Ada rindu di balik sepatu. Kisah yang mengendap diam-diam di balik solnya. Drama yang terlupa diantara tali-talinya yang kian berujar tentang lara. Merahnya menghitam, tak pudar terkena sinar. Merah yang lugu, malu-malu dan memucat seperti tahun-tahun dimana bunga pertama kali bermekaran. Hei, dimanakah kau menyimpannya?
Sudah tujuh tahun rupanya, sejak sajak aku nyanyikan di balik semak-semak. Sejak senja dan malam menjadi judul-judul yang aku gambarkan pada lukisan. Sudah tujuh tahun, namun aku mengira tujuh jam, aku menduga tujuh menit dan aku merasa tujuh detik. Seperti itulah derit langkahnya berjalan diantara teras harapan. Seperti itulah siluet sepatunya aku pahat dalam ukiran-ukiran hujan.
Sepatu merah dan senyuman memukau di balik lambaian pertemuan. Aku masih mengingatnya. Kupu-kupu dan pelangi menamainya mimpi. Ombak dan pasir menjulukinya abadi. Hilang, memang telah lama berakhir pada bait yang berjudul “pergi”, tapi merahnya tetap mengendap pada debaran yang mereka sebut sebagai hati.
Empat tahun yang lalu angin menjumpainya tanpa permisi. Memudarkan merahnya tanpa empati dan mencurinya dengan sangat hati-hati. Dia merebutnya, sepatu merah yang aku semir setiap pagi. Dia mengambilnya, sepatu merah yang aku pajang dalam etalase ketulusan. Dia mengoyak bunga-bunga yang baru saja bermekaran.
Aku membenci sepatu merahku. Aku murka dengan pencuri sepatu merah itu. Aku terluka oleh keduanya. Aku merangkak tertatih-tatih di jalanan tanpa alas kaki. Aku berlari di bawah hujan dengan perut kelaparan. Aku tertidur di atas perapian yang menghanguskan dan memusnahkan harapan. Aku menatap langit dengan bintang-bintang yang kemudian mentertawakan. Itulah saat terburuk dimana aku mengakhiri perjumpaan dengan sepatu merah yang dulu aku kenakan setiap waktu.
Kini, aku merindukannya. Sepatu merah yang kerap aku tuliskan setiap saat. Sepatu merah yang seringkali bertengger di ujung pena dengan nama “Jingga”. Aku ingin sekali melihatnya sekali lagi. Aku ingin menatapnya diantara sepatu-sepatu lain yang aku pajang kali ini. Aku ingin dia melihatnya. Toko sepatu dengan sesaknya akan luka. Sepatu-sepatu lama yang seringkali menyembunyikan lara. Aku ingin dia melihatnya. Perjalanan dari langkah kaki yang pernah dengan sangat dalam patah hati. Aku ingin dia tahu, ada rindu yang tak pernah seiring dengan waktu.
Apa kabar kau di sana? Aku harap kau baik-baik saja, seperti sol sepatu merah yang tak pernah kalah oleh resah. Seperti panas yang tak pernah bisa memudarkan warnanya yang cerah. Seperti aku dan tumpukan rinduku yang lelah pada sepatu merah. 19-06-2012.
No comments:
Post a Comment