Pagi ini aku masih berada di Bandung Timur, tepatnya di Cileunyi bersama Suri dan Tasya. Aku memang berencana menghabiskan waktu sampai hari minggu di sini. Alasanku menginap di Cileunyi juga agar sekalian bisa melihat kondisi Ibu Desi dan ketiga anaknya yang sekarang sudah aku sekolahkan. Ibu Desi juga tinggal dirumahku dan bekerja di Yayasan milikku dan Suri.
Rencananya, senin pagi aku baru pulang ke Dago.
“Pa, saya kagum banget dengan yayasan Bapak yang sangat memperhatikan orang yang terlilit hutang dan yang punya masalah psikologis. Biasanya jarang banget yayasan atau lembaga yang fokus pada hal itu. Kalau yayasan yang membantu anak yatim, orang tidak mampu dan penyandang disabilitas sudah banyak. Tapi, untuk yang dua tadi kayanya baru yayasan bapak yang tergerak melakukan itu.”
Puji Ibu Desi kepadaku saat kita semua sedang sarapan di meja makan. Mendengar pujian dari Ibu Desi, perasaanku merasa biasa-biasa saja karena aku melakukan hal itu bukan untuk dipuji, tapi karena aku pernah merasakan berada diposisi itu, sehingga sekarang hatiku tergerak untuk bisa membantu orang-orang yang pernah mengalami hal yang serupa denganku.
“Makasih bu! Aku memang tergerak untuk membantu orang yang terlilit hutang karena sebelumnya aku pernah mengalaminya juga. Dan saat terlilit hutang rasanya seperti kiamat. Aku bahkan nyaris pernah ingin bunuh diri, sedangkan alasan aku ingin membantu orang-orang yang punya kelainan mental atau masalah psikologis karena banyak sekali orang yang sebetulnya punya masalah psikologis namun tidak bisa konsultasi ke psikolog karena terhalang biaya, makannya aku kemudian tergerak untuk bisa membantu mereka. Ibu liat aja sekarang banyak sekali gerakan anti LGBT yang selalu mengatasnamakan agama tanpa bisa memberi solusi untuk mereka. Coba kalau misal dibuka konsultasi gratis, jadi kita bisa tahu latar belakang orang tersebut kenapa bisa menyukai sesama jenis dan apa dampaknya bagi kelangsungan hidup orang tersebut. Kalau sudah tahu latar belakangnya, psikolog bisa bantu orang yang bersangkutan untuk menyembuhkan luka batinnya terlebih dahulu. Masalah ke depannya orang tersebut bisa menjadi heteroseksual atau tidak, yang penting kita sudah ikhtiar membantu. Jadi saya kurang setuju dengan orang-orang yang anti LGBT tapi tidak memberikan solusinya sama sekali. Mereka cuma menekankan agar pelaku LGBT segera menikah agar sembuh. Menurtku itu bukan solusi, karena ketika orang tersebut masih memiliki luka batin dan pengalaman buruk di masalalu, ya otomatis saat berumah tangga, dia akan membawa luka itu yang berakibat pada cara dia membesarkan anaknya atau cara dia bersikap kepada pasangan ketika harus menyelesaikan persoalan rumah tangga.”
Jelasku panjang lebar kepada Ibu Desi yang sedari tadi terlihat mengangguk-anggukan kepala saat mendengarkan penjelasanku.
“Weis keren nih. Lama-lama kamu cocok juga jadi seorang psikolog!”
Puji Tasya yang membuatku tersipu malu dipuji oleh seorang psikolog seperti dia.
“Jangan dipuji Sya, nanti dia suka sama kamu! Dia kan baperan, hahahah!”
Celetuk Suri sehingga membuat semua orang tertawa. Suri memang seperti anak kecil, kadang-kadang tidak pernah melihat sikon saat berbicara. Seperti ucapannya barusan yang membuatku malu setengah mati di depan Tasya dan Ibu Desi.
***
Baru satu hari aku berada di Cileunyi, aku sudah kedatangan seorang tamu yang membawa anak perempuannya ke yayasan. Aku sudah bilang kalau hari minggu semua karyawan yang ada di yayasan sedang libur, namun ibu itu ingin ngobrol saja denganku dan meminta pendapat terkait anaknya yang menurutnya “sakit” itu.
“Jadi, bagaimana pak pendapat bapak tentang kasus anak saya?”
Tanya ibu Tuti yang ingin tahu pendapatku tentang anaknya yang menyukai perempuan. Tadi Ibu Tuti juga bercerita panjang lebar bahwa anaknya yang dia bawa sekarang sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan seorang perempuan tomboy bernama Tantri. Mereka bahkan sudah tinggal bersama. Ibu Tuti dan suaminya tidak tahu menahu tentang hubungan mereka sebelumnya. Mereka baru tahu sekarang disaat Rossa berusia 25 tahun, ketika teman satu pekerjaannya melamar. Rossa lalu jujur kepada orangtuanya bahwa dia tidak menyukai laki-laki. Ayahnya marah bukan main dan langsung mengusir Rossa dari rumah. Pak Dana bahkan tidak akan mengakui Rossa sebagai anak kalau-kalau Rossa masih menjalin hubungan dengan perempuan.
Aku masih mematung mendengar cerita tentang Rossa dari ibunya. Aku tidak tahu harus memberi saran apa untuk kasus ini. Aku juga tidak bisa berbicara dari sisi psikologi karena aku bukan ahlinya. Aku lalu menatap ke arah Tasya yang memang seorang psikolog dan kebetulan sedang berada di sini bersamaku dan Suri.
“Sya, menurut kamu bagaimana?”
Tanyaku kepada Tasya yang sepertinya bisa memberi saran yang lebih baik dibandingkan aku.
“Jadi begini bu…”
Belum sempat Tasya melanjutkan ucapannya, Ibu Tuti langsung memotong pembicaraan dan memegang tanganku seraya memohon
“Maaf bu saya memotong, saya benar-benar ingin pendapat dan solusi dari bapak terlebih dahulu terkait masalah anak saya.”
Aku semakin bingung dengan Ibu Tuti yang bersikeras ingin mengetahui solusi dariku dan bukan dari seorang psikolog. Suri yang dari tadi tidak berbicara kini mulai membuka mulut. Suri bahkan melepaskan tangan Ibu Tuti yang masih memegang tanganku.
“Bu, suami saya bukan seorang psikolog, sedangkan Ibu Tasya itu psikolog yang kebetulan sedang berada di sini. Jadi alangkah baiknya kalau ibu menyimak dulu apa yang akan disampaikan oleh Ibu Tasya.”
Ujar Suri tegas, namun Ibu Tuti masih memohon kepadaku dengan mata berkaca-kaca sehingga membuatku tidak tega melihatnya.
“Pak, saya mohon solusi dari bapak. Suami saya temperamen dan sering melakukan KDRT. Saya memang butuh pendapat seorang psikolog, tapi sekarang saya butuh perlindungan untuk anak saya terlebih dahulu dan juga pacar perempuannya yang sudah mendapatkan terror dimana-mana dari orang-orang yang anti LGBT. Saya harus bagaimana sekarang?”
Ibu Tuti sekarang menangis sesenggukan. Rossa yang berada di sampingnya juga menangis. Suri dan Tasya kemudian memeluk mereka agar mereka bisa lebih tenang.
“Baik bu saya insyaallah akan membantu sebisa saya, tapi saya ingin sebuah komitmen dari Rossa dan Ibu sebagai ibu kandungnya untuk total mengikuti saran saya. Sebab, kalau setengah-setengah melakukan apa yang saya ucapkan, percuma karena tidak akan ada perubahan sama sekali.”
Ibu Tuti kemudian tersenyum sumringah dan menghapus airmatanya. Dia seakan memiliki harapan baru ketika aku mengatakan bahwa aku bisa membantunya.
“Dulu, saya pernah merasakan berada diposisi seperti Rossa, makannya saya tidak heran ketika mendengar bahwa pacarnya mengancam sampai ingin bunuh diri, jika Rossa sampai ninggalin dia. Sekarang saya to the point saja berbicara tentang solusi dari saya pribadi. Saya bukan orang yang mendukung atau melarang hubungan Rossa dengan pacarnya. Saya di sini netral. Hanya saja, nanti kalau bisa, Rossa tinggal di sini terlebih dahulu agar psikolog bisa menggali lebih dalam tentang penyebab Rossa menyukai sesama perempuan. Intinya, saya ingin Rossa menenangkan diri dulu dan tidak mengambil keputusan di saat seperti ini. Untuk masalah pacar perempuannya juga kalau bisa bawa saja ke sini bersama orangtuanya. Agar kita bisa mencari jalan keluar bersama yang tidak merugikan siapapun. Sedangkan untuk kasus KDRT yang dialami oleh ibu, saya siap membantu memberikan perlindungan hukum. Dan saran saya, ibu harus tegas kepada suami ibu. Kalau dia masih bersikap begitu, nanti saya bantu ibu untuk cerai dari suami ibu atau bahkan kita laporkan saja kepada pihak yang berwajib.”
“Tapi, anak saya masih bekerja. Kalau harus tinggal di sini dulu, bagaimana dengan pekerjaannya?”
Aku menghela nafas karena harus banyak bersabar menghadapi ibu ini.
“Buat saja surat pengunduran diri ke tempat kerjanya, karena ga bagus juga kalau masih di situ, Rossa akan terus ketemu laki-laki yang hendak melamarnya. Insyaallah saya kalau sudah mau membantu tidak suka setengah-setengah. Saya sengaja menyalurkan dana CSR perusahaan saya untuk kegiatan-kegiatan sosial di yayasan, termasuk kasus seperti ini. Nanti untuk masalah pekerjaan, bisa saya carikan setelah Rossa dibina dulu di sini. Yang penting kita bereskan dulu satu-satu masalah yang mau dicari solusinya, baru selanjutnya kita bahas masalah pekerjaan.”
Ibu Tuti akhirnya mengangguk dan membuatku merasa lega karena aku bisa mencarikan solusi untuk Rossa. Suri kemudian menoleh ke arahku dengan senyuman termanis yang pernah aku lihat. Dia lalu memegang tanganku dan mengelusnya pelan.
“Aku bangga sama kamu sayang! Semoga kita selalu diberikan kemudahan untuk bisa menolong orang lain.”
Ucap Suri yang membuatku bahagia dan merasa beruntung karena memiliki seorang istri yang selalu mendukungku dalam hal apapun.
***
Dulu, aku sempat bertanya kepada Tuhan, apakah ketika kita menyukai seseorang, kita harus membuka celananya terlebih dahulu untuk memastikan apakah dia memiliki penis atau vagina?
Dulu, aku sempat protes kepada Tuhan, “Kenapa aku berbeda? Kenapa aku menyukai sesama wanita?”
Dan “kenapa-kenapa” lainnya yang terus terngiang-ngiang ditelinga, hingga kemudian kata “ikhlas” datang dan mengajakku berserah kepada-Nya.
Ternyata tidak ada yang lebih menyejukkan hati selain berserah dan kembali!
Ternyata tidak ada yang lebih membuat bahagia selain berdamai dengan apa yang tidak kita suka!
Ternyata Dia lebih tahu segalanya dibanding kata-kata “Mengapa” yang terus berkeliaran dikepala.
Ternyata “Melepaskan” adalah pilihan terbaik ketika kita bersikukuh untuk tidak mau kehilangan.
Ternyata “Tuhan” adalah jawaban dari semua pertanyaan kehidupan, sedang “keikhlasan” adalah puncak dari semua keimanan pada Tuhan!
Bersambung..
No comments:
Post a Comment