“Masih ingat ga waktu kita di Bali, kamu pernah cerita sama aku kalau ada satu mimpi kamu yang belum terwujud? Kamu ingin kisah kita dibuat buku dan suatu hari buku itu bisa difilmkan? Kenapa sekarang kita ga mulai mewujudkannya? Kita hanya perlu mengambil langkah pertama. Aku siap mendampingi kamu sampai impian itu bisa terwujud.”
Suri menyodorkan sebuah laptop kepadaku dan memintaku untuk menulis. Aku memandangi laptop itu dan masih bingung harus mulai menulis darimana. Suri yang paham akan hal itu lalu duduk di sampingku dan kemudian menyalakan laptopnya.
“Ga perlu bingung harus mulai darimana, tapi tulis saja yang ingin kamu tulis. Nanti aku bantu juga sedikit-sedikit. Kita kerjakan berdua ya sayang. Kalau buku ini udah selesai, aku yang mau turun tangan sendiri untuk mengangkat cerita ini menjadi film. Berapapun biaya yang harus dikeluarkan, aku ga akan mempermasalahkan.”
Aku lalu memegang tangan Suri dan menciumnya dengan lembut. Kulitnya begitu halus dan wangi. Tangan Suri memang sangat indah, dengan jari-jari yang lentik dan ramping, serta kulit putih bersih membuatku selalu ingin berlama-lama memegang tangannya dan menciumnya.
“Makasih sayang! Hari ini memang cukup berat untukku, tapi kamu selalu membuat semua menjadi terasa ringan. Makasih karena kamu masih ingat mimpiku. Makasih juga karena kamu ingin mewujudkannya. Aku menulis sekarang ya!”
Suri mengangguk dan tersenyum melihatku yang mulai menarikan jari-jari tangan di atas keyboard laptop. Suri kemudian memainkan alat musik kalimba untuk menemaniku mengeluarkan isi kepala.
“Sejak kapan kamu bisa alat musik kalimba?”
Tanyaku heran karena sebelumnya aku tidak pernah melihat Suri memainkan alat musik kalimba.
“Udah lama ko aku bisa main kalimba, cuma aku belum pernah memainkannya di depan kamu aja. Ya udah, sekarang kamu lanjut ngetiknya dan aku mainin kalimbanya buat kamu.”
Aku mengangguk dan mulai fokus ke depan layar laptop sambil mendengarkan alunan kalimba yang indah yang dimainkan oleh Suri.
***
“Aku ga mau putus sama Rossa!”
Ujar Tiara yang pagi ini sudah berada di Yayasan. Penampilan Tiara sangat berbeda dengan Rossa. Rambutnya pendek dengan model undercut berwarna pirang. Telingnya penuh dengan tindikan dan tangannya bertato. Sedangkan Rossa tampak feminim dengan rambut hitam panjang dan selalu terlihat mengenakan rok.
“Kita ga menyuruh kalian putus. Kita hanya meminta Rossa tinggal di sini sementara waktu agar dia bisa konsultasi dan…”
Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, perempuan tomboy itu lalu memotong pembicaraan dan menarik tangan Rossa.
“Ga usah dibuat rumit Om! Aku sama Rossa ga sakit. Aku sama dia cuma dua orang manusia yang saling menyukai. Ya kaya om sama tante yang saling mencintai. Kalau kita bisa menikah, kita udah menikah dari dulu. Tapi kan ga bisa! Aku mau bawa pulang Rossa! Kita udah lama tinggal bareng. Jadi, ga ada yang bisa misahin aku sama Rossa! Aku siap pasang badan!”
Tiara lalu pergi begitu saja bersama Rossa, meninggalkanku sendiri yang masih melongo dibuatnya karena belum selesai berbicara.
“Aku suka tuh sikap Tiara yang gentle, tegas dan ga bertele-tele.”
Aku melirik ke arah Suri yang kini senyum-senyum sendiri ketika menyebut nama Tiara yang menurutnya gentle dan tegas.
“Kamu suka sma dia?”
“Iya aku suka sikap dia yang tegas!”
Jawab Suri singkat yang membuatku merasa tersindir karena selama ini aku jarang bisa bersikap tegas dan kadang selalu bertele-tele.
“Tapi, dia ga ada sopan santun. Aku belum selesai bicara aja dia udah pergi gitu aja. Ga permisi sama sekali!”
Ucapku yang masih kesal dengan sikap Tiara yang tidak bisa menghargai orang yang sedang berbicara dengannya.
“Ya namanya juga anak muda! Nanti juga dia bisa belajar sopan pelan-pelan.”
Timpal Suri seraya pergi untuk lari pagi.
***
“Sayang, jadi awal mula kamu berubah menjadi laki-laki setelah pulang dari makam keramat Mahmud?”
Tanya Suri yang kini mulai membaca Bab pertama dari novel yang aku tulis semalam.
“Iya! Aku kira juga ada kaitannya dengan tempat itu, tapi ibuku bilang bukan. Semuanya ya memang kehendak Allah aja aku tiba-tiba berubah menjadi laki-laki.”
Suri mengangguk dan lanjut membaca.
“Oya sayang, kapan-kapan kita ke tempat itu yuk? Anggap aja nostalgia waktu kamu terakhir jadi perempuan.”
“Mending ga usah ke sana sayang! Gimana kalau aku berubah lagi jadi perempuan?”
Ucapku kepada Suri yang masih bersikeras untuk datang ke makam keramat itu.
“Hahaha, ya ga mungkinlah sayang. Kamu takut banget kalau kamu tiba-tiba berubah lagi jadi perempuan? Asal kamu tahu aja, kalaupun kamu jadi perempuan lagi, aku ga akan pernah ninggalin kamu. Ga akan ada yang berubah dengan hubungan kita. Yang berubah hanya tubuh kamu saja.”
Aku terharu mendengar kata-kata Suri sekaligus merasa khawatir kalau apa yang kita takutkan barusan benar-benar terjadi. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau aku tiba-tiba berubah lagi menjadi seorang perempuan. Aku tidak siap dan tidak akan pernah siap membayangkan hal itu.
“Kita jangan ngomongin itu lagi ya! Aku udah bahagia sekarang bisa menikah sama kamu. Dan kalau sampai kelaminku tiba-tiba berubah lagi menjadi perempuan, mana bisa kita menikah. Bisa-bisa pernikahan kita yang sudah sah juga dibatalkan.”
Aku lalu memeluk Suri dengan erat seraya membayangkan kalau aku harus kehilangan dia karena pernikahan kita batal dan dianggap tidak sah.
“Kan aku udah bilang sayang, apapun yang terjadi. Mau kamu laki-laki atau perempuan, aku janji ga akan pernah ninggalin kamu. Kita tetap hidup bersama dan membesarkan anak-anak.”
Ucapan Suri cukup membuatku hatiku tenang, namun tetap saja aku tidak tahu apa dia masih akan bersikap seperti ini ketika hal itu benar-benar terjadi, atau Suri akan pergi dan mencari pengganti.
“Kamu bisa ngomong begitu sekarang, tapi ga tahu kalau aku benar-benar jadi perempuan, apa kamu masih tetap bertahan atau memilih si Teo yang kata semua orang tampan dan mapan.”
Suri kemudian melepaskan pelukanku dan wajahnya terlihat geram karena aku menyebut nama Teo di depannya.
“Yang ada juga kamu tu bakal kegatelan lagi sama si Amar! Waktu jadi laki-laki aja kamu masih berani naik ke punggung dia, apalagi kalau jadi perempuan, udah pasti kamu mau diajak naik ke pelaminan!”
“Itu kan waktu aku takut karena dikejar anjing! Aku udah jelasin ini berkali-kali kayanya, tapi kamu ngebahas terus.”
“Kamu juga bahas Teo terus, padahal aku udah bilang ga suka sama dia!”
Timpal Suri yang masih tidak mau kalah berbicara denganku. Aku hanya tertawa melihat Suri yang selalu cemburu dengan Amar dan aku yang kerap cemburu dengan Teo.
“Ya, udah makannya kita jangan ke makam itu ya. Biar apa yang kita takutkan ga terjadi!”
“Yang mengubah kelamin kamu itu Tuhan, bukan makam! Udah masuk syirik loh kalau kamu mikirnya begitu! Aku tetep mau ke makam itu buat berziarah. Kalau kamu ga mau nemenin ga apa-apa, aku bisa pergi sama supir.”
Suri masih bersikeras ingin pergi ke makam keramat Mahmud, seperti anak kecil yang terus merengek ingin dibelikan permen. Aku hanya menggelengkan kepala dan menghela nafas panjang melihat tingkah istriku yang kadang-kadang masih terlihat kekanak-kanakan.
“Ya udah, besok kita kesana!”
Suri terlihat girang mendengar jawabanku yang kemudian mengiyakan apa yang dia mau.
“Makasih sayang! Kamu memang suami terbaik untukku!”
Ucap Suri sambil mengecup pipiku. Aku hanya tersipu dengan hati yang sebetulnya masih ragu-ragu.
***
Kalau aku kembali menjadi rembulan, masihkah kau mau bercinta denganku setiap malam? Kalau aku kembali menjadi rembulan, masihkah dedaunan bisa tumbuh hanya dengan sinar yang temaram? Kalau aku menjadi rembulan, masihkah kau tetap bertahan di atas pelaminan? Dan tetap menjadi pengantinku yang setia hingga ajal memisahkan?
Kalau aku kembali menjadi rembulan dan kau pun rembulan, masihkah nama kita tercatat dalam buku pernikahan? Masihkah kita bisa berjalan bergandengan dan menyebut diri kita pasangan?
Kalau aku kembali menjadi rembulan dan kau pun rembulan, Masihkah kita mendapat restu dari Tuhan?
Masihkah ada harapan?
Ikatan?
***
Bersambung…
No comments:
Post a Comment