Wednesday, October 18, 2017

17



           
            Mereka berlari seperti singa-singa lapar. Mengaum tanpa mau mendengar sepatah katapun yang aku ucapkan. Beberapa pasang mata terlihat berpijar dan hendak membakarku hidup-hidup. Taring-taringnya yang runcing dan kuku-kuku yang tajam hendak mencengkram, mencabik-cabik dan mengoyak tulang-belulangku tanpa ampun.

            Dan pagi ini terasa begitu panjang, seperti layaknya seorang terdakwa yang tengah duduk dikursi hijau. Namun yang berbeda di sini adalah tidak adanya seorang pengacara yang membela ataupun hakim sebagai penengah, tapi yang ada hanyalah jajaran jaksa-jaksa penuntut yang merasa tuduhannya benar dan ingin segera memberikan hukuman seberat mungkin.

            Aku mengakui kesalahan itu, meskipun banyak sekali yang menghujam ke dalam dada, seperti tuduhan-tuduhan yang tak pernah aku lakukan, ataupun pernyataan-pernyataan dariku yang mereka sangkal habis-habisan.

            Dan pagi itu sungguh bersimbah darah. Aku tak berdaya berada diantara kawanan singa-singa lapar. Aku lalu pulang dengan sayatan-sayatan penuh luka, sementara mereka tengah bersorak sorai dalam pesta.

            Jalanan kini tak seindah biasanya. Tak ada tawanya yang biasa meredam kebisingan suara-suara yang tak pernah ingin aku dengar. Tak ada tangisnya yang biasa aku seka bersama dingin malam yang datang tiba-tiba. Tak ada candanya yang seringkali mengentikan badai luka.

            Aku merangkulnya dalam bahasa diam. Dalam kata-kata yang hanya serupa isak tangis dalam rindu yang terus terkikis. Kita terasing diantara mereka yang tak pernah tau apa yang telah kita sulam. Kenangan-kenangan manis dan cerita-cerita indah yang kita sampaikan pada langit, semua musnah dalam mulut-mulut singa yang menganga. Dan kau lalu berjalan bersama mereka, meninggalkanku sendiri dihutan belantara dengan sisa-sisa duka.

            Ada apa? Kenapa semua berjalan dengan sangat cepat? Waktu seakan tak memberiku kesempatan untuk bersiap-siap mengucapkan salam perpisahan atau memberiku sedikit jeda untuk merangkai beberapa tangkai bunga yang baru saja aku petik.

Bahagia lalu berserakan, seperti istana pasir yang dibangun ditepi pantai lalu dilanda ombak besar. Hancur, runtuh, dan tak ada puing-puing untuk bisa dikenang kemudian.

            Foto-fotomu kini menggenapi nyeriku. Seperti lilin yang baru saja dihidupkan di atas peti-peti mati. Aku berduka kali ini, sekali lagi.