Saturday, September 7, 2019

My Model



    Halo September, maafkan akhir-akhir ini aku jarang sekali menulis karena kesibukan yang semakin menjadi-jadi. Kali ini aku akan menceritakan sedikit tentang model baruku yang seringkali menuai pujian dari teman-temanku.
   
    Masih tentang dia, ya dia yang tidak lain adalah anak angkatku. Namanya Dea, memiliki anak angkat seperti dia seperti memberikan berkah tersendiri bagiku, bagaimana tidak, Dea memiliki paras yang cantik dengan kulit putih, sehingga ketika dijadikan model olehku, dia tampak begitu menawan. Awal-awal pemotretan, aku melakukan seadanya ditoko, namun hasilnya luar biasa, karena beberapa produk yang dipakai oleh Dea tiba-tiba laris terjual.

    Hingga kemudian kita berencana melakukan pemotretan di Kiara Payung, pada akhir Agustus, dia terlihat begitu antusias. 
Hari itu tanpa disengaja kita memakai baju berwarna navy dengan jeans biru, nyaris seperti janjian, padahal kita tidak janjian memakai baju dengan warna yang sama. Dia terlihat lebih feminim memakai atasan dengan bahu yang terbuka. 
Awalnya kita belum menemukan spot yang cocok untuk pemotretan, sehingga kita memilih untuk beristirahat sejenak di Masjid. Selesai shalat, aku menyuruh dia menutup mata dan berencana memakaikan dia eye liner.

    “Udah sama aku aja..”

Mulanya dia ingin memakai eye liner itu sendiri, namun aku bersikeras untuk melakukannya dengan tanganku sendiri.

    “Udah diem, tutup matanya biar sama aku aja.”

Dia kemudian menurut saja dan menutup matanya. Aku lalu memakaikan eyeliner itu dengan sangat tidak rapi, sehingga ketika dia membuka mata dan melihat ke depan cermin, kita tertawa bersama.

    Waduuuuuh… “

Dia kemudian membetulkannya dan terlihat sangat rapi.

    “Wah, bagus tu rapi.. kamu bisa juga ternyata.”

Pujiku yang melihat dia ternyata bisa dandan.

    “Aku emang bisa dandan, soalnya kan aku penari jadi aku suka dandan sendiri.”
   
Mendengar ucapannya, aku jadi malu sendiri, tapi aku pikir ya sudahlah dan memang lebih bagus kalau dia bisa dandan, sehingga ketika melakukan pemotretan, aku tidak perlu membayar temanku yang biasa merias untuk mendandani dia.

    Setelah dari Masjid, kita kemudian menemukan spot yang bagus untuk pemotretan, yaitu dipojokan yang sepi, terdapat banyak daun kering yang berguguran dan diujungnya ada arena bekas outbond yang sudah terbengkalai dan tidak terpakai.
Dia tampak sangat bahagia melakukan pemotretan kali ini, begitupun denganku. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga, kita kemudian berencana pulang, namun sebelumnya aku mengajak dia untuk makan di luar. 
   
    Karena hari itu adalah weekend, jadilah semua cafe penuh bukan main, termasuk Ngopdul yang biasanya tidak seramai sekarang. Aku memang kurang suka tempai ramai dan terlalu berisik, sehingga setelah muter-muter, kemudian kita makan di Sop Djanda tanpa ada lagi pilihan karena hari sudah semakin sore.

    Ketika kita baru saja selesai makan, dia kemudian terlihat sangat panik.
    “Waduh, gelang aku mana???”

Gelangnya hilang dan kita tidak menemukannya dimana-mana. Memang itu bukanlah gelang emas, tapi perak dan sebetulnya kita bisa membelinya lagi karena harganya tidak mahal, namun menurut dia, model seperti itu sudah tidak ada lagi. 

    “Kita cari yuk di Kiara Payung, kayanya jatuh di sana waktu kamu nabur-naburin daun ke kepala..”

Mendengar aku mengajak dia kembali ke Kiara Payung, dia terlihat semangat walaupun sedikit ragu-ragu.

    “Seriusan mau balik lagi ke sana? Tapi, bakal ketemu ga ya?”

Aku meyakinkan dia kalau gelang itu pasti ketemu.

    Insyaallah ketemu, yang penting kita ikhtiar dulu.

Jam lima sore kemudian kalung itu ketemu juga di bawah pohon yang tadi dia naiki ketika pemotretan. Dia girang dan aku ikut bahagia melihatnya. Kita kemudian mengambil beberapa foto sebelum pulang menjelang magrib.

    Dan betul kata orang bahwa sore menjelang magrib itu, jin dan sebangsanya baru ke luar dan berkeliaran. Ini terbukti ketika Dea tiba-tiba menjerit seperti sedang dipeluk oleh makhluk halus. 
Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika malam hari, Dea melihat penampakan dari dua foto yang kita ambil di Kiara Payung. Aku merinding melihatnya dan tidak ingin melakukan pemotretan lagi di sana.

    Setelah dari Kiara Payung, aku ingin menceritakan kisah lainnya ketika Dea juga ikut berangkat ke Subang, tapi sepertinya nanti saja aku menceritakannya.
Intinya adalah Dea memang seorang gadis cantik dan banyak disukai oleh orang-orang, dia memang cocok menjadi model, tapi lebih dari itu, dia hanyalah seorang bocah yang usianya terpaut beda 15 tahun denganku. Ya, dia masih terbilang anak kemarin sore. Dan ternyata aku lebih nyaman berada disekitar orang-orang yang lebih dewasa dariku dibandingkan dengan anak-anak. Well, maksudnya bukan aku tidak nyaman berada di dekatnya, tapi mungkin untuk hal yang lebih pribadi, entah untuk sharing, sahabat atau apapun itu, aku lebih senang dengan orang-orang yang lebih dewasa atau dengan mereka yang sudah berpikir dewasa, bukan dengan bocah yang masih alay, dengan bahasa-bahasa ABG nya, dengan keranjingan Tik Tok nya atau dengan cinta monyetnya yang terlihat sangat lebay
Tapi, lepas dari sisi ABG nya, aku masih bersyukur dengan kehadiran dia dan ibunya. Mereka adalah cerita baru yang melengkapi kehidupanku pada usia 30, usia yang sudah sangat matang dikatakan sebagai orang dewasa. Ya, dewasa, menua dan aku tidak bisa memutar ulang semuanya ke masa muda.




































No comments:

Post a Comment