Mereka berlari seperti singa-singa
lapar. Mengaum tanpa mau mendengar sepatah katapun yang aku ucapkan. Beberapa
pasang mata terlihat berpijar dan hendak membakarku hidup-hidup.
Taring-taringnya yang runcing dan kuku-kuku yang tajam hendak mencengkram,
mencabik-cabik dan mengoyak tulang-belulangku tanpa ampun.
Dan pagi ini terasa begitu panjang,
seperti layaknya seorang terdakwa yang tengah duduk dikursi hijau. Namun yang
berbeda di sini adalah tidak adanya seorang pengacara yang membela ataupun hakim
sebagai penengah, tapi yang ada hanyalah jajaran jaksa-jaksa penuntut yang
merasa tuduhannya benar dan ingin segera memberikan hukuman seberat mungkin.
Aku mengakui kesalahan itu, meskipun
banyak sekali yang menghujam ke dalam dada, seperti tuduhan-tuduhan yang tak
pernah aku lakukan, ataupun pernyataan-pernyataan dariku yang mereka sangkal
habis-habisan.
Dan pagi itu sungguh bersimbah
darah. Aku tak berdaya berada diantara kawanan singa-singa lapar. Aku lalu
pulang dengan sayatan-sayatan penuh luka, sementara mereka tengah bersorak
sorai dalam pesta.
Jalanan kini tak seindah biasanya.
Tak ada tawanya yang biasa meredam kebisingan suara-suara yang tak pernah ingin
aku dengar. Tak ada tangisnya yang biasa aku seka bersama dingin malam yang
datang tiba-tiba. Tak ada candanya yang seringkali mengentikan badai luka.
Aku merangkulnya dalam bahasa diam.
Dalam kata-kata yang hanya serupa isak tangis dalam rindu yang terus terkikis.
Kita terasing diantara mereka yang tak pernah tau apa yang telah kita sulam.
Kenangan-kenangan manis dan cerita-cerita indah yang kita sampaikan pada
langit, semua musnah dalam mulut-mulut singa yang menganga. Dan kau lalu
berjalan bersama mereka, meninggalkanku sendiri dihutan belantara dengan
sisa-sisa duka.
Ada apa? Kenapa semua berjalan
dengan sangat cepat? Waktu seakan tak memberiku kesempatan untuk bersiap-siap
mengucapkan salam perpisahan atau memberiku sedikit jeda untuk merangkai
beberapa tangkai bunga yang baru saja aku petik.
Bahagia
lalu berserakan, seperti istana pasir yang dibangun ditepi pantai lalu dilanda
ombak besar. Hancur, runtuh, dan tak ada puing-puing untuk bisa dikenang
kemudian.
Foto-fotomu kini menggenapi nyeriku.
Seperti lilin yang baru saja dihidupkan di atas peti-peti mati. Aku berduka
kali ini, sekali lagi.