Wednesday, March 8, 2017

TEDUH




Seperti petir pada senja yang begitu teduh..
Api seakan melahap diamku yang mematung di depan mata itu..
Kau menyebutnya..
Angin buritan yang meruntuhkan gubuk tuaku di pesisir tanpa pepohonan..
Lalu mataku bicara lebih dari sekedar kata-kata..
Kecewa!

Malam lantas kian merancu..
Dan aku terbaring ibarat jasad yang meronta pada sepinya suara-suara..
Dinding-dinding yang mendingin,
Selimut yang beku,
Dan sprai yang digenangi rintik-rintik airmata..
Basah…

Ada banyak nama dikepalanya..
Dan dia ibarat primadona di atas kereta kencana!
Semua jatuh cinta..
Dan aku lalu tersihir tiba-tiba..
Lantas mengantri pada lorong-lorong gelap tanpa cahaya
Memujanya di balik jeruji-jeruji yang tak pernah bisa aku buka..

Mereka lalu berlarian, menyambutnya..
Dan dia melihat satu-persatu mata itu..
Memeluk mereka yang berdiri berhadapan tanpa penghalang..
Namun tidak denganku!

Kadangkala batas adalah pembunuh paling ampuh..
Dan aku terlempar sebelum dapat bertarung di sana..
Terkucil sendiri ibarat binatang buruan yang hendak dibakar hidup-hidup
Dia…
Seringkali aku sebut ia teduh..
Teduh pada badai mataku yang tak henti memberontak..
Teduh pada dermaga setiap pasang mata yang pernah melihatnya..

Dia teduh..
Tapi berbisa ibarat ular-ular gurun,
Beracun..