Tuesday, March 14, 2023

SURI (Bagian 10)

 


Sudah hampir pukul 10.00 sejak aku memandang lautan seorang diri dari pagi. Aku masih merenung dengan apa yang telah terjadi dalam hidupku. Aku juga terus memikirkan cara bagaimana seharusnya menjelaskan kepada Amar tanpa harus menyakitinya. Tidak lama kemudian, aku melihat seorang laki-laki berjalan ke arahku. Aku mengucek-ngucek mataku untuk memastikan bahwa aku tidak salah lihat.


“Amar??”


Tanyaku dalam hati. Tapi, mana mungkin dia tahu aku di Bali. Dan bukannya dia sedang berada di Jakarta?


Kepalaku dipenuhi banyak tanda tanya yang belum bisa aku jawab. Laki-laki blesteran Arab itu berjalan semakin dekat ke arahku. Raut wajahnya tampak berbeda dari biasanya. Tidak ada simpul senyum terlukis di sana. Laki-laki dengan tinggi 185cm, kulit sawo matang, dan raut muka sedih itu sekarang sudah berdiri berhadap-hadapan denganku.  Matanya tampak berkaca-kaca. Dia memakai baju serba hitam seperti tengah berduka. Dia lalu tersenyum, namun senyumannya tampak seperti dipaksakan.


“Ternyata benar apa yang diucapkan ibu kamu.”


Mata Amar kini memperhatikanku dari atas ke bawah seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia lalu duduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya seraya menghela nafas panjang. Tidak berapa lama kemudian, dia melihatku kembali dan menghela nafas. Aku tidak bisa berkata-kata melihat Amar tampak begitu sedih. Amar lalu berdiri dan memandang laut dengan mata berkaca-kaca. Aku yang melihatnya dari belakang seakan bisa merasakan kesedihan yang kini tengah dia rasakan. Dari balik punggungnya yang terlihat begitu kuat, aku yakin hatinya kini memang tengah terluka. Tidak beberapa lama, aku melihat anjing menggonggong ke arahku, giginya yang runcing bahkan sudah menggigit bajuku. Sontak aku langsung panik dan tanpa pikir panjang, aku loncat ke punggung Amar.


“Aaaaaaaa… MAR CEPET LARI INI ANJING MAU GIGIT AKU!!”

“GOG!! GOGGG!!”


Anjing itu terus menggonggong setelah melepaskan gigitannya ke bajuku. Amar yang awalnya kaget karena aku naik ke punggungnya, kini mengibas-ngibaskan tangannya ke arah anjing itu untuk menyuruhnya pergi. Namun, bukannya pergi, anjing kampung itu terus menggonggong dan tubuhnya seperti mengambil aba-aba untuk melompat dan menerkamku.


“CEPET LARI ANJING JANGAN DIEM AJA!!”


Aku yang panik sampai salah ucap dan memanggil Amar “Anjing”, tapi rasa takut membuatku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Amar lalu berlari secepatnya sambil menggendongku. Anjing itupun juga terus berlari dan membuat nafas Amar ngos-ngosan. Sampai di depan hotel, Amar lalu menghentikan langkahnya. Aku dan Amar juga tertegun melihat Suri dan Anna sudah berada di depan kita. Amar dengan spontan lalu melepaskan tangannya hingga membuatku terjatuh.


“AWWWW! SIALAN SAKIT TAUUU!!”


Ujarku kepada Amar. Amar lalu menoleh ke arahku dan membantuku untuk berdiri.


Sorry, sakit ga?”


Suri dan Anna masih terpaku melihat tingkahku dan Amar. 


“Aku dikejar anjing jadi tadi, jadi spontan aku loncat ke punggung Amar dan minta Amar lari soalnya anjingnya ngejar terus.”


Jelasku kepada Suri. Baru saja aku selesai menjelaskan, anjing itu tiba-tiba sudah berada di depan mata dan terus menggonggong. Aku spontan lari ke belakang punggung Amar. Amar juga tampak ketakutan, namun karena malu dengan Anna dan Suri, Amar terus berusaha mengusir anjing itu, tapi anjingnya terus menggonggong. Amar lalu melepas sepatunya dan hendak memukulnya, namun refleks tangan Anna menahannya. Anna lalu mendekat ke arah anjing itu dan mengelus kepalanya. Anjing itu diam sesaat, namun matanya terus menatap Anna. Dia menggonggong lagi ke arah Anna dan kemudian memalingkan wajahnya ke pantai. Hampir tiga kali anjing itu menggonggong dan menoleh ke pantai seperti hendak memberi tahu sesuatu. Anna kemudian mengikuti kemana anjing itu pergi. Aku, Amar dan Suri masih berdiri tanpa berbicara sepatah katapun. Suri terlihat masih marah ketika melihat Amar menggendongku.


“Oya Mar, kenalin ini Suri.”

“Saya istrinya!”


Ujar Suri menambahkan ketika aku memperkenalkannya kepada Amar. Mereka berdua lalu berjabat tangan. Suri tidak tersenyum sedikitpun kepada Amar.


“Saya Amar, teman Indy dari Bandung. Kebetulan saya baru pulang dari Arab, jadi saya tidak tahu kalau kalian menikah. By the way selamat ya, semoga kalian menjadi keluarga sakidah, mawadah, warohmah. Aamiin..”


Suri hanya tersenyum singkat dan mengaminkan doa yang diucapkan oleh Amar. Tidak berselang lama, telpon Suri berdering. Dia langsung mengangkat telponnya.


Hallo Anna, ada apa?”


Mendengar nama Anna disebut, wajahku memerah. Suri lalu terlihat panik saat mendengar penjelasan dari Anna.


“Kamu dimana sekarang? Nanti aku coba minta bantuan pihak hotel juga.”


Suri lalu menjelaskan kepadaku dan Amar bahwa Anna melihat seseorang terdampar di pantai. Anjing tadi yang membawanya hingga ke sana. Perempuan itu masih tidak sadarkan diri. Anna sudah memberikaannya pertolongan pertama dan nafas buatan, namun dia belum sadarkan diri juga. Kita bertiga lalu bergegas mencari bantuan untuk menolong perempuan tadi.


Sesampainya ditempat kejadian, kita menghampiri Anna yang masih berada di dekat perempuan yang belum diketahui identitasnya itu. Aku lalu mendekati mereka dan melihat wajah korban dari dekat. Aku sangat terkejut melihatnya dan tidak percaya dengan apa yang terjadi.


“DEE!!”


Sontak aku memanggil namanya karena aku mengenali dia. Dia adalah salah satu mantanku yang tidak diundang oleh Suri karena dia sudah menikah. Dee adalah orang yang tulus dan beberapa kali berkorban untukku saat aku terpuruk. Dia juga adalah orang yang paling menyukai karya-karyaku. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat dia menikah. Dan kini dia sudah berada di depanku dalam keadaan begini. Aku sangat tidak percaya.


“Kamu kenal dia?”


Tanya Suri menoleh ke arahku. Aku mengangguk pelan dengan perasaan sedih. Dee lalu dibawa oleh ambulance menuju rumah sakit. Aku lalu menelpon ibunya dan memberitahunya tentang apa yang terjadi. Ibunya sangat shock dan mengatakan bahwa dia dan suami Dee akan segera datang ke rumah sakit. 


Aku masih diam tidak percaya ketika mobil ambulance berlalu dari hadapanku. Aku sangat cemas kalau-kalau Dee tidak bisa selamat. Aku lalu mengingat kembali kenangan bersamanya. Kenangan ketika dia yang awalnya menyukaiku lebih dulu. Kenangan ketika dia sangat menyukai puisi-puisiku lalu jatuh cinta kepadaku. Kenangan ketika pertama kalinya aku melihat pantai dimalam hari bersamanya saat aku tengah patah hati oleh pacar pertamaku. Kenangan ketika aku memberinya cincin bertuliskan “Marry me” yang kemudian tidak pernah dia pakai lagi karena dia harus menikah dengan seorang laki-laki.

“Nanti setelah pulang ke Bandung, kamu harus belajar lagi jadi cowok. Nge-gym atau apalah biar ga terlalu menye-menye. Sebetulnya aku ga pernah masalah dengan badan ga berotot atau sikap lemah gemulai. Tapi, ga lucu aja kalau suatu hari harus liat kamu lagi loncat ke punggung orang waktu panik. Itu bikin malu-maluin aku sebagai istri kamu.”


Suri tiba-tiba berbicara saat aku sedang melamun memikirkan Dee. Dan yang dia bahas masih seputar masalah aku saat digendong oleh Amar, padahal aku sedang bersedih memikirkan keselamatan Dee. Suri seakan tidak bisa melihat situasi dan kondisi saat berbicara seperti itu. Untungnya Anna dan Amar berdiri tidak terlalu dekat dengan kita sehingga mereka tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Suri.


“Dan satu lagi, kamu harus belajar menjadi orang yang bahagia. Ga seharusnya kamu banyak mikirin masalalu atau mikirin terus gimana cara menyenangkan orang lain sampai lupa caranya bahagiain diri sendiri.”


Ucapan Suri kali ini seakan menampar diriku yang selalu terjebak dimasalalu dan juga sulit untuk mencintai diri sendiri. Suri memang benar, aku harus belajar untuk berbahagia. Tapi, harus memulainya darimana?


“Ga semua hal harus dimasukin ke hati dan perasaan kamu tanpa kamu filter dulu sebelumnya. Wajah kamu sering banget keliatan sedih, murung dan sekalipun tertawa, tawanya hanya untuk menutup kesedihan yang terpendam. Kamu belum selesai dengan masalalu kamu, tapi kalau kamu udah ikhlas, melepaskan kemelekatan, kamu pasti bisa bersyukur dengan apa ada sekarang. Coba kamu inget-inget, apa semua orang bisa seberuntung kamu sekarang?”


Aku terpana mendengar ucapan Suri yang tidak seperti biasanya. Jarang-jarang dia berpikir dewasa seperti saat ini. Aku lalu tersenyum dan menunduk pelan tanpa bisa berkata-kata lagi.


Anna tiba-tiba menghampiri aku dan Suri. Dia tersenyum dan memeluk Suri. 


“Aku pamit dulu ya, sudah ada janji sama temen. Harusnya tadi pagi, tapi karena banyak hal yang ga terduga kaya tadi, jadi baru bisa pergi sekarang.”


Anna lalu berpamitan dan berlalu dari hadapan kami. Tak berselang lama, Amar lalu menoleh ke arahku.


“Bisa bicara berdua sebentar ga? Tapi ga di sini.”


Ucap Amar kepadaku. Suri yang mendengar hal itu langsung menjawab ucapan Amar.


“Di sini aja, ga usah berdua. Aku sekarang udah jadi istrinya dan udah ga ada rahasia apapun diantara kita. Aku lagi ngajarin suami aku buat terbuka, buat bahagia dan ga terjebak di masalalu. Jadi, kalau ada yang mau dibicarakan silahkan di depan aku juga.”


“Wow…”


Amar tersenyum kecut mendengar jawaban dari Suri yang sangat tegas.  Aku yang merasa canggung dengan keadaan ini hanya bisa diam seribu bahasa.


“Oke, aku minta maaf sebelumnya. Aku pamit aja sekarang.”


Suri lalu mengangguk tanpa tersenyum sedikitpun ke arah Amar. Amar lalu berlalu setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya.


“Ngapain kamu minta maaf? Salah apa kamu sama dia?”


Suri merasa aneh ketika mendengar ucapan maafku kepada Amar. Aku lalu menjelaskan siapa Amar kepada Suri. Aku kira Suri akan terharu mendengar cerita tentang Amar, tapi ternyata sikapnya biasa saja dan terlihat acuh.


“Berarti kalian bukan jodoh. Hidup itu simple, kadang kitanya aja yang bikin semua jadi rumit. Makannya apa-apa jangan selalu pakai perasaan. Semua yang terjadi dalam hidup kita sebetulnya biasa-biasa aja, tergantung kamu ngadepinnya gimana. Iya kan? Kamu bisa menganggap anjing itu lucu atau menakutkan, semua tergantung reaksi kamu dalam menilai segala sesuatu. Jadi, kalau mau bahagia ya berbahagialah. Hidup tidak selalu seperti drama Korea yang banyak nguras airmata. Selagi kita bisa tertawa dan bahagia, kenapa kita memilih menangis dan nelangsa? Cuma orang bodoh yang ga bisa me-manage emosi dan perasaannya.” 


Lagi-lagi aku dibuat takjub dengan ucapan Suri. Aku mengiyakan apa yang dia ucapkan. Benar kata orang, jika kita ingin bahagia ya berbahagialah. Mungkin sampai detik ini aku  lebih banyak memilih bersedih daripada bahagia, sehingga aku tidak pernah menikmati apapun yang sudah berada di depan mata.


“Yuk ah abis ini kita jalan-jalan, berenang atau apapun deh yang bikin happy. Oya, sekarang kamu liat deh wajah aku!!”


Suri lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya menatapku dengan sangat serius.


“Liat dengan seksama!!”


Perintahnya kepadaku. Aku semakin kebingungan dengan maksud Suri, sebab aku tidak melihat apa-apa di sana.


“Ada apa emangnya??”


Tanyaku yang masih belum mengeri.


Suri lalu mengecup bibirku singkat dan membenturkan keningnya pada keningku.


“Dasar bodoh!! Kamu ga liat bidadari cantik di depan wajah kamu? Jadi, cuma orang tolol yang masih nginget-nginget mantan padahal istrinya secantik ini.”


Aku lalu tertawa mendengar ucapan Suri yang begitu percaya diri mengatakan dirinya bidadari cantik. Aku lalu mengejar Suri yang berlari ke arah laut. Dia lalu mendorongku dan mencipratkan air laut kepadaku. Aku membalasnya, namun aku terpeleset dan jatuh di atas tubuhnya. Kita lalu saling berpandangan dan tertawa. Suri kemudian meletakkan tangannya di wajahku dan tersenyum malu-malu.


“Suami cantikku, maukah kamu menjadi pengantinku setiap hari??”


Aku mengangguk pelan seraya tersenyum mendengar ucapan Suri. Dia lalu mencium bibirku dengan sangat lembut.


Suri, kini semesta tidak perlu lagi  mengajariku bagaimana caranya untuk bahagia, sebab bahagia kini sudah berada di depan pelupuk mata. Berdiri tangguh menghalau ombak yang menghantam karang. Terimakasih telah mengawal rasa ini sampai ke titik dimana aku tidak ingin melirik siapa-siapa lagi. Suri, kau memang bidadari berpita emas yang aku abadikan dalam hati. Terimakasih telah mencintaiku sejauh ini.


Bersambung

No comments:

Post a Comment