Wednesday, March 15, 2023

SURI (Bagian 11)

 


Bendera kuning itu masih berkibar di depan mataku. Warnanya yang menyala cukup menyilaukan mata. Melihat bendera itu mataku terasa pedih, seperti ditembak oleh gas airmata. Aku menangis melihat seseorang yang pernah ada dalam hidupku kini terbujur kaku dibalut kain kafan. Tubuhnya sudah tidak bergerak. Wajahnya pucat dan terasa sedingin es. Dee meninggal dunia tanpa sempat siuman sebentar saja. Andai saja dia sempat terbangun ketika koma, aku ingin menguatkan dia agar tetap berjuang dimasa kritis itu dan melawan rasa sakitnya. Andai saja dia sempat terbangun, aku ingin bercerita panjang lebar tentang kisahku seperti biasanya karena dia adalah seorang pendengar yang baik. Namun, kini dia sudah tidak bisa membuka mata. Dan aku merasa sangat kehilangan.


“Masih inget apa yang aku bilang?”


Tiba-tiba Suri bertanya ke arahku seraya mengusap airmataku yang masih turun dengan deras.


“Sedih itu sewajarnya saja!”


Aku tidak menggubris ucapan Suri karena aku tidak mau berdebat dalam situasi duka seperti ini. Aku juga tidak mengerti dengan maksud dia dengan sedih yang sewajarnya itu seperti apa. Apa bisa kita menakar atau membatasi setiap perasaan yang sedang kita rasakan sekarang? Sepertinya akan sulit bagiku untuk melakukan itu.


Dari jauh, aku melihat satu orang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun berdiri di dekat pintu. Disampingnya ada ibu-ibu sedang menggendong seorang bayi.


“Itu anak-anak Dee, kasian banget masih kecil-kecil udah ditinggal ibunya.”


Celetuk seorang ibu-ibu disampingku. Aku lalu menatap anak itu dengan rasa iba dan sedih yang menyayat hati. Ingin rasanya memeluk kedua anak Dee lalu mengadopsinya agar aku bisa memberikan kasih sayang yang melimpah kepada mereka dan membesarkannya dengan baik. Namun, keinginanku mustahil terwujud, sebab keluarganya pasti akan mempertahankan anak-anak almarhummah.


“Itu cewek pelakornya bukan?”


Ujar ibu-ibu yang satunya seraya melirik kepada perempuan yang menggendong anak Dee.


“Husss ngaco, itu pengasuh anaknya. Si pelakor mana berani nongol di sini kalau ga mau babak belur.”


Kedua ibu itu terus berbicara panjang lebar dengan nada pelan karena takut ada yang mendengar mereka. Aku yang mulanya tidak menghiraukan pembicaraan kedua ibu itu, kini jadi antusias untuk mendengarkan kisah hidup Dee dengan seksama.


“Jadi, Dee itu meninggal bunuh diri atau emang murni tenggelam?”


Tanya ibu yang memakai kerudung hijau kepada ibu-ibu yang memakai kerudung hitam.


“Katanya sih murni tenggelam, soalnya lagi berenang, padahal ombak lagi besar-besarnya.”


“Lagi frustasi kayanya ya? Semua gara-gara pelakor emang. Sudah seharusnya pelakor dibasmi.”


Ibu disebelahnya mengangguk tanda setuju dengan ucapan temannya.


Aku menghela nafas panjang mendengar kisah Dee yang dimadu suaminya, padahal dulu aku sangat menyayangi dia. Tapi, Dee kemudian meninggalkan aku karena saat itu jenis kelaminku masih seorang perempuan. Dia lalu menikah dengan laki-laki yang belum lama dikenalnya hanya karena dia berjenis kelamin laki-laki. Dee langsung mengiyakan lamaran dari keluarga itu dan meninggalkan aku yang sudah bertahun-tahun dia perjuangkan. Dari kejadian itu aku sadar bahwa jenis kelamin selalu memenangkan cinta. Aku kalah karena jenis kelamin tidak memihakku pada saat itu.


Aku dan Suri lalu berpamitan setelah kita ikut shalat jenazah dan memakamkan jenazah. Kita kemudian kembali ke hotel yang berada tidak terlalu jauh dari rumah Dee.


Sepanjang perjalanan, Suri terus menatapku yang masih diam membisu menahan kesedihan.


“Kamu tau ga kenapa sebagian besar orang merasakan kesedihan yang berlarut-larut?”


Aku hanya menggelengkan kepala saat mendengar pertanyaan dari Suri. Aku masih enggan untuk berkata-kata.


“Karena kebanyakan orang terlalu mendramatisir perasaan mereka. Mengingat-ingat lagi kenangan masalalu, berandai-andai, menyesal, dan banyak lagi yang sebetulnya perasaan itu mereka yang ciptain sendiri. Padahal kalau kita percaya adanya takdir ya udah, kita ikutin aja skenario-Nya dan berusaha hidup sesuai yang Dia mau aja. Kita hanya perlu fokus aja sama tujuan hidup kita sebenarnya. Dan kalau ada hal-hal yang bikin kita sedih dan kecewa, ya kita anggap aja iklan, ga perlu baper berlarut-larut. Bukannya kita juga ga suka liat iklan lama-lama dan selalu skip iklan itu? Begitu juga dengan kesedihan. Anggap aja iklan, sedih sebentar lalu kita berjalan lagi menuju tujuan kita.”


Aku tersenyum kecut mendengar ucapan Suri. Semua yang dia katakan memang ada benarnya. Tapi, masalahnya apakah dia juga sudah melakukan apa yang dia ucapkan?


“Ngomong memang gampang, tapi prakteknya apa segampang itu?”


Ucapku kepada Suri yang masih sering berbicara tanpa pernah dipikir dahulu.


“Gampang! Semua bisa karena terbiasa. Aku udah ngelakuin itu makannya ngomong sama kamu. Coba deh kamu latihan lagi untuk me manage perasaan kamu. Kalau terbiasa dilatih, insyaallah lambat laun kebiasaan itu akan jadi karakter kamu. Dan kalau udah jadi karakter, kamu ga perlu repot-repot belajar lagi me manage rasa karena semua udah terekam dalam alam bawah sadar kamu. Ya seperti pertama kali kita belajar menyetir, mulanya pasti melelahkan, tapi setelah kita terbiasa dan mahir, kita malah bisa menyetir sambil merokok dan bahkan telponan.”


Aku tersenyum mendengar penjelasan Suri. Kali ini aku setuju dengan saran darinya untuk berlatih terus. 


Sesampainya di hotel, aku melihat seorang bayi yang tengah digendong oleh ibunya. Aku lalu teringat anak Dee yang sekarang sudah menjadi anak yatim.


“Oya sayang, mau ga kita adopsi anak Dee? Aku ga mau anak itu diasuh sama pelakor atau dititipin ke neneknya yang udah tua. Tapi ya itu juga kalau bisa diadopsi. Aku ga yakin keluarganya bakal ngijinin.”


Suri kaget mendengar perkataanku, tapi dia lalu bertanya dengan penuh rasa penasaran.


“Pelakor siapa?”


Aku lalu menjelaskan apa yang aku dengar tentang Dee tadi kepada Suri. Mata Suri berkaca-kaca seperti ikut merasakan kesedihan Dee yang dimadu oleh suaminya.


“Aku mau juga adopsi anak-anak itu. Mari kita berjuang bersama untuk dapetin ijin dari keluarganya.”


Aku dan Suri lalu tersenyum membayangkan indahnya jikalau ijin dari keluarganya bisa kita dapatkan dan akhirnya kita memiliki dua orang anak sebelum Suri bisa mengandung anak biologisnya sendiri. Aku kemudian menggandeng tangan Suri dengan perasaan bahagia karena dia selalu mendukung mimpi-mimpiku selama ini.


“Makasih sayang karena kamu selalu mendukung semua mimpi dan rencana-rencana yang aku buat."


Suri tersenyum mendengar ucapanku. Dia lalu mengecup pipiku hingga aku tersipu karena malu. Kita lalu berjalan kembali menuju kamar.


“Oya ngomong-ngomong soal mimpi, selain mengadopsi anak mantan kamu, apa kamu masih punya mimpi yang belum terwujud ga sayang? Coba deh kamu ceritain sama aku. Semoga aja Allah mengabulkan.”


Suri tiba-tiba membuka pembicaraan ketika kita sudah selesai mandi dan sekarang sedang rebahan ditempat tidur.


“Hmm, apa ya? Bentar aku ingat-ingat dulu.”


Aku lalu berpikir sejenak, hingga kemudian aku tahu tentang sesuatu yang ingin aku wujudkan selama ini.


“Dulu aku pernah punya mimpi kalau suatu saat kisah hidup aku itu dibikin buku, lalu diangkat ke layar lebar. Aku ingin kisah hidupku memotivasi banyak orang. Bukan cuma itu, kalau bisa, aku yang menjadi produser dan sutradaranya langsung. Aku juga ingin punya rumah produksi biar karya-karya aku bisa terus diangkat ke layar lebar. Itu impianku sebelum kenal kamu sayang. Sekarang setelah mengenal kamu, ambisiku semakin besar untuk mewujudkan mimpi itu. Kayanya kalau judul novelnya aku kasih nama SURI menarik ga ya? Aku pengen mengabadikan nama istriku yang paling istimewa lewat buku dan film biar kisah kita tidak mati termakan waktu sekalipun kita udah ga ada.”


Suri lalu mendekatkan wajahnya ke arahku. Dia lalu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Tangannya dengan lembut kemudian mengelus rambutku.


“Aku akan menjadi orang pertama yang berjuang untuk mewujudkan semua yang kamu cita-citakan. Ayo berjuang bersama!!”


Aku lalu mencium bibir Suri yang kini sudah duduk di atas tubuhku. Kita lalu berciuman dan berpelukan. Sekarang aku benar-benar jatuh cinta sejatuh-jatuhnya kepada istriku yang bernama Suri.


“Sayang, sebelum kamu nanti adopsi bayi, boleh ga aku minta sesuatu?”


Suri terlihat bingung mendengar permintaanku. Aku lalu berbisik mesra ke telinganya.


“Boleh ga, aku jadi bayi kamu malam ini?”


Suri lalu mencubit pinggangku seraya tersenyum malu-malu. 

“Udah bisa godain aku ya sekarang? Hahaha.”


Mendengar Suri yang tertawa menggodaku, aku aku langsung menggelitik badannya sehingga dia menggelinjang karena geli. Kita lalu tertawa dan kembali bercinta seperti dua orang anak muda yang tengah jatuh cinta.


Bulan mengintip di balik jendela. Cahayanya mengendap malu-malu mengetuk pintu. Ada desahan-desahan manja tengah membuka baju. Bertelanjang dada memadu keindahan. Erangan-erangan nikmat ibarat bahasa malam dalam remang-remang. 

Bergulat, menindih dan merintih, hingga menjadi benih.

Oh Suri, kini aku tergila-gila..

Menjadi bayi dewasa!


Bersambung..





No comments:

Post a Comment