Suri dan Anna |
Dini hari ini ketika aku membuka mata, Suri masih tertidur pulas dalam pelukanku. Sepertinya dia masih kelelahan karena aktivitas semalam. Aku lalu penasaran apakah ada darah di atas sprai atau tidak. Tanganku kemudian menyingkap selimut yang menutup tubuhku dan Suri. Mataku lalu melihat sprai putih itu kini sudah ada bercak berwarna coklat tua. Sepertinya bercak itu memang darah dari selaput dara Suri yang semalam sobek. Aku lalu mengelus rambut coklatnya yang terurai dan mengecup keningnya dengan penuh rasa sayang. Aku masih merasa bersalah kepadanya karena semalam membayangkan sosok Annalah yang tengah bercinta denganku.
“Morning.”
Suri lalu terbangun dan mengucapkan selamat pagi. Dia tersenyum begitu manis. Aku lalu membalas senyumnya dan mengecup lembut bibirnya.
“Morning sayang. Tadinya aku ga mau bangunin kamu, soalnya takut kamu masih cape. Aku mau mandi dan shalat tahajud, sekalian nunggu subuh.”
Suri lalu cekikikan seraya menutup mulutnya.
“Kenapa ketawa?”
Tanyaku keheranan. Suri lalu mendekatkan wajahnya dan kembali tersenyum.
“Pengen dong dipanggil lagi sayang, hehehe.”
Aku yang mendengar Suri menggodaku menjadi canggung dan malu. Aku lalu berdiri dan menatap Suri dengan perasaan kikuk.
“Ga ah, kayanya tadi keceplosan,hehehe.”
Aku kemudian melangkahkan kaki dan hendak ke kamar mandi, namun tangan Suri menghentikan langkahku. Aku lalu berbalik melihatnya.
“Gendong…”
Suri merengek manja meminta aku menggendongnya. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang seperti anak-anak.
“Berat tau. Mana pernah aku gendong orang dewasa.”
Aku lalu menjulurkan lidah untuk menggodanya. Suri masih belum melepaskan tangannya dan mukanya masih cemberut menatapku. Aku yang tak kuasa mendengar rengekannya lalu duduk membelakangi dia agar dia bisa naik ke punggungku.
“Ini sih kaya anak digendong bapaknya. Kalau difilm-film tuh dipangku sama tangan gitu lho bukan sama punggung, hahaha.”
Suri lalu tertawa dan meledekku saat aku menggendongnya ke kamar mandi. Dia lumayan berat juga ternyata padahal badannya langsing.
“Yee, digendong gini aja punggungku kaya mau patah. Kalau nanti aku bongkok kaya kakek-kakek, kamu tanggung jawab ya. Kebayang kalau kamu aku pangku kaya difilm-film, tanganku mungkin keseleo. Hahahaha.”
“Makannya kan aku bilang olahraga, biar kamu ada sedikit tenaga. Masa buka tutup botol aja aku yang bukain. Hihihi.”
Suri masih menggodaku yang kini sudah berada di dalam bathtub bersamanya. Tanganku kemudian menggelitik badannya karena tak henti-hentinya dia mengejekku. Dia lalu tertawa dan memasang raut wajah seperti bebek. Aku pun tertawa melihat tingkahnya yang lucu seperti anak-anak.
“Dasar ya kamu.. Olahraga yang kaya semalam aja ya kayanya lebih enak, hehehe.”
Aku menggodanya yang masih cekikikan memainkan busa sabun di tangannya.
“Boleh, tapi coba bilang sayang dulu, hihihi.”
Suri lalu menjulurkan lidahnya tanda menggodaku. Aku pun tidak berhenti menggelitik dia karena dia begitu nakal seperti anak-anak. Dia menggelinjang karena merasa geli, lalu kita tertawa bersama dan melanjutkan mandi sebelum shalat tahajud dan subuh.
Itulah Suri, seorang perempuan yang sangat manja, ceria, lucu dan selalu membuat orang-orang disekelilingnya tertawa, tidak terkecuali aku. Sejak aku mengenalnya hingga menikah dengannya, entah sudah berapa kali aku tertawa dibuatnya. Suri memang gadis yang penuh dengan warna, berbeda dengan Anna yang misterius, kalem dan sikapnya yang sedingin es. Ah, lagi-lagi bayangan Anna terlintas begitu saja, aku lalu beristighfar.
Aku sudah berada di tepi pantai, ketika seorang anak aku lihat sedang membuat istana pasir. Anak perempuan itu sangat lucu, usianya sekitar empat tahun. Kulitnya putih, matanya sipit, dan rambut panjangnya yang berwarna cokelat tengah dikepang dua. Sungguh menggemaskan. Aku lalu mendekatinya.
“Lagi bikin apa dek? Istananya bagus ya. Nama adek siapa?”
Anak itu lalu melihatku tanpa berkata-kata, dia lalu berlari dari depan mataku. Aku sangat terkejut dengan tingkah anak itu, sebab biasanya anak-anak yang aku sapa tidak akan pernah setakut itu bertemu orang baru. Aku lalu berjalan dan mengikuti kemana anak itu pergi. Sampai kemudian langkahku terhenti dan melihat Anna sudah berdiri di depan mataku.
“Kenapa sayang?”
Anna lalu bertanya kepada anak kecil yang kini memeluknya ketakutan. Anak itu lalu menunjuk ke arahku.
“Kenapa emang omnya?”
Anna lalu mengelus rambut anak itu. Aku merasa kesal dibuatnya, sebab aku tidak berbuat apa-apa kepada anak tadi. Aku hanya menyapanya.
“Tadi, aku liat anak ini lucu banget. Terus aku samperin dan aku tanya dia lagi apa dan aku tanya namanya siapa. Tapi, dia langsung lari.”
Aku menjelaskan apa yang terjadi tadi kepada Anna. Anna lalu tersenyum dan kemudian meminta maaf kepadaku. Senyumnya sungguh menghipnotis aku yang masih terpana dibuatnya.
“Duh maaf ya, anak aku memang begini. Dulu aku memang ngajarin dia untuk berhati-hati terhadap orang baru.”
“Iya, ga apa-apa. Memang lebih bagus begitu sih, karena jaman sekarang banyak orang jahat yang kadang-kadang mengincar anak-anak.”
Aku lalu tersenyum dan mengelus rambut anak itu.
“Cepet minta maaf sama om.”
Anak itu lalu mengulurkan tangannya untuk meminta maaf. Dia benar-benar menggemaskan. Aku lalu jongkok dan melihatnya dari dekat.
“Aku minta maaf ya om. Nama aku Carla.”
Carla benar-benar imut dan lucu. Aku lalu menggendongnya setelah melihat senyumnya yang menggemaskan.
“Carla lucu banget. Pengen deh punya anak kaya gini satu, hehehe.”
Aku dan Anna lalu tertawa. Tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya menyilaukan mataku. Spontan aku berbalik ke arah kiri.
JEPRETT!!
Seseorang telah mengambil foto kami bertiga. Orang asing yang tidak aku kenali, lalu mengambil hasil foto yang keluar dari kameranya dan tersenyum melihat gambar yang sudah dia ambil tanpa permisi.
“Indahnya potret keluarga bahagia..”
Laki-laki itu lalu tersenyum dan memberikan hasil fotonya kepadaku. Aku tersenyum malu-malu melihat fotoku bersama Anna dan Carla.
“Sungguh serasi.”
Ucapku dalam hati. Aku masih tersipu melihat foto itu.
“Istri dan anakku baru meninggal seminggu lalu karena kecelakaan. Kalau masih ada, mungkin aku bisa difoto bertiga seperti ini."
Raut wajah bapak itu kini tampak begitu sedih. Aku lalu menepuk pundaknya untuk menghibur dia. Tak berselang lama, aku melihat seorang bapak-bapak dengan perut buncit dan kepala botak berjalan ke arah kami. Usianya sekitar enam puluh tahun, kulit coklat dan memakai kacamata hitam.
“Mama daritadi dicariin ternyata di sini. Ditelpon ga diangkat. Papa nunggu lama banget. Ayo cepet.”
Alangkah terkejutnya aku ketika laki-laki itu memanggil Anna dengan sebutan mama. Aku masih tidak percaya bahwa Anna menikah dengan laki-laki paruh baya yang seumuran dengan ayahku.
“Maaf pa, tadi hp ketinggalan di kamar. Kenalin ini pengantin barunya.”
Laki-laki itu lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat. Mereka lalu pergi dari hadapanku yang masih terpaku tidak percaya. Bukan hanya aku yang kaget, tapi bapak-bapak yang tadi memotret kami juga kini melongo dibuatnya.
“Kirain anda itu suaminya, lebih cocok soalnya, hehehe.”
Ujar bapak itu tertawa melihat suami Anna yang sudah berlalu dari hadapan kami. Aku tersipu malu mendengar ucapannya. Dia lalu meminta maaf dan mengambil foto itu kembali dari tanganku.
“Biar aku simpan aja ya fotonya, soalnya kan salah motret, hehe.”
Tanpa aba-aba, aku lalu mengambil kembali foto yang barusan direbut bapak itu.
“JANGAN!! Aku bayar deh..”
Bapak itu lalu tertawa terbahak-bahak seakan tahu bahwa aku memang mencintai perempuan yang sudah bersuami itu. Dia lalu menepuk bahuku dan tersenyum lebar.
“Masih banyak ikan di lautan yang bisa ditangkap, tapi kenapa ya kebanyakan orang sekarang lebih menyukai ikan di dalam aquarium yang memang sudah dibeli oleh orang lain?”
Aku tertegun mendengar ucapan bapak-bapak itu. Kata-katanya seakan menamparku yang kini memiliki perasaan kepada perempuan yang sudah menjadi milik orang lain. Aku terdiam dan memandangi laut yang penuh dengan debur ombak. Bayangan Suri lalu melintas. Dia seakan tengah berlari di tepi pantai dan tertawa ceria ke arahku.
“Oh, Suri maafkan aku.”
Ucapku dalam hati.
“HAYOO MELAMUN!!!”
Suara Suri lalu mengagetkanku. Dia kini sudah berdiri di belakangku. Aku lalu melihat ke belakang. Dia masih cekikikan seperti biasanya.
“Kenalin pa, ini istri saya.”
Aku lalu mengenalkan Suri kepada Bapak itu. Dia terpana melihat kecantikan istriku yang memang blesteran Inggris. Matanya nyaris tidak berkedip.
“Cantik banget.”
Suri tersenyum mendengar pujian keluar dari mulut bapak itu. Bapak itu lalu berbisik ke telingaku.
“Syukuri apa yang sudah berada di depan mata. Penyesalan selalu datang belakangan. Kadang kita terlalu kagum dengan emas di sebrang sana, Sampai kita lupa berlian yang ada di depan mata. Jangan menyia-nyiakan istrimu.”
Bapak itu lalu berlalu setelah mengucapkan kata-kata itu dan berpamitan dengan kami.
“Bapak itu ngomong apa?”
Tanya Suri penasaran.
“Dia bilang, kamu itu manusia atau bidadari?”
Suri lalu tertawa dan mencubit pinggangku. Dia tersipu malu. Suri lalu menarik tanganku menuju laut. Dia tampak girang bermain air laut. Dia kemudian mencipratkan air laut ke tubuhku sehingga membuat bajuku basah. Aku lantas mengejarnya, namun dia terus berlari sambil menjulurkan lidah ke arahku tanda menggoda. Kita lalu main kejar-kejaran seperti dua orang anak kecil yang tengah bermain dalam kebahagiaan.
Oh Suri, tetaplah menjadi pelangi bagi sang penyair yang hatinya tengah terbagi. Tetaplah menjadi secerah awan dengan tawa sumringah yang mampu melelehkan bongkahan es. Jadilah satu-satunya bidadari berpita emas yang tak pernah lelah membuat hariku berwarna-warni.
Oh, Suri tetaplah seperti ini..
Aku ingin hatiku utuh mencintai!
Bersambung
No comments:
Post a Comment