Aku lalu menoleh ke arah yang dimaksud oleh Tissa dan memang benar ada tukang odong-odong di sana.
“Berhenti dulu pa!”
Ujarku kepada Pak Anton supirku. Pak Anton kemudian memarkirkan mobil ke pinggir jalan. Setelah mobil berhenti, Aku dan Tissa lalu keluar.
“Acik, Tica naik odong-odong! Tica pengen naik yang hello titinya papa!”
Tissa girang melihat odong-odong yang sudah berada di hadapannya. Tangannya lalu memilih odong-odong berbentuk Hello Kitty berwarna pink. Dia lalu naik dengan wajah sumringah dan terus tersenyum.
Melihat odong-odong berputar diiringi lagu anak-anak, membuat perasaanku tersayat dan pikiranku kembali kepada masa kanak-kanak. Aku lalu melihat diriku yang saat itu seumuran dengan Tissa tengah menangis karena ingin naik odong-odong seperti sepupuku. Aku lalu terus merengek di depan ibu, sampai ayahku yang sedang bekerja dipabrik kakekku ke luar dari tempat produksi dan membanting ember besar hingga jatuh di depanku. Bukan hanya itu, ayah kemudian memaki-maki aku dan ibu dihadapan semua orang.
“Anak setan, mati aja sekalian!”
Kata-kata itu terus melekat dalam ingatanku sampai sekarang. Aku lalu menangis dalam gaduhnya suara lalu lalang kendaraan dan musik odong-odong. Aku kemudian mengusap airmataku karena takut ada orang yang melihatnya dan dikira aku terharu melihat anakku naik odong-odong. Mataku kemudian tanpa sengaja melihat grosir toko mainan yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Lalu terbesit dalam pikiranku untuk membelikan Tissa dan Arka mainan agar mereka tidak bosan saat berada di dalam mobil.
“Tissa, papa ke toko mainan dulu ya!”
Tissa mengangguk dan masih tertawa riang di atas odong-odong. Suri lalu keluar dari mobil dan menemani Tissa, sedang aku mulai berjalan ke toko mainan.
Di dalam toko mainan, aku melihat sebuah boneka yang memakai empeng, yang ketika empengnya dicabut, maka boneka itu akan berbunyi seperti bayi sedang menangis. Aku tertegun lama menatap boneka yang kini sudah berada ditanganku. Airmataku menetes membasahi wajah bonekanya, sehingga boneka itu tampak seperti sedang menangis.
Ingatanku lalu kembali ke hari dimana aku tengah mendatangi ayahku di pabrik milik kakek ketika dia sedang bekerja. Aku kemudian meminta ayahku untuk membetulkan bonekaku karena bonekanya tidak mau bunyi seperti biasanya. Ayahku yang melihat aku dihadapannya dengan membawa boneka, lalu menarikku keluar dari dalam pabrik. Aku mengira ayah akan membetulkan boneka bayi itu, namun ternyata aku salah. Dia ternyata mengambil bonekaku dan menghancurkannya dengan palu. Melihat bonekaku dihancurkan dengan palu, aku lalu menjerit dan menangis di depannya.
“Diem!! Atau mau ayah pukul kaya boneka ini??”
Aku shock hingga darah mulai keluar dari hidungku. Aku mimisan, namun ayahku tidak peduli sama sekali. Dia malah berteriak memaki ibuku yang sedang berada dirumah.
“Anjing!! Ini bawa anak setan yang bisanya cuma ganggu orang lagi kerja!!”
Teriak ayahku sehingga membuat ibu berlari keluar dengan rasa takut. Ibu kemudian menggendongku dan membersihkan darah yang keluar dari hidungku. Aku lalu menangis dipangkuan ibu sambil membawa boneka yang sudah dirusak oleh ayah.
“Bonekanya buang aja ya! Nanti kalau ada uang lagi, mamah beliin yang baru!”
Aku menggeleng dan terus memeluk boneka Mimi milikku yang sudah dipukul dengan palu oleh dia yang menamakan dirinya ayah.
“AYAH JAHAT!!”
***
“Stock boneka ini ada berapa? Saya mau borong semuanya!”
Ucapku kepada pegawai toko mainan yang kini melongo melihat aku akan memborong semua boneka itu.
“Ada 100 pcs pa. Mau dibeli semua? Buat dijual lagi pa? Nanti ada diskon buat bapak.”
“Buat dibagiin! Nanti tolong dianterin ke alamat ini ya! Jadi berapa semuanya?”
Aku kemudian memberikan alamat rumah ibuku kepada pegawai toko. Boneka-boneka itu rencananya akan aku bagikan kepada anak-anak yang nanti datang saat syukuran.
“Semuanya jadi lima juta pa.”
Aku membayar semuanya dan masuk kembali ke dalam mobil.
***
“Buat apa sayang boneka sebanyak itu?”
Tanya Suri kaget ketika aku bercerita kepadanya bahwa aku memborong boneka bayi ditoko tadi.
“Buat dibagiin ke anak-anak yang nanti datang!”
“Tapi kan ga semua yang datang itu anak perempuan?”
“Iya!”
“Lah terus anak-anak yang laki-laki mau dikasih boneka juga?”
“Udah deh jangan banyak tanya, nanti aku jelasin dirumah!”
Timpalku kepada Suri yang masih terus bertanya kenapa dan kenapa padahal aku sedang bad mood karena melihat odong-odong dan boneka tadi.
Di dalam mobil, aku jadi jadi banyak diam, terutama ketika Pak. Anton memutar lagu anak-anak di dalam mobil agar membuat Tissa dan Arka senang. Aku yang mendengar lagu anak-anak malah terjebak kembali pada bayangan masa kecilku yang kurang kasih sayang.
Sebetulnya aku bukan terlahir dari keluarga tidak mampu, karena kakekku memiliki pabrik kecap dan saos. Ayahku dulu ikut mengelola pabrik milik kakek. Bukan hanya itu, ayahku bahkan memiliki peternakan sapi. Tapi, karena dari awal kakek tidak setuju ayah menikah dengan ibu, jadi mereka selalu mempersulit ibu dan anak-anaknya dalam hal ekonomi. Ayahku juga tidak menyimpan uangnya kepada ibu selayaknya suami istri pada umumnya, tapi dia menitipkannya pada adiknya. Singkatnya, ibu sudah ditelantarkan dalam hal ekonomi, sehingga kadang dia harus berjualan dan membanting tulang sendiri untuk membiayai aku dan adikku.
Aku masih ingat ketika aku melihat sepupuku yang sering berakhir pekan bersama orangtuanya, entah hanya sekedar makan di KFC, atau jalan-jalan ke wahana permainan anak-anak. Aku hanya bisa melihatnya dari jendela, betapa dia sangat bahagia. Sepupuku juga akan bercerita panjang lebar kepadaku saat dia pulang setelah jalan-jalan.
Sedangkan aku? Aku harus makan dengan gorengan yang kadang-kadang belum ibu bayar kepada pemilik warungnya. Gorengan yang juga hanya boleh diambil masing-masing dua, sehingga aku makan seperti porsi tukang becak, nasinya banyak, sedang lauknya hanya bakwan dua biji.
“Pak, berhenti dulu pak!”
Suri tiba-tiba meminta Pak Anton menghentikan mobilnya tepat saat kita berada di depan KFC.
“Kamu ngapain berhenti di KFC? Mau makan?”
Aku heran kalau Suri makan junkfood karena biasanya dia sangat anti, tapi sekarang dia malah berhenti di KFC.
“Daritadi kamu ngeliatin terus tempat itu. Aku yakin, ini pasti ada kaitannya juga dengan masa kecil kamu. Ya, kaya boneka tadi. Kamu ngeborong boneka karena kamu teringat masa kecil kamu yang menyakitkan. Ya udah, mari kita tebus semua kenangan masa kecil kamu yang sedih itu dengan membahagiakan anak-anak lain! Aku mau pesan KFC buat anak-anak yang nanti datang, kamu mau juga?”
Aku tersenyum mendengar ucapan Suri yang selalu paham denganku walaupun aku tidak menjelaskan banyak kepadanya tentang apa yang sedang aku rasakan.
“Makasih sayang ya, kamu memang paling mengerti Aku. Kamu pesan buat anak-anak aja deh, aku ga usah. Aku udah bukan anak-anak lagi, jadi udah jarang makan junkfood,hehe.”
“Kamu memang bukan anak-anak lagi, tapi jiwa kamu masih terjebak dimasa anak-anak. Aku beliin kamu satu ya, biar kamu bisa makan juga sama anak-anak dan lupain masa kecil kamu yang ga bisa beli friedchicken di KFC, hehe.”
Aku lalu memeluk Suri dan menangis sesenggukan dipelukannya. Emosiku yang sedari tadi dipendam kini meluap dipelukan Suri. Suri mengelus rambutku, lalu melepaskan pelukanku.
“Udah jangan drama-dramaan di sini, malu sama yang lain. Itu Tissa juga ngeliatin kita dimobil. Tapi, aku kaget loh kamu sampe meluk dan nangis gini cuma gara-gara aku beliin KFC, tapi waktu aku beliin kamu jam tangan Rolex, kamu cuma senyum dan bilang makasih. Berarti ayam KFC lebih berkesan dihati kamu dibanding jam tangan mahal. Kalau kaya gitu, gimana kalau aku jual aja jam tangan kamu, terus kita buka cabang KFC biar kamu bisa makan ayam goreng sepuasnya, hehehehe.”
“Eh jangan!”
Suri tertawa. Dia lalu masuk ke dalam Gerai KFC dan memesan 100 potong ayam goreng untuk dibagikan bersama 100 boneka yang aku beli tadi.
Suri memang luar biasa, dia selalu punya cara untuk membuatku jatuh cinta.
Menjadi anak-anak membuatku paham tentang apa itu kebahagiaan. Satu kata yang sebetulnya bisa dirasakan hanya dengan sebuah pelukan. Satu kata yang sebetulnya bisa diberikan hanya dengan satu senyuman yang hadir dari sebuah ketulusan. Satu kata yang sepertinya berat bagi mereka yang hanya memuja kekayaan dan sibuk dengan pertengkaran.
Menjadi anak-anak adalah hal termanis yang ingin diulangi oleh mereka yang memiliki kenangan manis. Mereka yang bisa tahu bagaimana hangatnya orangtua yang bisa memeluk manja. Mereka yang mengerti bahwa masa kecilnya begitu dicintai.
Menjadi anak-anak adalah onak bagi orang sepertiku yang terus memberontak. Seorang anak yang hanya bisa bersembunyi di balik benang kusut peliknya persoalan hidup.
Seorang anak yang haus akan belaian dan bukan bentakan. Seorang anak yang masih tidak mengerti kenapa dia dilahirkan, tapi di sia-siakan!
Seorang anak yang rindu figur ayah penyayang dan bukan figur preman bayaran!
Bersambung…
No comments:
Post a Comment