Tak pernah sedini ini aku merelakan diri pada senja. Membiarkannya duduk pada kelopak yang mereka namai pagi. Baru saja aku menamakannya rekah, ketika purnama membelah langit dan memperlihatkan kegaduhannya.
Aku bersumpah atas nama malam, pada rasa sakit yang tumbuh pada akar mawar yang aku sirami setiap hari. Mereka adalah duri. Adalah sekam yang kerap hadir pada rintih nyanyian tanpa arti.
Ajari aku berkisah tanpa harus mengeja apa itu tragedi. Ajari aku memahami bait-bait dalam puisi tanpa harus menjadi sepi. Aku adalah prosa pada jarak yang kerap mereka tunggangi. Aku adalah cadangan pada kisah yang mereka namai sejati. Akulah ilalang yang hadir ketika sunyi menjemput airmatanya dini hari.
Kenapa? Kenapa aku hanya menjadi peran pengganti pada drama yang aku tuliskan kisahnya sendiri? Kenapa skenario itu terlalu rumit untuk aku pahami dengan hati? Kenapa aku harus meminang “kehilangan” ketika semuanya mampu aku rengkuh dengan penuh perjuangan?
Kini, bukan kau yang telah berlari mengakhiri, tapi aku yang dengan sukarela berbalik arah dan meninggalkanmu di sana. Kau adalah pemain sandiwara terhebat yang pernah aku lihat di atas pentas. Kau berjalan dengannya, lalu bergandengan tangan denganku. Semudah itu kau merengkuh dua hati di atas ikatan kebohongan.
Aku berpamitan lebih awal untuk memulihkan rasa yang terhipnotis ular berbisa yang bersembunyi di balik kerang mutiara. Aku menanggalkan buncahan-buncahan dan aku lepas waktu yang kau namakan kesempatan untuk kembali merangkak pada apa yang mereka sebut perubahan. Aku ingin mengakhiri kebahagiaanku sendiri dengan apa yang tak bisa kau lihat diantara warna pelangi.
Kau telah menjatuhkan harapan pada dia yang lebih dahulu menyiramimu dengan madu. Madu yang kemudian meracuni langkahmu untuk bisa terbang menggapai api di atas sandaran airmata yang kemudian menjatuhkanmu. Apa yang kau bisa pahami kali ini? Apa yang kau dapatkan darinya yang menyempitkan langkah dan merobek-robek namamu di atas kertas kepolosan? Apa kau bahagia sekarang?
Langit tengah menamai dirinya senja dan bumi lantas berkidung dengan nyanyian yang penuh dengan duka. Di mataku ada sejumput rindu pada harmoni yang tak bisa aku miliki. Pada hati yang tak semudah raga yang kerap aku sentuh dan rasakan hangat, serta debarannya. Kau tak pernah benar-benar aku miliki, karena semua hanyalah sandiwara. Kau pemain terhebat, namun kau kalah dari naluriku yang kemudian membuka topengmu dengan cepat, dengan tangan-tangan-Nya yang merasa iba denganku yang tengah menjadi budak nafsu dan tokoh cadangan dalam sandiwara kebohongan.
Selamat tinggal kenangan. Selamat tinggal candu yang selalu hadir tepat waktu. Diamku adalah lambaian perpisahan. Sunyiku adalah rintihan lara yang aku bendung sekian lama. Dan sendiri selalu menjadi akhir dari puisi yang mereka buang di atas lautan ketidakpedulian.
Selamat jalan, sampai jumpa pada ukiran batu nisan yang kelak menandaiku dengan lebih bijak. Nisan tempat senja bersuka cita, sebab tak ada sejoli yang mampu menautkan rasa pada liang lahat yang mereka takuti setiap saat.
Aku pamit.. seperti kemarin. Seperti ketika setiap pasang mata memenjarakanku pada jeruji pembodohan, pengasingan dan penghakiman.
Kau harus melihat lebih dekat kedalaman mataku kini. Ada kelelahan yang teramat sangat bersemayam di sana. Lelah dan sepi yang mengiris-iris peluhku dalam waktu.
Aku telah menyia-nyiakan waktu. Dan waktu kini mentertawakanku, ketika dengan mata berkaca-kaca aku menghitung setiap nama yang telah berjalan bergandengan. Mereka berjalan dengan nama-nama yang orang sebut sebagai “tujuan”, bukan denganku yang mereka katakan “persinggahan”, “kesalahan”, “kesedihan”.
Selesai. Aku tak ingin lagi menuliskan mimpi, atau bahkan angan-angan kosong tentang harapan untuk bisa “memiliki”.
No comments:
Post a Comment