Aku dan Suri sudah berada dirumah suami Dee ketika tadi pagi suaminya menelpon dan menyetujui rencana kami mengadopsi kedua anaknya. Proses adopsi ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena kita masih harus melakukan pengajuan adopsi anak kepada instansi terkait dan melengkapi syarat-syarat yang sudah ditentukan. Proses pengajuan, masa tunggu hingga adopsi disetujui memang memakan waktu yang tidak sedikit, namun aku dan Suri tidak pantang menyerah dan terus menunggu hingga proses pengajuan adopsi selesai.
Selama proses pengajuan adopsi sedang berjalan, aku dan Suri mengajak semua keluarga Dee untuk pergi ke Bandung karena beberapa hari lagi, aku akan Grand Opening café dan perusahaan outsourching baruku yang letaknya berdampingan dengan café. Aku dan Suri sengaja mengajak keluarga besar Dee ke Bandung agar mereka juga tahu dimana rumahku dan usaha apa saja yang sedang aku jalankan.
Namun, sebelum kita semua berangkat ke Bandung, aku mengajak Suri dan keluarga Dee untuk berziarah ke makam Dee. Aku ingin berpamitan kepadanya.
“Sudah siap semuanya?”
Tanyaku kepada semua orang. Mereka mengangguk dan kita mulai berjalan ke luar dengan membawa bunga, air dan buku yasin.
Selama perjalanan menuju makam Dee, entah kenapa hatiku kembali merasa tersayat dan tidak kuasa ingin menangis. Sampai kemudian kita sampai di pusara Dee, tubuhku limbung dan hampir jatuh, namun dengan sigap Suri merangkul tubuhku dan menenangkan aku yang terbawa suasana duka.
“Kamu ga apa-apa? Kalau pusing, kita duduk di sana aja!”
Suri lalu menunjuk sebuah tempat dipojokan di bawah pohon beringin. Aku hanya menggeleng dan kemudian ikut mendoakan Dee seraya menaburkan bunga di atasnya.
Selesai ziarah, kita semua beriap-siap pergi ke Bandara. Semua keluarga Dee ikut ke Bandung, termasuk kedua anaknya, orangtua dan juga nenek Dee.
Di dalam pesawat, aku tidak banyak berkata-kata. Mataku kubiarkan terpejam sedangkan hatiku sudah gerimis sejak tadi mendatangi makam Dee. Aku masih tidak percaya bahwa ketika ditinggal mati itu rasanya lebih menyakitkan dibanding ketika ditinggal nikah, sebab aku tidak akan pernah bisa melihat dia lagi untuk selama-lamanya. Kali ini aku benar-benar merindukan dia. Aku ingin melihat senyumnya sekali saja dan bercakap-cakap dengannya hingga pagi. Namun, aku sudah tidak bisa lagi melakukan itu karena dia sudah tidak ada. Tanpa terasa kini airmataku menetes lagi dan tidak kuasa menyembunyikan kesedihanku. Suri yang duduk di sebelahku seperti mengerti apa yang aku rasakan. Dia lalu menghapus airmataku dan melingkarkan tangannya dipundakku.
“Sayang, kita semua bakal mati. Kelak juga entah aku atau kamu yang lebih dulu dipanggil Tuhan. Kita ga pernah tahu. Kita cuma bisa belajar dari sekarang untuk lebih menghargai waktu dan keberadaan orang-orang yang kita sayangi. Sekaranglah waktu yang pas untuk menunjukkan rasa cinta kepada orang-orang disekeliling kita sebelum semuanya terlambat dan kita ga punya kesempatan lagi. Jadi, kamu jangan berlarut-larut meratapi orang yang udah ga ada dan mengabaikan mereka yang masih hidup. Nanti kamu bakal nyesel lagi kalau orang-orang yang kamu abaikan sekarang juga suatu hari ninggalin kamu. Yuk, belajar lagi buat happy, tersenyum dan bersyukur.”
Aku lalu terdiam mendengar ucapan Suri. Dia benar, tidak seharusnya aku terus bersedih seperti ini sampai lupa untuk bersyukur dengan keberadaan orang-orang yang mencintaiku yang masih hidup sampai sekarang dan masih bisa aku bahagiakan. Aku lalu mengangguk dan menyenderkan kepalaku dibahunya. Suri tersenyum dan kemudian membelai rambutku hingga aku tertidur.
***
Tubuhku masih merasa kelelahan ketika aku harus mengadakan grand opening café dan perusahaanku. Namun, berbeda denga Suri. Dia terlihat sangat antusias untuk menunggu hari ini tiba. Suri lalu berdandan dan berpenampilan layaknya artis Hollywood yang membuat mataku tidak bisa berkedip karena takjub.
“Kamu cantik banget hari ini!”
Pujiku kepada Suri yang masih memakai lipsticknya di depan cermin. Dia hanya tersenyum, lalu menoleh ke arahku.
“Biasanya juga cantik! Kamu cepetan mandi, jangan sampe orang-orang nunggu. Keluarga Dee juga udah pada bangun dari tadi.”
Aku lalu beranjak dari tempat tidur, lalu memeluk Suri dari belakang.
“Aku deg-degan nih. Kamu sih kenapa harus ngundang orang-orang penting dan artis segala. Aku kadang-kadang kurang percaya diri dan malu.”
Ujarku berbisik ditelinga Suri. Dia lalu menoleh dan menatapku kesal dengan rasa minder yang masih saja menghantui diriku.
“Coba kamu liat aku terus banyangin aku monyet bisa ga?”
Aku tersenyum dan tidak mengerti maksud ucapan Suri. Namun, aku mengiyakan permintaannya. Aku lalu menatap dia seraya membayangkan kalau dia monyet.
“Udah!”
Ucapku kepada Suri. Dia lalu membalikkan wajahnya lagi ke depan cermin.
“Bagus! Nah nanti juga kamu bayangin aja semua orang yang datang itu monyet. Dijamin kamu ga akan merasa minder. Kamu bakal liat semua wajah orang itu sama. Sebetulnya kenapa sih kamu harus minder? Manusia sama aja kan dihadapan Tuhan, yang membedakan cuma ketakwaannya aja. Wajah rupawan akhirnya bakal dimakan belatung dalam kubur dan bau bangkai. Harta sama jabatan juga ga dibawa mati. Jadi, kenapa kamu harus minder sama manusia? Udah cepet mandi! Jangan terlalu mikirin yang ga perlu.”
Ucapan Suri membuatku tersenyum sekaligus tertampar. Benar juga yang dia ucapkan. Suri memang selalu punya cara untuk membuatku bersemangat kembali.
“Oke sayang! Kayanya kamu cocok jadi motivator!”
Ucapku kepadanya seraya mengecup pipinya yang memerah. Aku lalu beranjak menuju kamar mandi.
“Jangan lupa sikat gigi! Nanti takut ada monyet cantik dicafe mau ngobrol sama kamu jadi nutup hidung soalnya mulut kamu bau jigong, hihi!”
Teriak Suri sambil cekikikan. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Ada-ada aja memang Suri. Selalu bisa membuat aku tertawa dibuatnya.
***
Aku melihat banyak karangan bunga ucapan selamat berjejer di depan café dan kantor baruku. Semua tamu undangan juga sudah berdatangan. Selain orang-orang penting dan beberapa artis, Suri juga mengundang anak-anak yatim dan para penyandang disabilitas.
Tidak beberapa lama kemudian, aku juga melihat seseorang yang membuat kedua kakiku gemetar dan ingin pipis dicelana. Aku melihat seorang diva yang aku idolakan dari kecil kini sudah berada di depan mataku. Aku tidak bisa berkedip melihat kecantikannya saat tersenyum. Dia berjalan indah layaknya artis Hollywood yang tengah berjalan di atas karpet merah. Aku sungguh terpesona.
“AGNES MONICA??”
Tanyaku kepada Suri dengan rasa tidak percaya.
“Itu beneran Agnes? Kamu bayar berapa sampai dia datang juga? Bukannya tarif dia mahal banget ya?”
Suri hanya tersenyum melihat aku yang masih terkejut dengan kehadiran Agnes. Suri dan Agnes kemudian saling menyapa dan cipika cipiki seperti dua orang sahabat lama yang baru saja bertemu. Mereka lalu berbincang-bincang dengan bahasa inggris yang tidak bisa aku mengerti sama sekali. Aku memang tidak terlalu mahir dalam bahasa inggris, sehingga saat mendengar mereka bercakap-cakap, aku hanya melongo seperti orang bego.
“Eh kenalin ini suamiku!”
Suri kemudian memperkenalkan aku kepada Agnes. Agnes lalu tersenyum dan menjabat tanganku. Dia lalu menanyakan kabar dalam bahasa inggris dan selebihnya entah apa yang dia ucapkan. Aku hanya tersenyum tidak mengerti harus menjawab apa.
“Ini di Indonesia dan aku orang Indonesia, tapi kenapa banyak sekali orang Indonesia berbicara dengan bahasa Inggris padahal orang yang dia ajak bicara juga orang Indonesia! Apa dengan berbicara bahasa Inggris bisa membedakan status sosial seseorang atau agar terlihat lebih keren dan berkelas? Apa orang yang terlihat kaya dan sukses sudah dikira bisa juga bahasa Inggris? Lalu, kalau ada milliarder dadakan seperti aku yang cuma mengerti kata yes atau no, itu bagaimana? Jadinya obrolan tidak akan berjalan dengan menyenangkan karena aku akan terlihat bodoh dan tolol.”
Aku terus menggerutu dalam hati. Suri yang mulai mengerti kalau aku tidak bisa bahasa Inggris lalu mengalihkan pembicaraan kepada Agnes dan mengajaknya berkeliling.
Aku yang mulai merasa bad mood lalu berjalan ke mushola yang berada di dalam café untuk mengambil air wudlu dan menenangkan diri sejenak. Suasana hatiku kini mulai terasa damai ketika air wudlu membasuh wajahku.
Suasana dihalaman kantor dan café terasa sangat meriah. Setelah menggunting pita tanda peresmian café dan kantor baru, aku kemudian memberikan sambutan dan setelah itu barulah acara-acara hiburan berlangsung untuk menghibur semua tamu undangan yang sudah hadir.
Pengunjung café juga semakin banyak berdatangan karena hari ini kita memberikan diskon habis-habisan dan ada undian langsung juga yang membuat orang-orang antusias untuk datang.
Karena suasana semakin ramai, aku lalu meminta ijin kepada Suri untuk beristirahat sejenak karena aku sakit kepala. Suri mengiyakan dan ingin menemaniku, namun aku melarangnya karena aku merasa tidak enak jika kita berdua meninggalkan tamu undangan yang sudah hadir di sini.
Aku kemudian beranjak menuju ruang kerjaku. Sebenarnya aku tidak sakit kepala, namun aku hanya tidak terlalu suka keramaian hingga aku memilih untuk menyendiri.
Saat aku hampir sampai di depan pintu ruang kerjaku, aku lalu berpapasan dengan Agnes Monica. Dia lalu menghampiriku seraya tersenyum. Lalu, lagi-lagi dia nyerocos panjang lebar dalam bahasa Inggris. Aku yang sudah tidak tahan mendengarnya, kini mencoba memberanikan diri untuk berkata jujur bahwa aku tidak bisa berbahasa inggris. Sebelum aku berbicara kepadanya, aku teringat kata-kata Suri untuk membayangkan orang di depanku adalah seekor monyet agar aku bisa lebih percaya diri. Aku lalu tersenyum dan menghela nafas panjang.
“Aku bener-bener minta maaf, aku kurang mahir berbicara bahasa Inggris. Aku juga tidak terlalu paham dengan semua yang diucapkan Mba Agnes daritadi. Mungkin setelah ini aku akan belajar lagi bahasa Inggris,hehe. Tapi, kalau boleh aku kasih saran, selama di Indonesia dan berbicara dengan orang Indonesia alangkah baiknya berbicara bahasa Indonesia, karena dikhawatirkan ada orang seperti aku yang memang tidak bisa bahasa Inggris akhirnya jadi kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa.”
Aku merasa lega setelah berkata jujur tanpa terbata-bata. Kini aku bisa lebih percaya diri didepan artis cantik itu.
“Wow, anda benar-benar luar biasa dengan bisa berkata jujur seperti itu. Jarang sekali ada laki-laki, bahkan seorang pimpinan yang mau mengakui kelemahannya di depan perempuan. Tapi, anda sungguh berbeda. Saya kagum dengan sikap anda. Saya tidak salah ternyata bekerjasama dengan perusahaan ini karena perusahaan ini punya pemimpin yang luar biasa seperti anda.”
Aku hampir pingsan mendengar kata-kata Agnes yang terus memujiku hingga tanpa terasa wajahku memerah dibuatnya. Aku mulai grogi sekarang, terutama ketika wangi parfumnya terasa menempel dihidungku dan membuat badanku berkeringat dingin.
“Mba Agnes bisa saja. Terimakasih untuk pujiannya. Saya juga berterimakasih karena mba Agnes mau bekerjasama dengan perusahaan ini.”
Ucapku kepada Agnes yang masih tersenyum melihatku. Dia benar-benar cantik dan ramah sehingga membuatku semakin salah tingkah. Agnes lalu memberikan kartu namanya dan berpamitan.
Di dalam ruang kerja, aku senyum-senyum sendiri membayangkan Agnes Monica yang tadi tersenyum seraya memujiku. Aku lalu menciummi kartu namanya yang sangat wangi.
“OH AGNESSS… KALAU AJA KAMU SUKA SAMA AKU!!”
Teriakku seraya tersenyum malu-malu saat membayangkan Agnes Monica menyatakan perasaannya kepadaku.
“JANGAN BERKHAYAL!!”
Aku kaget mendengar Suri yang kini sudah berada di depan pintu seraya menyilangkan tangannya di atas dada dan memasang raut wajah cemberut.
“Hehehe, bercanda!”
Ucapku tersenyum malu seraya menggaruk-garuk kepala karena ketahuan suka dengan Agnes Monica.
Kupu-kupu mengepakkan sayapnya dalam perutku. Menggelitik manja, menyodorkan wajah jelita yang bercahaya bak pelita. Oh, Agnes Monica, sang purnama yang aku tunggu sejak gulita menggeliat dalam rahim ibu. Parasmu bak Cleopatra yang kini terdampar di lautan imajinasiku yang menggila. Wangimu ibarat kesturi yang membuatku mabuk dibuatnya. Oh, cantik, kau adalah makhluk terindah yang baru saja turun dari kereta kencana, dengan kuda-kuda perkasa milik para raja.
Oh, Agnes Monica maukah kau menjadi bidadariku yang kedua?
Akan aku berikan istana bercahaya seperti di syurga..
Dan kasih tulus selembut sutra..
Oh Selir cinta..
Kini aku tergila-gila!
Bahagia!
***
Bersambung..
No comments:
Post a Comment