Wednesday, January 29, 2020

Pertemuan dengan Hujan

   
    Apa guna mengaduh kepada langit? Ketika langkah menjadi gentar dan seisi hati kemudian kisruh oleh badai masalalu. Hujan mempertemukanku dengan luka. Dengan lukisan sandiwara yang diturunkan mereka dari kapal kebohongan. Matanya, senyumnya dan percakapan yang lalu menjadi asing dan kehilangan getarannya. Terlalu banyak rasa sakit yang bergelayut pada awan harapan, hingga kemudian hujan menjatuhkannya pelan-pelan.

    Pertemuan dan kisah dari rasa yang tidak lagi memiliki nyawa. Hambar, kosong, dan tawa hanyalah pemanis dari getirnya resah yang menyelinap pada malam hari. Mereka berkata, “Maafkanlah!”, mereka berteriak, “Tinggalkanlah!”. Dan semua akan baik-baik saja, seperti ketidakpedulian yang selama ini membesarkanku. Seperti ketika aku tengah bersembunyi di balik pintu dan melihat mereka tertawa riang tanpa beban. Seperti ketika aku melewati malam dengan atap-atap kosong tanpa ada ucapan selamat malam. Seperti ketika aku mengenakan sandal jepit dan mereka mengenakan sandal boneka. Seperti ketika masa kecil yang terekam begitu jelas dengan bumbu kepahitan dan hambarnya kasih sayang. Seperti ketika.. seperti ketika dan seperti ketika.. seperti ketika mereka lupa bahwa ada luka yang aku timbun sekian lama.

    Aku adalah makam dari sepi yang ingin segera dibawa pergi. Tak usah lagi berpura-pura dengan ketulusan yang kau sematkan diantara jembatan lara. Aku tahu bahwa ada harga yang harus dibayar mahal dari sebuah kehangatan. Aku mengerti bahwa ada hitung-hitungan matematika dari sebungkus cinta yang aku ratapi setiap hari. Aku paham bahwa ada negosiasi dari hati yang ingin aku peluk sekali lagi. Namun, kini aku sedang tidak ingin memanjakan sepi. Sebab sepi seringkali mengundang para pecundang untuk datang mencuri dan menikamku berkali-kali.

    Aku kini sadar, bahwa aku terlahir dari rahim kesepian. Aku tumbuh dari belaian airmata dan ratapan-ratapan pelukan yang kerap memeluk dirinya bersama hujan. Aku menjadi dewasa dari runtutan kehilangan yang orang pertontonkan di depan mata. Aku menua dari lorong-lorong tak bersuara yang aku beri judul “Duka”.

    Aku tak mampu membeli sepiring pelukan murni, satu mangkuk senyuman tulus, Satu gelas rindu dan sepotong kenangan manis, karena semuanya terlalu mahal untuk bisa aku cicipi hingga detik ini. Aku bahkan lupa bahwa ada banyak racun yang telah aku teguk dari kasih sayang palsu yang mengatasnamakan rindu. Aku lupa, bahwa mereka tengah berpura-pura, dan aku masih saja menikmatinya. Aku bahagia, padahal mereka bersandiwara.

   

Thursday, January 16, 2020

Rotasi Hati



    Sumbu itu, jarak yang seringkali kau namai dengan poros. Berlari ditempatmu,dan gravitasi akan menjatuhkan dirinya sendiri. Perihal apa yang kau gantungkan pada dimensi tanpa rotasi. Tentang lara dan angin yang menggelapar pada kerasnya jalan buntu.
Kau tahu, ada misteri di balik rotasi! 
Ada sumbu-sumbu kasat mata yang memaksamu mengelilinginya? Jatuh dan jatuh ditempat yang sama. Dan kau akan menemui titik tengahnya, meskipun kau merasakan tidak beranjak ke mana-mana dan masih berada di tempat yang sama.

    Langit memainkan perannya kali ini. Memayungi letih dengan awan yang semestinya bergerak memutar, bukan diam ditempat dan meratapi rindunya akan hati. 
Dan kebahagiaan-kebahagiaan lain baru saja kau peragakan di atas pentas, dengan kutub yang berlainan agar hidup dapat menelurkan pecahan-pecahan kecilnya  yang bernyawa.

    Kau kini menjelma menjadi bumi lain yang tak bisa aku kenali. Hijaunya apa yang kau lihat, tak sama dengan hijau yang aku ketahui sebelumnya. Kau tengah mencandu apa yang paling dulu kau takuti. Kau bersiap panen dari benih yang tak pernah kau rencakan untuk tumbuh. Semudah itu rotasi baru dari bumi yang tengah mabuk oleh skenarionya yang dulu dia bantah mati-matian.

    Aku kini percaya, kata-kata manis hanyalah omong kosong yang dibalut oleh bualan janji semu. Dan kelak, sandiwara-sandiwara itu akan luruh bersama waktu yang memberikannya ruang untuk bersekongkol dengan para pemain baru. Ya, orang-orang akan dengan mudah beranjak mendekati cahaya ketika gelap menerpa tiba-tiba.
Tak pernah ada pejuang sejati atau aktor tangguh yang bisa memperjuangkan skenarionya akan cinta, karena seringkali mereka takut akan penilaian setiap pasang mata yang kerap memenjarakan nama baik pada penghakiman-penghakiman sepihak. Mereka adalah pujangga-pujangga yang berlindung di balik punggung kebohongan. Komitmen adalah bagian dari kenangan yang suatu saat akan terdampar di museum tanpa satupun pengunjung. Menyedihkan, sungguh memilukan. Kisah-kisah hanyalah sampah yang dulu mereka pertaruhkan di atas noktah.

    Aku berdiri bersama harapan yang seringkali dikecewakan. Berjalan sendiri dengan satu lilin yang tak pernah melihat ribuan pasang mata dan belum pernah mendengar meriahnya tepuk tangan. Aku adalah sudut di antara gang-gang sepi malam hari. Tempat yang tak pernah disinggahi ketika setiap mata terlelap dalam tidurnya seraya berpelukan.

    Lelah, sungguh lelah berotasi pada harapan dan angan-angan. Lelah menggantungkan wajah mereka diatas langit, lalu dengan terpaksa melepasnya karena ketidakmungkinan  bumi meminang langit. Bersebrangan. Aku ingin menjadi kutub-kutub yang bersebrangan. Aku ingin menarik langit dan memeluk bumi dengan penuh kehangatan. Aku lelah terbangun di malam hari dan tersadar bahwa masalalu telah berakhir begitu saja.

    Tuhan, beri aku lintasan baru yang bisa membuatku berputar pada porosnya. Tumbuhkan rasa ditempat seharusnya dia bersemayam. Aku tak mau lagi tersesat pada galaksi lain, tempat di mana kutub-kutub hati menari tanpa bisa memiliki. Aku tak mau lagi!
Aku lelah mencintai, tapi tidak dicintai..


Monday, January 13, 2020

Apa kabar, Dokter?


    Menjelang sincia, ada percakapan manis yang sengaja aku buka setelah beberapa saat aku tidak terlalu mempedulikannya. Dia datang lagi ketika hati tidak lagi bersemayam diantara sepasang matanya yang sipit dan kulitnya yang putih bersih. Dia datang ketika aku tengah berjalan dengan seseorang yang secara fisik nyaris sangat mirip dengan dia, sehingga dia dengan penuh percaya dirinya mengatakan bahwa orang baru itu hanya pelampiasanku saja, padahal tidak sepenuhnya benar apa yang dia katakan, tapi tidak semuanya salah juga.

    Apa kabar, Dokter? Kini aku kembali sendiri setelah melepaskannya, tapi bukan berarti aku ingin kembali kepadamu, karena sepertinya berteman saja akan jauh lebih baik, dibandingkan ketika nafsu menjadi perekat hubungan kita. Jangan pernah bertanya kenapa dan jangan pula mempertanyakan kenapa aku tidak pernah mau lagi bertemu denganmu sekali lagi, sekalipun kau mengatakan ingin mentraktirku dan join dengan bisnis sepatuku, tapi sepertinya aku tidak akan pernah bisa lagi. Seperti halnya semut kecil itu. Dia yang datang setelahmu dan masih belum bisa menerima keputusanku untuk pergi. Aku tidak akan pernah bisa lagi menemuinya yang berkali-kali memohon untuk bisa bertemu denganku lagi.
   
    Aku sudah membuat keputusan. Dari semua rasa sakit, kebohongan dan semua manipulasi yang dilakukan mereka hanya demi keuntungan pribadi dan mengorbankan satu-satunya perasaanku, aku memutuskan untuk pergi dan tidak pernah mau lagi untuk berkomunikasi secara langsung, karena aku tahu bahwa mereka, orang-orang yang masih dipenuhi keegoisan itu hanya mempertuhan keinginannya sendiri dan tidak pernah peduli dengan kebahagiaan orang lain.

    Aku masih bisa membuka komunikasi denganmu dan dengannya hanya didunia maya, tempat di mana kalian tidak dapat melihat wajahku yang berurai airmata, atau hatiku yang berdarah-darah karena luka.

    Dokter dan sang penari. Dua makhluk bak pinang dibelah dua, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sang penari jauh lebih bercahaya secara fisik dibanding dengan sang dokter, meskipun di dalam sisi kenyamanan, sang dokter selalu menang dibandingkan siapapun, bahkan dibandingkan dengan Jingga maupun biru. 

    Hari ini, melalui sebuah percakapan manis sebagai dua orang teman, aku merasakan sebuah kebahagiaan kecil yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Berteman tanpa embel-embel nafsu ternyata jauh lebih menyenangkan. Kita bisa bercerita berjam-jam tentang apapun, tentang siapapun, tanpa ada rasa cemburu sama sekali (dari sisi aku), meskipun tidak dengan dia, karena kadang-kadang dia selalu merasakan cemburu hebat ketika aku menceritakan tentang sang penari.

    Aku sedang menjauhi maksiat dan berusaha untuk konsisten dalam pertaubatan. Aku selalu malu dengan keimananku yang naik turun, di mana kadang-kadang aku berusaha mendekati-Nya, tapi tidak jarang pula aku mengkhianati-Nya. Aku bahkan sering berpikir, kenapa aku tidak pernah bisa konsiten dalam hal ini, tapi aku yakin jika aku berusaha lebih keras dan ikhlas, mungkin aku bisa melewati ujian-demi ujian yang sebelumnya gagal aku lalui.

    Sang Dokter dan kisah-kisah lain sebelum ini, Jingga, Biru, Hijau (Sang penari) adalah masa yang harus aku lalui agar aku tahu apa itu jatuh cinta, kesedihan, kerinduan, pengkhianatan, dan kehilangan. Meraka adalah jembatan dimana aku mengerti bahwa tidak pernah ada yang abadi. Rasa dan kenangan tak akan bisa selamanya membuncah dan bersemayam dalam hati. Tak pernah ada kata “setia” yang benar-benar setia, jika kita bisa dengan seksama mengejanya tanpa harus terbata-bata. 

    Apa kabar, Dokter? Aku ingin kau tak pernah putus asa dan kalah oleh keadaan yang kini menghimpitmu. Kau memang tak pernah menceritakannya, namun aku bisa merasakannya. Aku bisa tahu sesaknya dadamu ketika malam tiba. Aku mengerti bagaimana penatnya kepalamu ketika harus berjuang mencari kata-kata untuk menenangkan ibumu yang penuh dengan rasa kecewa. Aku tahu, aku mengerti, meskipun kau selalu pura-pura dengan menunjukkan wajah yang ceria, tapi jauh di dalam sana, di matamu, aku melihatnya berkaca-kaca.

    Kau selalu mengatakan tentang maaf yang sudah bosan aku dengar. Aku tidak pernah mengerti kenapa sekarang kau sangat rajin meminta maaf kepadaku, mungkin kau telah mengalami masa-masa sulit, dimana kejadian yang kau alami adalah imbas dari perbuatan yang pernah kau lakukan kepadaku dahulu. Entahlah, tapi orang bilang itu karma, atau lebih tepatnya adalah kau menuai apa yang kau tanam.

    Aku memaafkanmu, tapi aku tidak akan bisa sama seperti dulu. Kadang-kadang kita memang perlu jarak, untuk bisa berjalan bebas tanpa harus dibatasi, karena sejatinya jarak adalah penghubung ketika sebuah hubungan sudah retak karena jaraknya yang semula terlalu dekat.

Tak ada lagi puisi,
Dan musim hujan menghapus sisa mimpiku tadi pagi
Apa kabar langit yang berduka karena pelangi?
Apa kabar bumi yang sesak oleh pijakan duri?
   
Aku tak pernah lagi sama dengan prasasti!
Atau dengan kidung-kidung yang kau sebut dengan nyanyian dungu..
Aku telah menghantam ombak dan menerkam karang
Dan aku telah paham bagaimana caranya meminum airmataku sendiri

Aku tak lagi sama dan tak akan pernah sama!
Seperti hujan yang berganti menjadi panas
Seperti kebekuan matahari yang kini mulai berpijar..
Aku bebas!
Hingga aku bisa menikmati indahnya diri sendiri di depan cermin   
Dan aku bisa mengunyah tawaku sendiri tanpa takut untuk ditertawakan.

Aku tidak butuh rasa iba dari kurcaci-kurcaci hati yang telah berlari pergi
Atau pelukan dari mereka yang mengatasnamakan kebahagiaan!
Aku tidak butuh semuanya!
Kepalsuan, penghkhianatan dan kehilangan
Pudar, bias dan menjadi asing dalam diri..
Aku kini bahagia, tanpa kata-kata dan hitungan matematika,
Sendiri telah menjadikan duka bukan lagi sebagai luka,
Tapi surga..

Tuesday, January 7, 2020

Reynhard Sinaga, “Kisah Nafsu yang Menghancurkan Manusia”


   

    Beberapa hari ini masyarakat Indonesia dan dunia dihebohkan oleh pemberitaan-pemberitaan media tentang kasus Reynhard Sinaga yang telah memperkosa 48  pria muda di Manchester, Inggris. Bukan hanya masyarakat Indonesia dan dunia yang terkejut, keluarga dan teman-teman dekatnya juga sangat terkejut karena selama ini Reynhard dikenal sebagai laki-laki yang baik dan taat beribadah. Reynhard juga tengah menyelesaikan pendidikan S3nya di Universitas Leeds. Namun siapa sangka dibalik pendidikan dan sikapnya yang manis, dia melakukan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan.

    Nafsu, lagi-lagi nafsu yang kerap menjadi dalang dari segala kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Setinggi apapun pendidikan seseorang, tidak menjamin dia akan menang ketika dihadapkan dengan hawa nafsunya sendiri. Seringkali nafsu bertopeng kebahagiaan-kebahagiaan semu yang menjerumuskan, yang kelak akan melahirkan kehancuran dan penyesalan.

Nabi Muhammad. SAW bersabda:

    “Jihad yang paling utama adalah Seseorang yang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya)”. 
(Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

    Menurut Dr. Ahmad Farid, dalam bukunya yang berjudul “Zuhud dan Kelembutan Hati”, Hawa nafsu bisa memutus hati seseorang untuk sampai kepada Rabbnya. Dan bahwasanya seseorang tidak akan bisa masuk dan tidak akan sampai kepada Allah kecuali setelahnya ia mampu mematikan dan mencegahnya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Rabbnya dan mampu menguasainya. Karena pada dasarnya manusia itu ada dua jenis: ada yang dikuasai oleh hawa nafsunya kemudian dia diatur  dan dihancurkan olehnya, ia pun menjadi orang yang tunduk patuh terhadap perintah-perintah-Nya. Dan ada juga manusia yang mampu menguasai hawa nafsu mereka , sehingga mereka mampu mengaturnya, dan menjadikannya tunduk mengerjakan apa yang diperintah oleh mereka.

    Sebagian orang yang mengenal Rabbnya berkata: perjalanan penuntut ilmu akan berhenti pada kemampuan mereka  dalam menguasai hawa nafsu mereka. Barang siapa yang bisa menguasainya, maka ia beruntung dan selamat, dan barang siapa yang justru dikuasai olehnya, maka ia menjadi orang yang rugi dan hancur.

Allah SWT berfirman:

    “Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, Nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan hawa diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, Surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 37-41)

    Nafsu hanya mengajak kepada kesombongan dan mendahulukan kepentingan dunia, sedangkan Rabb mengajak hamba-Nya untuk takut kepada-Nya dan melarang jiwa dari mengikuti hawa nafsu. Hati, yang berada diantara dua ajakan ini, satu waktu akan condong kepada ajakan yang pertama dan satu waktu yang lainnya akan lebih condong kepada ajakan yang kedua; pada saat itulah ujian dan cobaan datang.

    Allah SWT telah mensifati jiwa manusia dalam Al-Quran dengan berbagai sifat, diantaranya: muthma’innah (jiwa yang tenang), lawammah (jiwa yang tercela), dan ammaratun bis su’i (jiwa yang senantiasa memerintahkan kepada perbuatan buruk). 

An-Nafsul Muthma’innah (Jiwa yang tenang)

    Apabila jiwa telah tenang menuju Allah, merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasa rindu akan perjumpaan dengan-Nya dan melupakan orang terdekatnya, maka jiwa tersebut dalam keadaan tenang (muthma’innah).
Ia juga merasa tentram dan tenang ketika menerima takdir Allah SWT. Ia mau menerima dengan ridha dan tidak benci terhadap takdir tersebut. Ia tidak mengeluh dan tidak terganggu keimanannya. Ia tidak berputus asa terhadap musibah yang menimpanya dan tidak sombong atas apa yang telah ia dapatkan, karena pada hakikatnya musibah sudah ditentukan jauh sebelum ia datang kepadanya dan sebelum ia diciptakan.

Allah SWT berfirman:

    “Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun [64]: 11)

An-Nafsul Lawammah (Jiwa yang suka mencela)

    Sebagian orang berkata: adalah jiwa yang tidak berdiam diri pada satu keadaan, ia sering terombang-ambing dan berubah, ia terkadang ingat kemudian lalai, kadang menerima dan kadang menolak, satu waktu ia cinta dan waktu yang lain ia benci, ia terkadang senang dan kemudian sedih, terkadang ia ridha dan terkadang marah, dan terkadang ia patuh dan taat, tapi terkadang juga maksiat.

Lawammah itu ada dua:

Lawammah mulawammah (yang suka mencela dan tercela). Jiwa ini adalah jiwa yang bodoh dan zalim yang dicela oleh Allah SWT dan Malaikat-Nya.

Ghair mulawammah (yang suka mencela tapi tidak tercela) adalah Jiwa yang senantiasa disesali oleh pemiliknya dikarenakan sedikitnya amal yang dilakukan dalam ketaatan kepada Allah SWT, padahal ia sudah bersungguh-sungguh dan mengorbankan dirinya, maka jiwa seperti ini tidak tercela. 

An Nafsul Amaratu bis Su’i (Jiwa yang selalu memerintahkan kepada kejelekan)

    Ini adalah nafsu yang tercela, jiwa yang selalu mendorong manusia untuk berbuat buruk, dan memang seperti itulah tabiat jiwa. Tidak ada seorang pun yang bisa terhindar dari buruknya jiwa seperti ini, kecuali orang yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.

Sebagaimana firman Allah SWT ketika menceritakan tentang istri Al-‘Aziz:

    “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Rabbku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf  [12]: 53)

Allah SWT juga berfirman:
    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun diantara kamu bersih (dari perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur [24]: 21).

    Hal yang paling sulit bagi jiwa untuk menuju kepada jiwa muthma’innah adalah mengosongkan amal dari pengaruh setan dan dari kecenderungan untuk berbuat dosa.

Pengobatan yang baik bagi hati seorang mukmin yang sudah dikuasai oleh jiwa yang senantiasa mengajak kepada kejelekan adalah dengan cara muhasabbah diri (introspeksi diri) dan menentang jiwa tersebut.

    Introspeksi diri itu ada dua macam: Pertama sebelum melakukan perbuatan. Kedua, setelah melakukan perbuatan.

Adapun yang pertama: Yaitu seseorang berhenti terlebih dahulu pada awal datangnya maksud dan tujuan, dan ia tidak bergegas melakukan perbuatan sampai jelas baginya bahwa melakukan perbuatan tersebut lebih kuat alasannya daripada meninggalkannya.
   
    Al Hasan berkata: Semoga Allah merahmati seorang hamba yang terlebih dahulu berhenti ketika ingin melakukan sesuatu. Apabila tujuannya karena Allah, maka ia melakukannya dan apabila tujuannya bukan karena Allah, maka ia menundanya.

Adapun yang kedua yaitu introspeksi diri setelah melakukan pekerjaan, dan ini juga ada tiga macam:

Pertama: Introspeksi diri terhadap ketaatan kepada Allah yang tidak bisa dilakukan sebagaimana mestinya. Kewajiban hamba dalam ketaatan kepada Allah ada enam perkara: ikhlas dalam beramal, nasihat untuk Allah dalam beramal, mengikuti sunnah Rasul, kesaksian terhadap kebaikan, kesaksian terhadap karunia Allah, dan kesaksian akan kelalaiannya terhadap itu semua. Ia juga hendaknya mengintrospeksi diri apakah ia sudah melakukan tingkatan-tingkatan ini dalam dirinya?

Kedua: Introspeksi diri terhadap setiap amal yang meninggalkannya lebih baik dari melakukannya.

Ketiga: Introspeksi diri terhadap perkara mubah yang ia kerjakan, kenapa ia melakukannya? Apakah ia mengerjakan perkara mubah tersebut mengharapkan ridha Allah dan hari kiamat? Sehingga dia akan mendapatkan keuntungan darinya, ataukah ia melakukannya karena mengharapkan keuntungan dunia sehingga ia akan rugi dan kehilangan untuk mendapatkan keuntungan tersebut.

    Dan diantara hal yang dapat merusak jiwa adalah kecerobohan, tidak melakukan introspeksi diri, menganggap remeh segala perkara dan membiarkan hati berjalan kesana kemari. Karena hal tersebut dapat mengantarkan diri ke jurang kehancuran, dan inilah hal yang terjadi kepada orang yang tertipu, matanya tertutup dari akibat yang akan ditimbulkan, ia hanya mampu bertumpu pada pengampunan, ia lalai terhadap proses introspeksi diri dan dari melihat dari akibat yang akan ditimbulkan.
Apabila ia sudah seperti itu, ia akan mudah untuk masuk ke dalam dosa, ia akan senang dengannya dan akan merasa susah untuk bangkit. Ketika hidayah sudah menghampirinya, ia akan sadar bahwa menjaga jiwa lebih mudah daripada harus bangkit dan meninggalkan sesuatu yang sudah lumrah (introspeksi diri).

    Kesimpulannya, sosok Reynhard Sinaga tidak lepas dari hawa nafsu yang sebagian besar tidak bisa dia kendalikan. Di satu sisi, dia adalah pemuda yang religius, namun di sisi lain, hawa nafsunya telah menguasai dirinya, sehingga dia lebih berat kepada hal-hal yang kemudian menjerumuskan dirinya sendiri. Seperti kebanyakan manusia pada umumnya, keimanan seseorang selalu naik turun, bahkan introspeksi diri yang seharusnya bisa dilakukan ketika perbuatan buruk itu belum terjadi pun lupa untuk dilakukan, padahal introspeksi diri sebelum melakukan sebuah perbuatan merupakan hal yang penting, mengingat dengan introspeksi diri, kita bisa memilah mana perbuatan yang bisa mendatangkan manfaat, dan mana perbuatan yang bisa mencelakakan. Introspeksi diri bisa memberitahukan kita tentang akibat apa saja yang bisa ditimbulkan dari suatu perbuatan, sehingga kita bisa mengurungkan niat untuk melakukannya apabila perbuatan itu adalah buruk yang bisa berakibat fatal bagi kita maupun bagi orang lain.

    Nasi sudah menjadi bubur. Korban-korban Reynhard sudah berjatuhan dan mengalami trauma yang berkepanjangan. Orang tua dan keluarganya juga sudah pasti kecewa, namun ada satu Dzat yang tidak akan pernah menutup pintu ketika semua orang berpaling, Dialah Allah. Semoga dengan kejadian ini, Reynhard bisa bertaubat dan kembali kepada-Nya. Apapun agamanya, sebesar apapun dosa dan kesalahannya, kita tidak pernah tahu tentang hidayah apa yang kelak mungkin bisa ia dapatkan sehingga ia bisa berubah dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya dimasalalu. Sudah semestinya kita saling mendoakan dan intrsopeksi diri sebelum kita menghakimi, membicarakan dan menggunjing perbuatan buruk orang lain, karena bisa jadi dosa dan aib kita lebih besar dari mereka, hanya saja Allah menutupnya, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Wallahualam.