Mama, mengapa aku berbeda?Mengapa aku tidak sama seperti Ani? Mengapa Aku tidak bisa seperti Budi?Mengapa aku begini?
Mama, aku ingin memetik sekuntum mawar dipagi hari, seperti Budi.
Bolehkah, ma?
Mama, kenapa kau diam saja?Kenapa kau hanya menangis?
Ma, malam ini langit begitu kelabu. Bukan karena sang rembulan enggan untuk muncul, namun karena cahaya tengah mengasingkan diri dari persemayamannya. Bersembunyi diam-diam dari keramaian dan belajar pelan-pelan untuk bisa menjadi matahari.
Kadang-kadang, ditempat persembunyiannya, seseorang bisa belajar mengenal dirinya sendiri. Berjalan santai tanpa ada lagi topeng dan sandiwara yang kerap kali dimainkan agar orang-orang bisa tertawa dengan senang.
Ma, haruskah aku seperti cahaya? Bahagia ditempat gelapku dengan menjadi sesuatu yang lain dimatamu?
Haruskah aku menghentikan detak jantungku sendiri dan memutus aliran darah yang menyatu dalam darahmu, agar supaya kau terlihat bahagia dan tertawa lepas di atas kepura-puraanku sebagai manusia?
Ma, tatap aku! Hapus airmtamu..
Kadang-kadang ada hal yang tidak bisa aku pilih, seperti ketika aku harus memilih pakaian ditoko baju.
Kadang-kadang, ada begitu banyak pertanyaan yang aku ajukan kepada Tuhan, yang tidak pernah kau ketahui..
Kadang-kadang semua terasa menghimpit dada, seperti ketika banyak sekali kupu-kupu berdesakkan, namun sulit untuk dikeluarkan.
Seperti ketika banyak yang ingin diceritakan, namun tak ada satupun yang mau mendengar.
Seperti pagi tadi, ketika Ani menjadi lain dari biasanya, sedang Budi tak mau berkata apa-apa..
Ma, Aku tengah tersesat disebuah perbatasan..
Diantara aku yang hitam dan aku yang putih.
Diantara aku yang sebenarnya dan aku yang hanya berpura-pura.
Kau ingin mengenalku sebagai apa, Ma?
Aku bisa jadi apa saja, siapa saja! Seperti maumu..
Tapi, sampai kapan?
Bukankah selalu ada “klimaks” dalam setiap pertarungan yang sedang berlangsung?
Bukankah selalu ada “akhir” untuk segala sesuatu yang pernah dimulai?
Dan inilah saatnya..
Saat dimana kau harus tau, siapa aku yang sebenarnya..
Ma, terimakasih untuk tidak berpaling, untuk tetap tinggal ketika orang-orang dengan mudahnya berlari pergi.
Meninggalkan.. ketakutan..
Terimakasih untuk “maaf” tanpa batas yang seringkali aku terabas.
Terimakasih untuk pagi yang seringkali kau berikan “nafas” agar aku terbang bebas.
Terimakasih ma, terimakasih untuk cinta yang sering kali kau panjatkan dalam doa.
Kini, aku mengerti tentang apa yang tak bisa aku pahami..
Kini, aku paham tentang apa yang tak bisa aku genggam..
Tentang kasih yang tak selamanya putih bersih..
Tentang dosa yang tak selamanya terasa menyiksa..
Ma, jangan lagi samakan aku dengan Ani!
Jangan samakan pula dengan Budi!
Karena aku bukan Ani ataupun Budi, yang ber rok mini atau berdasi!
Aku adalah siluet yang seringkali mengikuti kemana hati akan pergi..
Bergerak memutar hingga sampai pada satu titik, dimana tidak ada lagi sebuah gerakan.
Maka, di sanalah aku tinggal!
Tak ada nama atau istilah yang bisa menamaiku dengan tepat.
Seperti ketika setiap pasang mata tak bisa menceritakan bagaimana wujud angin.
Atau seperti ketika seorang anak kebingungan ketika harus menggambarkan apa itu “bau”..
Ma, peluk aku sekali lagi!
Jadikan langit bersimpuh ke dalam laut dan lautan bersorak sorai memanjat gunung.
Aku ingin berpesta dalam diriku!
Sembunyikan aku!
Dalam sayap-sayap malaikatmu yang berbulu..
Aku malu!