Jarum jam menunjukkan pukul 20.00, ketika aku dan Suri masih berada di Café dan sibuk untuk membantu karyawan-karyawanku yang tengah membuat nasi bungkus yang rencananya akan kita bagikan kepada tukang ojek, tukang becak di daerah Bandung Timur, pengemis, pengamen jalanan dan orang-orang yang memang terlihat belum makan malam.
“Sayang, aku ga nyangka kamu suka banget dengan kegiatan sosial. Aku seneng banget liatnya. Mudah-mudahan kita bisa terus kontinyu ya ngelakuin ini.”
Puji Suri menoleh ke arahku seraya tangannya masih sibuk memasukkan kotak nasi yang sudah jadi ke dalam kantong plastik.
“Aamiin, iya aku berharap bisa melakukan ini terus. Aku sangat peduli dengan kegiatan sosial karena aku pernah merasakan berada di posisi mereka. Aku pernah ngalamin rasanya menahan lapar saat masih kuliah karena uang pas-pasan. Aku juga pernah ngiler liat makanan-makanan enak tapi ga bisa beli, dan banyak lagi deh. Sebelum ketemu kamu, saat usahaku masih berjalan, aku juga rutin bagi-bagi nasi bungkus setiap hari jumat, namun setelah aku bangkrut dan terlilit hutang, aku kesulitan untuk melanjutkan kegiatan itu.”
Mata Suri lalu berkaca-kaca saat mendengar kisahku yang pernah berada diposisi sesulit itu saat menjalani hidup. Dia lalu memelukku di depan karyawan-karyawanku, hingga membuatku merasa malu karena semua orang melihat ke arah kita.
“Duh romantisnya boss kita ini,hehe.”
Celetuk salah satu orang karyawanku menggoda. Wajahku memerah mendengarnya dan kemudian melepaskan pelukan Suri. Suri lalu tersenyum dan menoleh ke arah Pa Joko yang berdiri tidak jauh dari hadapannya.
“Ya harus romantis dong pa. Kalau ga romantis, nanti suaminya diambil pelakor deh,hehe.”
Semua orang tertawa, terkecuali Elea yang berdiri dipojok dan masih membuat dessert. Wajahnya tampak tidak begitu senang mendengar obrolan-obrolan kita. Dia lalu ikut nimbrung ketika pekerjaannya baru saja selesai. Dengan senyum sinis, dia lalu melihat ke arah Suri.
“Romantis aja ga cukup lho Bu Boss! Pelakor masa kini punya banyak cara untuk merebut suami orang lain. Ya, kalau ga berhasil dengan membuatnya tergila-gila diranjang, dia bakal pakai jalur belakang buat dapetin pujaannya. Jadi, Bu Boss harus hati-hati dengan pelakor-pelakor cerdas kaya gitu!”
Ujar Elea yang tersenyum kecut seraya menepuk pundak Suri dan berlalu dari hadapan kami. Semua orang terdiam termasuk aku yang kaget dengan ucapan mantanku yang satu ini.
“Serem amat ucapannya! Jangan-jangan pelakor cerdas itu dia sendiri,hehehe.”
Celetuk Pak Joko sehingga membuat Suri semakin geram dibuatnya.
“Huss!! Nanti orangnya denger lho pa!! Nanti bapak dicincang lagi sama dia, apalagi lemak bapak banyak gitu, enak banget kalau dijadiin gule Pak Joko,hehe.”
Ujar Tia yang berada disebelah Pak Joko. Mereka lalu cekikikan mendengar guyonan itu. Aku tersenyum mendengar ocehan mereka, tapi tidak dengan Suri, dia masih diam dan terlihat bad mood. Aku lalu merangkul dan mengelus rambutnya pelan-pelan.
“Udah ga usah dipikirin ucapan Elea tadi. Kamu harus percaya sama aku. Aku itu orang yang setia, ga mungkin tergoda sama pelakor.”
Suri lalu menoleh ke arahku dengan senyum kecut.
“Setia ya?? Saking setianya, baru ketemu Agnes aja langsung tergila-gila.”
Gerutu Suri yang tampak begitu manis saat cemburu. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“Itu sih beda. Aku kan fans dia sejak kecil, terus tadi tiba-tiba ketemu dia ya seneng bukan main. Aku masih merasa itu kaya mimpi.”
Suri tidak menggubris ucapanku. Sepertinya ucapan Elea tentang pelakor cerdas masih terngiang-ngiang ditelinganya.
***
Sebelum malam semakin larut, kita semua bergerak cepat untuk membagikan nasi-nasi itu. Aku bahkan mengajak Suri naik motor milik karyawan, sedangkan yang lain aku suruh untuk memakai mobil perusahaan untuk bagi-bagi nasi bungkus. Keluarga Dee juga ikut membantu, terkecuali nenek dan ibu Dee yang memilih beristrirahat seraya menjaga kedua cucunya.
“Kamu ga salah ngajak aku bagi-bagi nasi bungkus pakai motor?”
Tanya Suri yang masih ragu untuk naik motor bersamaku.
“Iya, biar jadi pengalaman baru buat kamu naik motor sama aku. Kamu pakai jaket aku dulu ya terus maskernya juga dipakai biar ga banyak orang pingsan liat bidadari bagi-bagi nasi bungkus pakai motor, hehe.”
Suri masih cemberut. Dia bahkan ragu-ragu untuk memakai helm miliki karyawan, sehingga aku dengan gesit memakaikan helm itu.
“Sekali-kali kamu harus tahu rasanya jadi orang biasa. Ayo cepet, keburu malam.”
Suri lalu naik ke atas motor seraya membawa kresek besar berisi beberapa kotak nasi. Aku juga menaruh satu kresek lagi diantara kakiku. Untungnya aku memakai motor matic sehingga memudahkan untuk membawa barang seperti ini.
Aku membawa lima belas kotak nasi bungkus malam ini karena aku mengendarai motor sehingga akan kesulitan jikalau aku membawa lebih banyak dari itu.
Udara Bandung malam ini terasa begitu dingin, namun aku sangat menikmati indahnya Kota Bandung dimalam hari, begitupun dengan Suri. Dia bahkan pernah mengatakan bahwa dia lebih betah berada di Bandung dibandingkan tinggal di Jakarta yang udaranya panas dan macet dimana-mana.
Tidak berapa lama kemudian, aku menghentikan laju motorku dan memberikan sepuluh kotak nasi kepada beberapa tukang ojek di pangkalan. Mereka tampak senang dan mengucapkan terimakasih. Aku lalu melanjutkan perjalanan untuk memberikan lima bungkus nasi kotak lagi.
Suri kemudian menepuk pundakku dan menyuruhku berhenti karena dia melihat seorang ibu-ibu yang duduk di atas trotoar dengan baju lusuh dan wajah kusut.
“Sayang, aku aja yang ngasih ke ibu itu. Kamu diem dimotor aja biar ga lama.”
Aku mengangguk pelan. Suri lalu menghampiri ibu itu. Belum sempat Suri memberikan nasi bungkusnya, tiba-tiba ibu itu mengemis-ngemis meminta belas kasihan dari Suri. Aku lalu diam sesaat dan berusaha mengingat-ingat suara ibu itu karena aku merasa mengenalnya. Aku lalu turun dari motor dan menghampiri Suri. Ibu itu masih memohon-mohon seraya menangis.
“Neng tolong kasihani ibu. Ibu udah ga punya apa-apa lagi. Rumah udah disita. Suami dan anak-anak meninggal ketabrak truk. Ga ada yang mau juga nampung ibu. Ibu kelaparan dan kedinginan di sini.”
Ujar ibu itu lirih membuat Suri terharu. Suri lalu memberikan nasi bungkus dan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada ibu itu, sehingga membuatnya berlutut di depan Suri dan mengucapkan terimakasih.
“Makasih banyak neng, semoga kebaikannya dibalas Allah.”
Suri hanya mengangguk dan merasa lega ketika ibu-ibu itu berlalu dari hadapan kita.
“Roda berputar!”
Ucapku melihat kejadian ini. Suri lalu menoleh ke arahku yang kini sudah melepaskan masker dan tersenyum kecut.
“Maksudnya?”
Aku lalu menjelaskan kepada Suri bahwa aku mengenal orang tadi. Dia adalah Ibu Ira yang dulu sangat kurang ajar terhadap aku dan orangtuaku. Mulanya dia adalah salah satu investor diperusahaanku. Dia mendapatkan banyak keuntungan selama bertahun-tahun, namun ketika aku bangkrut, dia tidak bisa menerimanya. Dia bahkan berbuat anarkis dan mengintimidasi orangtuaku. Bukan hanya itu, dia lalu melecehkan aku sebagai seorang muslim, padahal dia sendiri masih menganut agama islam. Dan masih banyak lagi kata-katanya yang menyakitkan yang susah aku lupakan hingga saat ini.
Suri yang mendengar kisah pahit itu lalu memelukku erat dan mengelus punggungku.
“Udah sayang, itu kan masalalu. Kamu jangan inget-inget lagi ya. Sekarang kita berjalan ke depan. Fokus sama tujuan kita.”
Aku mengangguk seraya masih memeluk Suri yang mulai kedinginan.
Tidak berapa lama kemudian, aku melihat seorang ibu-ibu dengan tiga orang anak perempuannya duduk tidak jauh dariku berdiri. Ibu itu kemudian menyalakan lilin dan menyanyi lagu selamat ulang tahun seraya bertepuk tangan. Sepertinya salah satu anaknya yang berusia sekitar lima tahun sedang berulang tahun. Airmataku lalu turun dengan deras menyaksikan itu. Suri lalu melepaskan pelukannya dan dia sangat terkejut ketika melihat aku menangis.
“Kamu kenapa sayang?”
Tanya Suri keheranan. Aku lalu menujuk ke arah ibu-ibu tadi. Kita berdua hanya diam melihat keluarga itu dengan mata berkaca-kaca.
“Kuenya mana ma?”
Tanya anak itu merengek setelah selesai meniup lilin.
“Nanti ya kuenya lagi dijalan. Sekarang adek bobo dulu. Nanti kalau kuenya udah datang, mamah bangunin.”
“Asik!!!”
Anak itu lalu tertawa girang memeluk ibunya. Dua anak lainnya yang berusia sekitar 8 dan 10 tahun hanya diam dan menatap iba adik kecilnya.
Aku lalu menelpon salah satu karyawanku untuk mencari toko kue yang masih buka dan membeli satu kue ulang tahun. Aku juga menyuruh mereka membelikan tiga pakaian anak sesuai umur mereka dan satu baju dewasa untuk ibunya, lalu aku pun meminta salah satu karyawanku membawa mobil ke sini dan menjemput kita. Karyawanku mengiyakan permintaanku dan akan mempersiapkan semuanya.
Aku dan Suri kemudian menghampiri ibu itu dan memberikan sisa nasi bungkus yang kita bawa seraya mengucapkan selamat ulang tahun. Ibu itu senang bukan main dan langsung membuka nasi bungkusnya sehingga anak-anaknya makan dengan lahap.
“Kuenya mana ma?”
Ujar anaknya yang paling kecil yang memang sedang berulang tahun. Ibunya hanya tersenyum dan tidak menjawab. Aku lalu mengelus kepala anak itu dan meyakinkan dia bahwa sebentar lagi kuenya akan datang.
“Kuenya bentar lagi datang ko. Adek sabar ya. Nanti kita tiup lilin sama potong kue ditempat om, tapi tunggu dulu mobil om nyampe sini ya.”
Anak-anak itu lalu tertawa girang, begitupun aku dan Suri yang ikut bahagia melihat kebahagiaan terpancar dimata anak-anak yang belum berdosa itu.
“Maaf pa, apa yang bapak ucapin barusan itu benar atau bercanda?”
Tanya ibu itu masih tidak percaya ketika mendengar aku akan merayakan ulang tahun anaknya. Namun, belum sempat aku menjawab pertanyaan sang ibu, mobilku sudah datang. Aku lalu mempersilakan ibu dan anak-anaknya masuk. Aku dan Suri juga naik ke dalam mobil, sedang salah satu karyawanku kemudian mengendarai motor yang tadi aku bawa.
Selama dalam perjalanan, anak-anak itu terlihat sangat bahagia, bahkan anaknya yang paling kecil kini loncat-loncat di atas mobil.
“Holee adek naik mobil bagus!!”
Celetuk anak itu dengan lucunya. Kita semua tertawa menyaksikan kebahagian anak-anak yang masih polos.
Sesampainya di depan café, aku menyuruh karyawanku untuk mendandani mereka terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam café. Karyawanku kemudian membawa mereka ke kantorku yang terletak di sebelah café dan memberikan beberapa pakaian yang sudah dibeli tadi. Sedang aku dan Suri langsung masuk ke dalam café dan melihat kue ulang tahun sudah ada di sana. Karyawanku juga menyiapkan balon dan badut yang entah dari mana bisa mereka siapkan dengan cepat. Aku tersenyum melihat kinerja karyawan-karyawanku yang gesit. Aku juga melihat lima mantanku sudah berada di sini untuk ikut merayakan ulang tahun anak yang tidak aku ketahui namanya ini.
“Happy birthday to you, happy birthday to you…”
Lagu ulang tahun dan tepuk tangan semua yang hadir di café terdengar sangat meriah ketika ibu tadi beserta ketiga orang anaknya masuk ke dalam ruangan. Anak itu semakin girang dan berlari menuju kue ulang tahunnya, sedang ibunya menangis dan berkali-kali mengucapkan terimakasih kepada aku dan Suri.
Ingatanku kemudian kembali pada masalalu ketika aku masih seumuran anak itu. Saat itu aku tengah membeli kue kecil di warung dan menaruh lilin kecil di atasnya. Aku lalu merayakan ulang tahunku sendiri.
Aku juga mengingat saat aku berdiri di dekat pintu ketika melihat sepupuku tengah merayakan ulang tahunnya. Kue ulang tahunnya sangat besar dan banyak kado dimejanya, serta tamu undangan datang ke sana.
Tiba-tiba aku menangis mengingat itu dan sebelum Suri serta semua yang ada di sini melihat aku menangis, buru-buru aku hapus airmata itu dan berjalan ke toilet.
“Mau kemana sayang?”
Tanya Suri saat melihatku berlalu dari hadapannya.
“Ke toilet!”
Jawabku singkat seraya berjalan kembali menuju toilet.
Tangisku pecah saat aku berada ditoilet. Kilas balik masa kecil terus terbayang-bayang dikepala dan membuatku merasa rapuh. Moment ulang tahun memang selalu menjadi hari-hari terpahit dalam hiduku. Entah itu saat aku masih balita, remaja atau dewasa, semuanya tidak jauh berbeda, sebab aku harus membeli kue itu sendiri, membungkus kado untukku sendiri dan tersenyum sendiri untuk menghibur diri yang memang jarang sekali mendapatkan perhatian dan kasih sayang, bahkan kejutan dihari ulang tahun.
Dan kini aku ingin menebus semua kesedihan itu dengan cara membahagiakan anak-anak yang memang kurang beruntung. Aku sangat bahagia ketika melihat tawa diwajah anak-anak yang belum mengerti tentang kejamnya hidup ini. Aku sangat bahagia ketika bisa melihat semua anak-anak didunia bisa merasakan kasih sayang dan perhatian sebagaimana yang seharusnya mereka dapatkan. Anak-anak adalah simbol kejujuran dan ketulusan. Aku sangat menyayangi mereka.
Tersenyumlah anak-anak sayang! Tak akan kubiarkan uang menjadi penghalang antara si miskin dan si kaya. Akan aku kemas setiap tawa bagi siapa saja yang ingin pulang membawa bahagia. Akan aku gantungkan kado-kado manis diangkasa berbalutkan doa dan rasa cinta.
Tersenyumlah, dan tiup lilinmu dengan penuh suka cita!
Bersambung..
No comments:
Post a Comment