Badanku masih terasa demam, ketika Suri sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor pagi ini. Aku belum bisa menggerakkan badanku karena semua terasa sakit dan kaku. Mataku terasa berkunang-kunang dan tidak bisa melihat apapun dengan jelas. Perutku juga rasanya mual dan mulas.
“Sayang, aku panggil dokter ya? Aku ga akan pergi ke kantor kalau kamu sakit begini.”
Suri terlihat cemas. Aku hanya menggeleng dan enggan untuk diperiksa oleh dokter karena sebelumnya aku merasa baik-baik saja. Suri lalu mengganti koolfever dikeningku dengan yang baru. Dia lalu memeriksa lagi suhu tubuhku sekarang.
“38°! Suhu tubuh kamu masih tinggi sayang. Aku telpon dulu dokter Andi deh.”
Suri kemudian mengambil handphonenya untuk menelpon dokter Andi yang merupakan dokter pribadi aku dan Suri. Aku lalu tidak bisa mendengar apa-apa lagi karena kepalaku terasa berputar dan mataku sangat ngantuk. Aku kemudian tertidur.
“Gejala radang usus!”
Samar-samar aku mendengar percakapan antara dokter Andi dan Suri, sesaat setelah dokter Andi selesai memeriksaku. Dokter Andi lalu memberikan resep kepada Suri dan dia berlalu pergi dari hadapanku. Suri kemudian mengantarkannya ke luar.
***
Tubuhku limbung dan aku kaget bukan main, ketika aku sedang berada ditoilet dan ingin buang air kecil, aku tidak bisa menemukan penisku di sana. Aku lalu meraba-raba kemaluanku untuk memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Tapi, rasanya tetap sama. Tanganku hanya merasakan sesuatu yang bukan penis, tapi lebih mirip vagina. Aku lalu menghela nafas panjang dan memberanikan diri untuk melihat kemaluanku dengan mata kepalaku sendiri.
“Ya Allah, apa ini??”
Aku kemudian terjatuh dan merasa lemas ketika mataku melihat kemaluanku kini sudah berubah lagi menjadi vagina. Aku menangis sejadinya karena tidak bisa menerima dengan apa yang terjadi sekarang. Aku lalu menghibur diriku sendiri dan mengatakan bahwa aku sedang bermimpi. Aku kemudian berdiri dan melepas semua bajuku untuk memastikan bahwa aku memang salah lihat. Tapi, aku kembali terkejut ketika aku membuka baju dan melihat dua gundukan di atas dadaku. Aku sekarang memiliki payudara.
“SURIII!!!”
Suri lalu berlari ke arahku karena mendengar aku menjerit dan berteriak memanggil namanya. Dia melihatku telanjang di depan wastafel dengan tubuh yang sudah berbeda. Aku kembali menjadi perempuan.
“Astaghfirullahaladzim!”
Suri menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia kemudian melihat tubuhku dari dekat. Tangannya lalu meraba payudara dan vaginaku. Suri melakukannya berulang kali untuk memastikan bahwa dia salah. Tapi, matanya memang tidak salah. Aku sudah menjadi seorang perempuan. Suri tidak banyak berkomentar dengan perubahan yang terjadi pada tubuhku. Dia hanya mengambil handuk dan menutup tubuhku yang masih telanjang di depannya.
“Pake dulu, biar ga masuk angin!”
Suri lalu duduk ditepi ranjang dengan wajah sedih. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Kita sama-sama diam dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku bakal nyembunyiin apa yang terjadi sekarang! Kamu udah resmi menjadi laki-laki dan pengadilan sudah mengabulkan pergantian jenis kelamin kamu dari perempuan menjadi laki-laki. Aku bahkan sudah merasakan malam pertama sama kamu. Aku ga mau bikin semua menjadi heboh dan kacau. Kita sudah bahagia dengan kehidupan kita sekarang.”
Aku menatap wajah Suri yang masih belum menerima kenyataan yang terjadi sekarang, padahal sebelumnya dia sudah berjanji ketika kita berziarah ke makam Mahmud bahwa dia tidak akan berubah sedikitpun jika aku tiba-tiba menjadi perempuan kembali.
“Kamu ingin aku berbohong dan menjadi penipu? Ini akan sulit buatku karena sudah ada sangkut pautnya dengan masalah keimananku. Sekarang aku sudah menjadi perempuan dan aku tidak boleh melakukan shalat jumat ke masjid. Aku juga harus shalat dengan mengenakan mukena. Dan banyak lagi aturan-aturan yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Aku ga bisa kalau harus menutupi semuanya.”
Suri menutup kedua telinganya karena tidak mau mendengar penjelasan dariku. Dia lalu menunduk dan menangis sesenggukan. Aku memeluknya dengan perasaan sedih. Aku tahu ini berat untuk aku dan Suri, tapi aku yakin Allah punya rencana lain di balik semua ini.
“Kita pindah ke luar negeri! Bagaimana?”
Aku menggelengkan kepala dan tidak setuju dengan solusi dari Suri. Aku lalu memegang tangannya dan merangkul dia kembali.
“Mungkin sekarang Allah tengah mengajari kita tentang apa itu ikhlas.”
Suri melepaskan pelukanku dan menutup lagi telinganya. Dia menangis sejadinya.
“Aku ga mau! Aku ga bisa ikhlas sekarang! Aku ga mau kehilangan kamu! Aku ga mau pernikahan kita dibatalkan! Aku menyesal udah maksa-maksa kamu ke makam itu lagi dan sekarang kamu berubah lagi jadi perempuan! Aku menyesal!”
Suri terus menangis dan masih tidak bisa menerima dengan ketetapan dari-Nya yang bisa mengubah apapun dengan sekejap. Aku memeluknya lagi dan mencoba menenangkannya.
“Sayang, seperti yang pernah ibu aku bilang sebelum ini kalau yang mengubah kelamin aku itu adalah Allah dan bukan makam keramat. Aku juga shock dan belum bisa menerima dengan perubahan yang terjadi sekarang, tapi aku juga bersyukur karena pernah menjadi laki-laki walaupun hanya seumur jagung. Aku ga akan ninggalin kamu juga sayang. Ga akan ada yang berubah dengan rasa sayang aku sama kamu. Tapi, kita tetap harus terbuka dengan perubahan ini. Aku harus mengatakan kepada orangtuaku terlebih dahulu.”
Suri tetap menggelengkan kepalanya. Dia sekarang bahkan berdiri dan mengambil buku nikah kita berdua.
“Aku ga mau sayang! Aku ga mau buku nikah ini hanya tinggal kenangan, karena pernikahan kita dibatalkan. Kamu bisa terapi hormon dan operasi kelamin. Aku bisa membayar semuanya sampai kamu bisa menjadi laki-laki lagi. Tolong, kamu harus mengerti perasaan aku sekarang! Aku ga pernah minta apa-apa sama kamu! Aku cuma minta kamu untuk menjadi laki-laki, jika kita masih mau tinggal di Indonesia, kecuali kalau kita pindah ke luar negeri, aku ga akan mempermasalahkan jenis kelamin kamu, karena kita bisa menikah sesama jenis di luar negeri.”
Aku tertunduk lesu mendengar permintaan Suri yang terasa sangat berat untukku. Aku tidak mau melakukan terapi hormon, apalagi sampai operasi kelamin karena itu sangat bertentangan dengan nuraniku. Aku juga tidak mau pindah ke luar negeri dan menikah sesama jenis di sana. Aku memang sangat mencintai Suri, tapi aku lebih mencintai Dia yang sudah mencintai dan menolongku berkali-kali hingga detik ini.
“Sayang, beri aku waktu sampai aku siap dengan semuanya!”
Suri mengangguk dan memelukku dengan sangat erat seperti takut untuk kehilangan. Aku mengelus-elus punggungnya dan mengecup perempuan yang masih berstatus sebagai istri sahku itu.
“Aku ga akan masuk kantor dulu sampai aku mengambil keputusan untuk masalah ini. Aku mau meluangkan waktu dulu untuk merenung sambil menyelesaikan tulisanku. Bagaimana?”
Suri kembali mengangguk dan mengecup bibirku lembut.
“Sebenarnya aku ga masalah dengan jenis kelamin kamu, tapi masyarakat kita? Apalagi sekarang kamu adalah pemimpin perusahaan. Kalau sampai hal ini bocor dan semua orang tahu, mereka pasti akan mendesak kita untuk membatalkan pernikahan. Aku pasti berpisah sama kamu. Aku ga mau kaya gitu!”
“Ya udah sayang, nanti kita pikirkan lagi jalan terbaik untuk masalah ini ya. Aku mau pakai baju dulu.”
Aku lalu membuka handuk dan melihat dua payudaraku sudah menggantung di sana.
“Oya sayang, boleh aku pinjam bra?”
Tanyaku malu-malu kepada Suri karena badanku kini sudah memiliki payudara sehingga aku harus memakai bra.
Suri tertawa dan menghampiriku yang masih bertelanjang dada. Tangannya lalu dengan nakal mengelus payudaraku dan mulutnya mencium bibirku dengan sangat bernafsu.
“No! Aku ga akan ngasih kamu bra, tapi binder bra!”
Kita lalu tertawa dan melanjutkan aktivitas di atas ranjang dengan status baru kita sebagai sesama perempuan.
***
Perempuanku, aku masih ingin berjalan di atas tikungan curam berbatu. Mengecupmu lembut seperti anak kecil yang tertawa riang mengejar kupu-kupu. Perempuanku, kau masih semanis madu. Aku masih menggilaimu seperti pertama kali kita berbulan madu.
Perempuanku, aku ingin menetap dalam hatimu, bukan dalam buku nikahmu!
Aku ingin memelukmu sampai kita menua bersama untuk memeluk senja!
Perempuanku, rasa sayangku masih sama, bercahaya seperti terangnya bulan purnama!
Aku masih jatuh cinta!
Meski aku wanita..
Bersambung..
No comments:
Post a Comment