Wednesday, January 29, 2020

Pertemuan dengan Hujan

   
    Apa guna mengaduh kepada langit? Ketika langkah menjadi gentar dan seisi hati kemudian kisruh oleh badai masalalu. Hujan mempertemukanku dengan luka. Dengan lukisan sandiwara yang diturunkan mereka dari kapal kebohongan. Matanya, senyumnya dan percakapan yang lalu menjadi asing dan kehilangan getarannya. Terlalu banyak rasa sakit yang bergelayut pada awan harapan, hingga kemudian hujan menjatuhkannya pelan-pelan.

    Pertemuan dan kisah dari rasa yang tidak lagi memiliki nyawa. Hambar, kosong, dan tawa hanyalah pemanis dari getirnya resah yang menyelinap pada malam hari. Mereka berkata, “Maafkanlah!”, mereka berteriak, “Tinggalkanlah!”. Dan semua akan baik-baik saja, seperti ketidakpedulian yang selama ini membesarkanku. Seperti ketika aku tengah bersembunyi di balik pintu dan melihat mereka tertawa riang tanpa beban. Seperti ketika aku melewati malam dengan atap-atap kosong tanpa ada ucapan selamat malam. Seperti ketika aku mengenakan sandal jepit dan mereka mengenakan sandal boneka. Seperti ketika masa kecil yang terekam begitu jelas dengan bumbu kepahitan dan hambarnya kasih sayang. Seperti ketika.. seperti ketika dan seperti ketika.. seperti ketika mereka lupa bahwa ada luka yang aku timbun sekian lama.

    Aku adalah makam dari sepi yang ingin segera dibawa pergi. Tak usah lagi berpura-pura dengan ketulusan yang kau sematkan diantara jembatan lara. Aku tahu bahwa ada harga yang harus dibayar mahal dari sebuah kehangatan. Aku mengerti bahwa ada hitung-hitungan matematika dari sebungkus cinta yang aku ratapi setiap hari. Aku paham bahwa ada negosiasi dari hati yang ingin aku peluk sekali lagi. Namun, kini aku sedang tidak ingin memanjakan sepi. Sebab sepi seringkali mengundang para pecundang untuk datang mencuri dan menikamku berkali-kali.

    Aku kini sadar, bahwa aku terlahir dari rahim kesepian. Aku tumbuh dari belaian airmata dan ratapan-ratapan pelukan yang kerap memeluk dirinya bersama hujan. Aku menjadi dewasa dari runtutan kehilangan yang orang pertontonkan di depan mata. Aku menua dari lorong-lorong tak bersuara yang aku beri judul “Duka”.

    Aku tak mampu membeli sepiring pelukan murni, satu mangkuk senyuman tulus, Satu gelas rindu dan sepotong kenangan manis, karena semuanya terlalu mahal untuk bisa aku cicipi hingga detik ini. Aku bahkan lupa bahwa ada banyak racun yang telah aku teguk dari kasih sayang palsu yang mengatasnamakan rindu. Aku lupa, bahwa mereka tengah berpura-pura, dan aku masih saja menikmatinya. Aku bahagia, padahal mereka bersandiwara.

   

No comments:

Post a Comment