Sunday, September 22, 2019

Untuk Biru


    Ketika malam bertanya kepada langit, “Siapakah yang paling tulus?”
Langit hanya bisa menjawab, “Biru!
Masih sama dan tak pernah ada yang berubah. Bukankah langit tengah memandangi dirinya yang kini berwarna hitam? Bukankah langit tengah bersenandung ditepian pantai yang saat ini juga berwarna gelap? Hanya ada gulungan ombak yang kadang-kadang terlihat putih. Tak pernah ada lagi warna biru yang bisa dilihat tatkala malam gelap gulita. 

    Langit butuh cahaya untuk bisa melihat dimana “biru-biru” yang lainnya berada. Langit perlu warna dan bukan hanya sekedar hitam untuk mengetahui mana kerang dan mana mutiara. Langit tengah berduka dan dimatanya semua tak lagi seirama. Biru, hilangkah sudah kehangatan itu?

    Mendalami kembali duka di atas petala yang tak lagi sama, Biru.. hatiku kisruh tak terelakan. Ku kira hijau adalah jembatan untuk menuai kebahagiaan. Ku kira hijau adalah teduh diantara gersangnya hati yang termaktub sepi. Ku kira hijau adalah pereda dari segala pilunya lara. Tapi, hijau hanyalah hijau. Seperti Jingga, ibarat dilema, hijau tak lain adalah cerminan dari mereka yang tengah berpura-pura. Aku mendapatkannya, raga yang tanpa isi. Sentuhan tanpa jiwa, dan pelukan yang serupa topeng di balik sandiwaranya yang sempurna.

    Biru, aku menggilainya. Dia yang mampu membuat setiap pasang mata terpana menatapnya. Dia adalah gemintang yang terdampar diantara kelamnya langit hitam. Dia adalah purnama yang aku lukiskan diantara perjumpaan duka dan bahagia. Dia adalah permata. Tapi Biru, dia hanya sebatas itu. Dia hanya sebatas apa yang aku lihat oleh mata dan aku tak mampu mendalami hati. Dia telah menjatuhkan raga, namun tidak dengan jiwa. Dia serupa not-not lagu yang tak bisa dibaca dan dimengerti. Dia adalah sajak yang serupa onak. Aku memeluknya seperti manusia tak bernyawa. Dia serupa manusia dalam keranda yang memelukmu di atas batu nisan. Dia hidup, tapi tidak menjatuhkan hatinya.

    Biru, jika kelak kau berkelana dengan dia yang kau sebut “sejati”, jangan kau seperti hijau kali ini. Hijau yang mampu dijelajahi, digenapi, dipeluk hingga kau mengira dia benar-benar “rela”, padahal jauh tersirat di matanya, dia mengatakan bahwa hati tak pernah benar-benar dimiliki. Biru, itu lebih menyakitkan dibandingkan ketika kau ditampar oleh penolakan. Kepura-puraan hanya akan menyisakan luka yang menganga.

    Biru, lihat cincin itu. Ada nama yang aku ukir jauh sebelum kau melangkah menghapus warna langit. Ada harapan yang tak pernah mampu aku utarakan kepada setiap pasang mata yang kau sebut keluarga. Dan kini kau akan berjalan bersama dia yang mungkin baru saja menyapamu tadi pagi, kemarin sore, atau tadi malam. Aku hanya bisa tersenyum dari jauh, merelakan biru yang tak akan lagi sehangat dulu.
Aku menamaimu rindu..
Biru.. selamat menempuh hidup baru!

No comments:

Post a Comment