Tuesday, January 7, 2020

Reynhard Sinaga, “Kisah Nafsu yang Menghancurkan Manusia”


   

    Beberapa hari ini masyarakat Indonesia dan dunia dihebohkan oleh pemberitaan-pemberitaan media tentang kasus Reynhard Sinaga yang telah memperkosa 48  pria muda di Manchester, Inggris. Bukan hanya masyarakat Indonesia dan dunia yang terkejut, keluarga dan teman-teman dekatnya juga sangat terkejut karena selama ini Reynhard dikenal sebagai laki-laki yang baik dan taat beribadah. Reynhard juga tengah menyelesaikan pendidikan S3nya di Universitas Leeds. Namun siapa sangka dibalik pendidikan dan sikapnya yang manis, dia melakukan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan.

    Nafsu, lagi-lagi nafsu yang kerap menjadi dalang dari segala kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Setinggi apapun pendidikan seseorang, tidak menjamin dia akan menang ketika dihadapkan dengan hawa nafsunya sendiri. Seringkali nafsu bertopeng kebahagiaan-kebahagiaan semu yang menjerumuskan, yang kelak akan melahirkan kehancuran dan penyesalan.

Nabi Muhammad. SAW bersabda:

    “Jihad yang paling utama adalah Seseorang yang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya)”. 
(Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

    Menurut Dr. Ahmad Farid, dalam bukunya yang berjudul “Zuhud dan Kelembutan Hati”, Hawa nafsu bisa memutus hati seseorang untuk sampai kepada Rabbnya. Dan bahwasanya seseorang tidak akan bisa masuk dan tidak akan sampai kepada Allah kecuali setelahnya ia mampu mematikan dan mencegahnya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Rabbnya dan mampu menguasainya. Karena pada dasarnya manusia itu ada dua jenis: ada yang dikuasai oleh hawa nafsunya kemudian dia diatur  dan dihancurkan olehnya, ia pun menjadi orang yang tunduk patuh terhadap perintah-perintah-Nya. Dan ada juga manusia yang mampu menguasai hawa nafsu mereka , sehingga mereka mampu mengaturnya, dan menjadikannya tunduk mengerjakan apa yang diperintah oleh mereka.

    Sebagian orang yang mengenal Rabbnya berkata: perjalanan penuntut ilmu akan berhenti pada kemampuan mereka  dalam menguasai hawa nafsu mereka. Barang siapa yang bisa menguasainya, maka ia beruntung dan selamat, dan barang siapa yang justru dikuasai olehnya, maka ia menjadi orang yang rugi dan hancur.

Allah SWT berfirman:

    “Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, Nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan hawa diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, Surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 37-41)

    Nafsu hanya mengajak kepada kesombongan dan mendahulukan kepentingan dunia, sedangkan Rabb mengajak hamba-Nya untuk takut kepada-Nya dan melarang jiwa dari mengikuti hawa nafsu. Hati, yang berada diantara dua ajakan ini, satu waktu akan condong kepada ajakan yang pertama dan satu waktu yang lainnya akan lebih condong kepada ajakan yang kedua; pada saat itulah ujian dan cobaan datang.

    Allah SWT telah mensifati jiwa manusia dalam Al-Quran dengan berbagai sifat, diantaranya: muthma’innah (jiwa yang tenang), lawammah (jiwa yang tercela), dan ammaratun bis su’i (jiwa yang senantiasa memerintahkan kepada perbuatan buruk). 

An-Nafsul Muthma’innah (Jiwa yang tenang)

    Apabila jiwa telah tenang menuju Allah, merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merasa rindu akan perjumpaan dengan-Nya dan melupakan orang terdekatnya, maka jiwa tersebut dalam keadaan tenang (muthma’innah).
Ia juga merasa tentram dan tenang ketika menerima takdir Allah SWT. Ia mau menerima dengan ridha dan tidak benci terhadap takdir tersebut. Ia tidak mengeluh dan tidak terganggu keimanannya. Ia tidak berputus asa terhadap musibah yang menimpanya dan tidak sombong atas apa yang telah ia dapatkan, karena pada hakikatnya musibah sudah ditentukan jauh sebelum ia datang kepadanya dan sebelum ia diciptakan.

Allah SWT berfirman:

    “Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun [64]: 11)

An-Nafsul Lawammah (Jiwa yang suka mencela)

    Sebagian orang berkata: adalah jiwa yang tidak berdiam diri pada satu keadaan, ia sering terombang-ambing dan berubah, ia terkadang ingat kemudian lalai, kadang menerima dan kadang menolak, satu waktu ia cinta dan waktu yang lain ia benci, ia terkadang senang dan kemudian sedih, terkadang ia ridha dan terkadang marah, dan terkadang ia patuh dan taat, tapi terkadang juga maksiat.

Lawammah itu ada dua:

Lawammah mulawammah (yang suka mencela dan tercela). Jiwa ini adalah jiwa yang bodoh dan zalim yang dicela oleh Allah SWT dan Malaikat-Nya.

Ghair mulawammah (yang suka mencela tapi tidak tercela) adalah Jiwa yang senantiasa disesali oleh pemiliknya dikarenakan sedikitnya amal yang dilakukan dalam ketaatan kepada Allah SWT, padahal ia sudah bersungguh-sungguh dan mengorbankan dirinya, maka jiwa seperti ini tidak tercela. 

An Nafsul Amaratu bis Su’i (Jiwa yang selalu memerintahkan kepada kejelekan)

    Ini adalah nafsu yang tercela, jiwa yang selalu mendorong manusia untuk berbuat buruk, dan memang seperti itulah tabiat jiwa. Tidak ada seorang pun yang bisa terhindar dari buruknya jiwa seperti ini, kecuali orang yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.

Sebagaimana firman Allah SWT ketika menceritakan tentang istri Al-‘Aziz:

    “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Rabbku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf  [12]: 53)

Allah SWT juga berfirman:
    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun diantara kamu bersih (dari perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur [24]: 21).

    Hal yang paling sulit bagi jiwa untuk menuju kepada jiwa muthma’innah adalah mengosongkan amal dari pengaruh setan dan dari kecenderungan untuk berbuat dosa.

Pengobatan yang baik bagi hati seorang mukmin yang sudah dikuasai oleh jiwa yang senantiasa mengajak kepada kejelekan adalah dengan cara muhasabbah diri (introspeksi diri) dan menentang jiwa tersebut.

    Introspeksi diri itu ada dua macam: Pertama sebelum melakukan perbuatan. Kedua, setelah melakukan perbuatan.

Adapun yang pertama: Yaitu seseorang berhenti terlebih dahulu pada awal datangnya maksud dan tujuan, dan ia tidak bergegas melakukan perbuatan sampai jelas baginya bahwa melakukan perbuatan tersebut lebih kuat alasannya daripada meninggalkannya.
   
    Al Hasan berkata: Semoga Allah merahmati seorang hamba yang terlebih dahulu berhenti ketika ingin melakukan sesuatu. Apabila tujuannya karena Allah, maka ia melakukannya dan apabila tujuannya bukan karena Allah, maka ia menundanya.

Adapun yang kedua yaitu introspeksi diri setelah melakukan pekerjaan, dan ini juga ada tiga macam:

Pertama: Introspeksi diri terhadap ketaatan kepada Allah yang tidak bisa dilakukan sebagaimana mestinya. Kewajiban hamba dalam ketaatan kepada Allah ada enam perkara: ikhlas dalam beramal, nasihat untuk Allah dalam beramal, mengikuti sunnah Rasul, kesaksian terhadap kebaikan, kesaksian terhadap karunia Allah, dan kesaksian akan kelalaiannya terhadap itu semua. Ia juga hendaknya mengintrospeksi diri apakah ia sudah melakukan tingkatan-tingkatan ini dalam dirinya?

Kedua: Introspeksi diri terhadap setiap amal yang meninggalkannya lebih baik dari melakukannya.

Ketiga: Introspeksi diri terhadap perkara mubah yang ia kerjakan, kenapa ia melakukannya? Apakah ia mengerjakan perkara mubah tersebut mengharapkan ridha Allah dan hari kiamat? Sehingga dia akan mendapatkan keuntungan darinya, ataukah ia melakukannya karena mengharapkan keuntungan dunia sehingga ia akan rugi dan kehilangan untuk mendapatkan keuntungan tersebut.

    Dan diantara hal yang dapat merusak jiwa adalah kecerobohan, tidak melakukan introspeksi diri, menganggap remeh segala perkara dan membiarkan hati berjalan kesana kemari. Karena hal tersebut dapat mengantarkan diri ke jurang kehancuran, dan inilah hal yang terjadi kepada orang yang tertipu, matanya tertutup dari akibat yang akan ditimbulkan, ia hanya mampu bertumpu pada pengampunan, ia lalai terhadap proses introspeksi diri dan dari melihat dari akibat yang akan ditimbulkan.
Apabila ia sudah seperti itu, ia akan mudah untuk masuk ke dalam dosa, ia akan senang dengannya dan akan merasa susah untuk bangkit. Ketika hidayah sudah menghampirinya, ia akan sadar bahwa menjaga jiwa lebih mudah daripada harus bangkit dan meninggalkan sesuatu yang sudah lumrah (introspeksi diri).

    Kesimpulannya, sosok Reynhard Sinaga tidak lepas dari hawa nafsu yang sebagian besar tidak bisa dia kendalikan. Di satu sisi, dia adalah pemuda yang religius, namun di sisi lain, hawa nafsunya telah menguasai dirinya, sehingga dia lebih berat kepada hal-hal yang kemudian menjerumuskan dirinya sendiri. Seperti kebanyakan manusia pada umumnya, keimanan seseorang selalu naik turun, bahkan introspeksi diri yang seharusnya bisa dilakukan ketika perbuatan buruk itu belum terjadi pun lupa untuk dilakukan, padahal introspeksi diri sebelum melakukan sebuah perbuatan merupakan hal yang penting, mengingat dengan introspeksi diri, kita bisa memilah mana perbuatan yang bisa mendatangkan manfaat, dan mana perbuatan yang bisa mencelakakan. Introspeksi diri bisa memberitahukan kita tentang akibat apa saja yang bisa ditimbulkan dari suatu perbuatan, sehingga kita bisa mengurungkan niat untuk melakukannya apabila perbuatan itu adalah buruk yang bisa berakibat fatal bagi kita maupun bagi orang lain.

    Nasi sudah menjadi bubur. Korban-korban Reynhard sudah berjatuhan dan mengalami trauma yang berkepanjangan. Orang tua dan keluarganya juga sudah pasti kecewa, namun ada satu Dzat yang tidak akan pernah menutup pintu ketika semua orang berpaling, Dialah Allah. Semoga dengan kejadian ini, Reynhard bisa bertaubat dan kembali kepada-Nya. Apapun agamanya, sebesar apapun dosa dan kesalahannya, kita tidak pernah tahu tentang hidayah apa yang kelak mungkin bisa ia dapatkan sehingga ia bisa berubah dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya dimasalalu. Sudah semestinya kita saling mendoakan dan intrsopeksi diri sebelum kita menghakimi, membicarakan dan menggunjing perbuatan buruk orang lain, karena bisa jadi dosa dan aib kita lebih besar dari mereka, hanya saja Allah menutupnya, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Wallahualam.

No comments:

Post a Comment