Tuesday, December 25, 2018

KIDUNG KEHILANGAN



    Desember dan nyanyian natalmu tengah berkidung lagu yang lain, sedang sajak-sajak kini tengah bercucuran airmata meratapi gambar-gambar tanpa nama.
Mereka tengah bertepuk tangan diantara ratapan tragedi kehilangan. Seperti sayap-sayap yang dibiarkan terbang tanpa mampu berjabat tangan.
Nyanyian ini adalah rintihan dari luka yang tak ingin dipisahkan. Melodi ini adalah rangkaian dari not-not yang segera ingin dipertemukan. Namun, jalanan kini terbelah menjadi dua dan kau pun hilang entah ke mana. Lenyap seakan tak pernah ada di dunia.

    Hari-hari kini serupa sobekan-sobekan kertas tanpa cerita. Kosong, tercecer dan tiada makna. Kenangan pelan-pelan terkikis waktu yang sengaja mengubur rasa hidup-hidup. Mereka bilang, teruslah berjalan, teruslah berjalan, teruslah berjalan. Lalu kemana seharusnya aku berjalan? Sedang tanpanya, jalanan seakan-akan tampak tak seperti jalanan. Aku seperti berada di ruang hampa udara yang hanya membuatku melayang tanpa bisa kemana-mana.
Matanya, bibirnya, suaranya, dan tangannya ibarat permata diantara tumpukan sampah-sampah yang selama ini merasuki rongga dada.

    Dia masih menetap dalam etalase yang aku sembunyikan dari setiap pasang mata. Pelukannya adalah nyawa yang membuat raga bangkit setelah sekian lama mati suri dalam tawanan kesepian.
Padanya, rasa-rasa lain aku titipkan sebagai ungkapan syukur dan terimakasih. Padanya, aku mampu tertidur pulas pada tumpukan kata-kata rindu. Padanya ada harapan yang tertinggal didesauan angin malam.

    Namun, kini dia pun hilang tanpa keputusan. Sosoknya berpendar menjadi peran lain di sudut jendela kaca. Dia berlari, namun diamnya tak mampu menjelaskan arti.
Usai tak usai, dia masih termangu di sana seperti seseorang yang tak bisa aku kenali saat ini.
Ingin sekali rindu menjemputnya dan menanyakan apa dia baik-baik saja?
Ah, tapi rindu pun kini ditamparnya.
Dia telah menutup buku lama tanpa menuliskan kata “selesai” dan “selamat tinggal”. Hingga rindu meraung-raung menggaungkan nama yang tak bisa bergema diantara sesaknya resah dan gelisah.

    Hai malam, kali ini Desember menuliskan ceritanya pada mendung yang menari-nari di atas lautan kehampaan. Berharap ada yang kembali dan bercerita panjang lebar tentang kata mencintai. Seperti genap enam puluh hari namanya aku lingkari pada kalender biru tempat hati menautkan rindu.

25, bulan ketiga. Kau dimana?