Seperti petir pada senja yang begitu
teduh..
Api seakan melahap diamku yang mematung
di depan mata itu..
Kau menyebutnya..
Angin buritan yang meruntuhkan gubuk
tuaku di pesisir tanpa pepohonan..
Lalu mataku bicara lebih dari sekedar
kata-kata..
Kecewa!
Malam lantas kian merancu..
Dan aku terbaring ibarat jasad yang
meronta pada sepinya suara-suara..
Dinding-dinding yang mendingin,
Selimut yang beku,
Dan sprai yang digenangi rintik-rintik
airmata..
Basah…
Ada banyak nama dikepalanya..
Dan dia ibarat primadona di atas kereta
kencana!
Semua jatuh cinta..
Dan aku lalu tersihir tiba-tiba..
Lantas mengantri pada lorong-lorong
gelap tanpa cahaya
Memujanya di balik jeruji-jeruji yang
tak pernah bisa aku buka..
Mereka lalu berlarian, menyambutnya..
Dan dia melihat satu-persatu mata itu..
Memeluk mereka yang berdiri berhadapan
tanpa penghalang..
Namun tidak denganku!
Kadangkala batas adalah pembunuh paling
ampuh..
Dan aku terlempar sebelum dapat
bertarung di sana..
Terkucil sendiri ibarat binatang buruan
yang hendak dibakar hidup-hidup
Dia…
Seringkali aku sebut ia teduh..
Teduh pada badai mataku yang tak henti
memberontak..
Teduh pada dermaga setiap pasang mata
yang pernah melihatnya..
Dia teduh..
Tapi berbisa ibarat ular-ular gurun,
Beracun..