Sunday, March 19, 2023

SURI (Bagian 17)

 


Aku masih duduk bermalas-malasan di atas sofa, ketika tangan Suri menarikku ke kamar mandi dan mengajakku mandi bareng. Wajahnya yang imut saat bangun tidur dengan suara yang serak-serak basah membuatku tidak kuasa menahan libido yang pelan-pelan mulai naik. 

“Serangan fajar”, begitu istilah yang seringkali orang bilang saat libido seorang pria naik dipagi hari. Sekarang aku pun merasakannya, hanya dengan mendengar suara manja Suri dan merasakan tangannya yang lembut menyentuh tangangku, seketika ada yang berdesir dan membesar di bawah sana, di balik celanaku.


“Ayo sayang, kita mandi bareng!”


Aku lalu beranjak dari sofa ketika Suri terus menarik tanganku. Aku kemudian memeluk Suri dan merasakan ada sesuatu yang mengganjal diantara pelukan kita. Aku kemudian semakin memeluknya erat agar penisku yang tengah ereksi bisa bergesekan dengan tubuhnya. Suri yang menyadari bahwa aku sedang melakukan petting, lalu melepaskan pelukanku. Matanya kemudian melihat ke arah penisku yang sudah tampak menonjol dibalik celana.

Suri lalu menggelengkan kepala seraya tersenyum malu-malu ke arahku.

“Dasar cowok!”


Ujar Suri. Dia lalu melepaskan sehelai demi sehelai baju yang melekat ditubuhku. Hingga kemudian tangannya melepaskan celanaku, penisku lalu berdiri dengan tegak di depan matanya.

Aku mengira Suri akan memegang penisku dan mengulumnya seperti yang tempo hari ia lakukan, namun ia malah berjalan ke kamar mandi tanpa menuntaskan hasratku pagi ini.


“Kamu kenapa?”


Tanyaku heran sambil mengikuti Suri ke kamar mandi. Suri belum menjawab pertanyaanku. Dia malah sibuk membuka semua bajunya hingga kini dia sudah telanjang bulat didepanku.

Dia lalu menari dengan sangat erotis, membuatku ingin segera menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, namun setiap kali aku mendekat, dia malah menghindar dariku, membuat hasratku semakin tak terkendali. Aku lalu mematung dengan posisi penis masih berdiri, ketika melihat Suri duduk ditepi bathtub dengan posisi mengangkang. Klitorisnya yang berwarna merah muda tampak menonjol diantara bibir vaginanya yang bersih dan tidak ada rambut sehelaipun karena Suri sering mencukurnya. Lidah Suri lalu dengan nakal menjilati tangannya dengan penuh gairah, seakan-akan yang dia jilat adalah sebatang penis. Mata Suri terus menatapku, seperti magnet yang menarikku untuk segera datang dalam pelukannya. 


Tak menunggu lama aku lalu menghampiri dia. Nafsuku yang sudah berada diubun-ubun, lalu mencium bibir dan lehernya dengan cepat. Sedang tanganku lalu meraih penis dan menggesekannya di atas klitoris milik Suri.


“Aaaaahhhh…”


Suri mendesah dan vaginanya mulai basah. Aku lalu memasukkan batang penisku pelan-pelan ke dalam vaginanya yang sekarang sudah sangat licin oleh pelumas alami yang keluar dari vaginanya. Aku lalu bergerak maju mundur dengan ritme pelan hingga cepat, sehingga membuat dia mencakar punggungku karena tak kuasa menahan rasa nikmat yang tak terkira.


“Aaaaahhhhh terus sayang jangan berhenti!”


Pinta Suri yang kemudian orgasme, sehingga membuat penisku terasa dihisap sangat kuat oleh vaginanya. Tak berapa lama kemudian penisku juga berkedut dan mengalami orgasme di dalam vagina Suri.


“Arrghhhhhh enak banget sayang!!”


Teriakku saat menghujamkan penisku dan pipis di dalam lubang kenikmatan miliknya.


Kita lalu berpelukan dan saling mencium bibir sebelum akhirnya mandi dan bersiap untuk sarapan.

***


Di meja makan kini sudah berkumpul keluarga Dee yang akan pulang ke Bali besok, sehingga hari ini adalah hari terakhir mereka berlibur di Kota Bandung. Melihat kelucuan Tissa, anak perempuan pertama Dee yang berusia tiga tahun membuatku teringat kue tart tadi malam yang belum sempat kita makan. Aku lalu mengambil kue itu dan menyalakan lilin di atasnya.


“Tissa, liat ini om punya apa? Tissa mau tiup lilin ga?”


Tanyaku seraya menghampirinya dengan membawa kue tart itu. Tissa tampak girang, dia lalu bertepuk tangan dan tersenyum lucu memperlihatkan gigi-ginya yang masih tampak jarang.


“Hepibetdey to you..”


Tissa lalu menyanyi dengan cadel , lalu meniup lilinnya dan kita semua bertepuk tangan. Semua orang di sini lalu tertawa melihat tingkah lucu Tissa, tidak terkecuali aku. Aku lalu menggendong Tissa dan dan menciumnya dengan kasih sayang seolah-olah dia adalah anak kandung yang selama ini aku rindukan keberadaannya.


“Om, Tica mau kuenya!”


Pinta Tissa menunjuk pada kue triple chocolate cake yang sudah berada di depan wajahnya.


“Oh boleh dong sayang. “


Ucapku seraya memotong kuenya dan menyuapi anak itu. 


“Udah cocok banget ya jadi papanya Tissa,hehe.”


Celetuk si pelakor tiba-tiba, membuat aku dan semua yang berada dimeja makan meliriknya sinis. Aku, Suri dan keluarga Dee memang masih tidak menyukai perempuan yang sudah merebut suami Dee itu. Aku malah tidak pernah menginginkan dia turut berlibur ke Bandung, namun Suri bersikukuh bahwa dia harus diajak karena hati suami Dee hanya akan luluh oleh pelakor itu. Oleh karena itulah sekarang pelakor itu berada di sini meskipun kita semua tidak menyukainya.


Selesai sarapan, aku menelpon pegawaiku untuk menjemput ibu dan ketiga anaknya dihotel dan membawanya ke rumahku di Bandung timur. Aku ingin dia dan anak-anaknya tinggal di sana untuk sementara sampai aku bisa menemuinya dan memberikan pekerjaan yang pas untuk ibu itu. Tadinya aku hendak menemuinya langsung hari ini, hanya saja aku takut terlambat untuk datang ke kantor dihari pertamaku memimpin perusahaan.

***


Aku dan Suri sudah berada di kantor ketika Suri tiba-tiba memperkenalkan seorang laki-laki berkulit putih, dengan tinggi sekitar 195cm, tubuh atletis, mata sipit, hidung mancung dan penampilannya sangat fresh dengan rambut yang disisir ke belakang dengan memakai pomade layaknya laki-laki metroseksual pada umumnya. Jas mahalnya tampak berkilau dengan kemeja putih di dalamnya. Sepatu kulitnya mengkilap seperti baru saja keluar dari toko sepatu. Arlojinya yang bertuliskan rolex semakin membuat laki-laki itu sempurna dihadapan para wanita.


“Kenalkan, ini Teo teman kuliahku dulu. Dia juga adalah salah satu komisaris di perusahaan kita.”


Aku dan Teo lalu bersalaman. Dan dengan rasa tidak percaya diri, aku juga mengenalkan diri sebagai suami Suri. Kita bertiga lalu berjalan bersama menuju ruang meeting karena hari ini memang kita membahas banyak hal yang berkaitan dengan perusahaan, termasuk mengenalkan semua karyawan yang berada di sini.


“Aku ke toilet dulu ya.”


Ucapku kepada Suri sebelum kita masuk ke ruang meeting.


Kehadiran Teo pagi ini membuat suasana hatiku berubah seketika. Aku lalu membanding-bandingkan diriku dengan Teo. Tubuhku yang semula terlihat tinggi yaitu sekitar 185cm, kini tampak pendek jika berdiri disebelah Teo. Kulitku yang semula tampak putih, kini menjadi lebih gelap ketika bersalaman dengan dia. Dan wajah orientalnya sangat tampan bak aktor Korea mengalahkan wajahku yang terlihat nerd dan jarang tersenyum. Bukan hanya itu, kariernya yang cemerlang dan dompet tebal pasti membuat semua wanita tergila-gila. Dan sekarang dia adalah bagian dari perusahaan ini, sudah pasti dia akan menjadi idola baru bagi para wanita, termasuk mantan-mantan dan istriku.


“Siapa aku kalau dibandingkan dengan dia?”


Tanyaku dalam hati yang terus membanding-bandingkan diriku dengan Teo, sehingga membuat rasa minderku muncul lagi dan aku menjadi bad mood seketika dihari pertama aku bekerja.

***


“Ganteng banget emang, terus wangi lagi. Duh senyumnya itu emang kaya oppa-oppa Korea banget!”


“Iya bener banget! Coba kalau pacar aku kaya cowok itu. Udah jadi bucin (budak cinta) deh aku,hehe.”


Tanpa sengaja aku mendengar percakapan dua orang karyawanku yang sedang membicarakan Teo ketika aku baru saja keluar dari toilet.


“Pagi pa!”


Ucap mereka seraya tersenyum dan menundukkan pandangan karena malu ketahuan bergosip pagi ini.


“Pagi!”


Jawabku singkat tanpa tersenyum sama sekali karena aku tidak suka mereka mengidolakan Teo.

***


Aku lalu masuk ke ruang meeting, dimana sudah banyak orang di sana termasuk Suri yang terlihat masih mengobrol dengan Teo yang duduk disampingnya.

“Sini sayang!”


Ucap Suri mempersilakan aku untuk duduk. Aku lalu berjalan ke arahnya dengan wajah datar dan sikap cool ku yang sedingin es. Sampai ketika meeting berlangsung, lalu aku melakukan persentasi, wajahku tidak pernah tersenyum sedikitpun. Aku memang tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahku ketika aku sedang badmood.


“Pak Direktur kita ini orangnya sangat serius ya, sampai-sampai seorang Suri yang manja sekarang menjadi sangat dewasa karena memiliki suami yang tegas dan berwibawa seperti ini.”


Celetuk Teo, setelah meeting baru saja selesai dilakukan.


“Terimakasih!”


Ucapku singkat. Teo langsung tertawa melihat sikapku yang masih datar, tapi aku tidak menghiraukannya dan melanjutkan acara potong tumpeng untuk menutup meeting kali ini.

Selesai potong tumpeng, semua yang hadir lalu berbincang satu sama lain seraya mengobrol santai. Sedang aku yang merasa tidak betah berada disitu, lalu beranjak dan meminta ijin kepada Suri untuk ke luar sebentar.


“Aku keluar sebentar ya sayang.”


Bisikku kepada Suri. Dia menolehku dan memegang tanganku tanda dia tidak ingin aku pergi.


“Kamu mau kemana sayang?”


Aku lalu melepaskan tangan Suri dan berbisik kembali kepadanya.


“Aku sakit kepala, mau beli obat dulu. Nanti kalau udah enakan aku telpon kamu.”


“Kamu kan bisa nyuruh Pa Andi buat beli obat. Ga harus kamu pergi sendiri. Aku panggil Pa Andi ya?”


Ucap Suri yang bersiap-siap memanggil Pa Andi, salah seorang office boy dikantor ini.


“Jangan! Aku mau sekalian ke café, memantau penjualan hari ini. Kamu tunggu aja di sini.”


Aku lalu pergi dari hadapan Suri yang belum mengiyakan permintaanku untuk pergi sendiri.

***


Di dalam café, aku memilih tempat paling ujung yang sepi dari lalu lalang pengunjung yang mulai berdatangan untuk makan siang.


Elea lalu datang dan menyodorkan secangkir kopi yang masih panas.


“Kamu lagi bad mood? Kopi dulu deh biar suasana hatinya enakan lagi.”


Ujar Elea menghiburku. Aku hanya diam membisu dan tidak menggubris ucapannya. Elea yang merasa bosan karena aku masih diam, lalu beranjak dari tempat duduk.


“Ya udah, aku ke dapur dulu ya. Kamu nyantei dulu aja di sini, ok! Jangan banyak pikiran, nanti ga ganteng lagi,hehe.”


Dia lalu berlalu meninggalkanku yang masih terpaku dengan secangkir kopi panas yang belum aku teguk sedikitpun.


Handphone ku kemudian berdering beberapa kali. Suri menelponku daritadi, tapi aku sedang malas untuk berbicara dengan siapapun.


[Kamu kenapa sih? Sekarang dimana?]

Aku hanya membaca pesan dari Suri tanpa membalasnya. Dia lalu menelponku lagi, tapi tidak aku angkat. Aku kemudian mematikan handphone karena merasa sangat terganggu.


Aku mulai menyeruput kopi yang sudah terasa tidak terlalu panas. Mendengar kata ganteng yang diucapkan Elea, membuatku teringat lagi wajah Teo yang lebih pantas disebut ganteng. Aku tidak ada apa-apanya dibanding dia. Ah, lagi-lagi rasa minder kemudian menghilangkan rasa percaya diriku yang baru dibangun sedikit demi sedikit.


“Kamu kenapa sih? HP kamu juga ga aktif aku telponin daritadi. Kalau ada apa-apa itu ngomong, jangan kaya gini. Aku ga akan tau kamu kenapa kalau kamu ga ngomong.”


Suri sudah berada di depanku seraya nyerocos panjang lebar. Aku yang merasa malu karena banyak orang yang melihat, lalu menyuruhnya untuk duduk. Suri lalu duduk dan kembali nyerocos.


“Tadi banyak tamu penting, tapi kamu sebagai pimpinan perusahaan malah nyantei-nyantei di sini.”


Aku lalu geram mendengar tamu penting yang diucapkan oleh Suri. Aku lalu mengira kalau tamu penting itu pasti Teo, lelaki idaman semua wanita.


“Siapa tamu penting? Teo?”


Tanyaku dengan nada cemburu. Suri diam sejenak lalu dia melihat ke wajahku dengan tatapan yang tidak biasa.


“Kamu jelous?”


Tanya Suri yang memandangku dengan serius. Aku tidak menjawabnya dan terus menyeruput kopiku.


“Besok aku panggil psikolog!”


“Hah ngapain?”


Aku hampir tersedak mendengar Suri yang berniat memanggil psikolog tanpa menjelaskan apa kaitannya cemburu dengan memanggil seorang psikolog.


“Ini buat kesehatan mental kamu. Kamu ga bisa gini terus, apalagi sekarang aku mempercayakan perusahaan dan café ke tangan kamu. Jangan sampe perusahaan ga berkembang gara-gara pemimpinnya ga punya kesehatan mental.”


Suri kemudian berdiri dan menarik tanganku agar mengikutinya.


“Mau kemana?”


Tanyaku yang masih enggan untuk pergi dari café.


“Ke Kantor! Kalau ga mau, aku bakal ganti posisi kamu sama Teo!”


Ucap Suri tegas dan tanpa basa-basi, membuatku terpaksa mengikuti dia seperti seorang anak kecil yang tengah dibawa pulang ibunya.


“Enyah kau Teo!”


Gerutuku dalam hati yang sudah muak mendengar namanya terus disebut.

***


Dulu, aku pernah ingin menjadi rembulan paling teduh yang jatuh diantara sunyinya malam ke sepuluh. Lalu, kemarin aku ingin menjadi matahari yang bisa berpijar gagah menyalakan semangat para pejuang rupiah. Dan kini aku ingin menjadi purnama yang bercahaya dan membuat wanita tergila-gila. Sedang esok atau lusa? Aku tidak tahu ingin menjadi apa. Sebab aku menjadi sangat lelah dengan kata “kalah” yang membuatku tampak begitu rendah, gundah!


Bersambung..

No comments:

Post a Comment