Sunday, December 27, 2015

BATAS (Meditasi Bagian 3)


    Sebuah bola besar tiba-tiba muncul dari dalam laut. Aku menghentikan langkahku saat itu juga dan melihat kejadian itu dengan takjub. Bola besar seperti terbuat dari emas dan ditaburi oleh berlian yang berkerlap kelip, indah sekali. Kemudian pintu bola itu terbuka dan menjulurlah sebuah anak tangga dari dalamnya yang kemudian menghubungkannya dengan tepi pantai. Seseorang kemudian ke luar dari sana dan berjalan menuruni anak tangga. Kulitnya tampak keriput, dengan rambut putih panjang dan sebuah tongkat ditangannya. Bajunya lusuh, namun wajahnya tampak bersinar. Dia kemudian menghampiriku seraya tersenyum penuh kehangatan.
    “Ibu? Apakah ini benar ibuku??”
Aku menanyakannya ragu. Samar, dia tampak seperti wajah ibu, walaupun ibu sebenarnya tidak setua ini. Dia mengangguk pelan, kemudian dia mengeluarkan sesuatu di balik bajunya.
    “Nak, sekarang masuklah ke dalam bola itu, nanti setelah bola itu mendarat di dasar lautan, pintunya akan terbuka, namun kamu jangan khawatir, karena air lautan tidak akan bisa masuk meskipun pintunya terbuka. Setelah itu, keluarlah dan selami lautan. Nanti di perbatasan air tawar dan air asin, ada sebuah lorong yang akan membawa kamu pada sebuah tempat layaknya istana. Tolong, nanti ketika menyelami lautan, kamu ambil sebuah mutiara hitam dan jika sudah sampai ditempat yang ibu katakan seperti istana, kamu ambil sebuah pedang yang ada di sana. Itu saja, dan ingat, selama di istana, kamu harus cepat mengambil pedang itu dan segera kembali ke sini. Jika ada siapapun orang yang kamu kenal di dalam istana itu, kamu harus dengan cepat membunuhnya. Kamu jangan berlama-lama di sana, karena istana tersebut hanyalah fatamorgana. Ibu menunggu kamu di sini. Jadi, kamu jangan lupa pesan ibu!”
Aku terdiam mendengar kata-kata ibu. Bagaimana bisa aku menyelami lautan? Menemukan mutiara hitam, lalu harus tiba di istana itu dan mengambil pedang. Aku pasti bisa mati sebelum sampai ke sana.
    “Untuk apa sebenarnya mutiara dan pedang itu bu? Dan kenapa aku harus membunuh siapapun yang aku lihat di dalam istana? Aku ga akan bisa mengambilnya, aku juga ga bisa membunuh orang. Aku ga bisa berenang, apalagi menyelami lautan seorang diri. Aku akan mati tenggelam sebelum menemukan kedua benda itu!”
Ibu kemudian tersenyum dan menepuk pundakku pelan.
    “Dengar nak, ga ada yang perlu kamu takutkan. Kamu hanya perlu fokus pada tujuan. Kamu ga pernah sendirian, ada Allah yang selalu nemenin. Jadi, kamu harus yakin dan ingat, setelah menemukan pedangnya, kamu langsung pulang. Jangan sampai terbuai oleh keindahan istana itu, karena istana tersebut hanyalah fatamorgana! Sedangkan untuk orang yang harus kamu bunuh, itu adalah setan yang sedang menyamar dalam bentuk manusia.”
Dengan perasaan tegang dan masih belum yakin, aku berjalan memasuki bola itu. Keadaan kemudian menjadi gelap setelah pintu tertutup. Keringat mengalir deras dan perasaan takut kemudian muncul begitu saja. Dzikir kemudian menemani perjalananku kali ini. Aku harap tidak akan terjadi hal yang buruk. Semua terasa hening, namun gerakan bola ini dapat aku rasakan dengan jelas.
Setelah menunggu beberapa lama dengan ketegangan yang begitu besar, pintu akhirnya terbuka. Tak ada cahaya sedikitpun di depan mataku dan jantungku kini berdegup beberapa kali lipat dibandingkan yang aku rasakan tadi. Aku ragu untuk melangkah, namun ini adalah amanat. Akhirnya aku mantapkan niatku, Aku yakinkan diri ini bahwa Dia selalu ada bersamaku dan melindungiku.
    “Bissmillahirrahmanirrahim!”
Aku melangkah dan keluar dari pintu itu. Air lautan kemudian menyentuh tubuhku tanpa permisi. Mataku tak bisa melihat apapun. Aku sangat panik karena susah bernafas dan banyak air yang kemudian masuk ke dalam mulutku. Dadaku terasa sesak, dan pandanganku menjadi kabur. Aku merasa terombang-ambing oleh arus. Ketakutanku sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Lalu semua menjadi benar-benar tidak jelas. Kepalaku terasa pusing disertai perasaan mual yang menjadi-jadi. Tiba-tiba tubuhku rasanya seperti melayang. Lantas aku tak bisa mengingat apapun lagi.
    Aku kemudian tersadar ketika kemudian muncul ke atas permukaan dan mendapati sesuatu berada ditanganku.
    “Kerang mutiara!!”
Aku tersenyum senang. Aku bersyukur akhirnya tugas pertamaku selesai, walau aku tidak tau jenis mutiara yang berada di dalamnya berwana apa. Belum sempat aku mau menyelam lagi, seseorang kemudian menepuk pundakku.
    “Hey Biru!”
Hmm, dia lagi. Mau apa dia, selalu muncul dan menghilang sesukanya.
Gumamku dalam hati. Aku menghiraukannya, lalu berusaha untuk kembali menyelam. Namun, dengan cepat tangannya menghentikannya.
    “Tunggu! Ayo aku temenin ke istana itu. Kita menyelam bareng, biar kamu ga tersesat.”
Aku kemudian teringat pesan ibu untuk membunuh siapapun yang aku lihat. Tapi, ibu bilang, “Siapapun yang aku lihat di istana”, sedangkan orang ini aku lihat di luar istana. Aku kemudian bingung.
    “Kamu harus percaya sama aku, aku ga pernah melukai kamu selama ini. Aku selalu ingin membuat kamu bahagia, meskipun aku harus mengorbankan diri aku sendiri.”
Aku tersenyum kecut mendengarnya, seraya berusaha melepaskan genggaman tangan dia.
    “Aku sadar, terakhir ketemu, aku memang sempet bikin kamu kecewa, tapi aku punya alasan sendiri untuk itu. Jadi, kamu harus percaya sama aku. Lautan ini lebih menyeramkan dibanding yang kamu bayangkan. Nanti ketika menyelam, kamu peluk aja aku dan pejamin mata kamu. Kita akan sampai ke istana itu dengan cepat.”
Aku berpikir sejenak dan setelah melakukan pertimbangan, aku rasa mungkin lebih baik jika ditemani. Selain lebih aman, akan lebih cepat sampai juga ke tempat itu.
    “Ya udah, oke!”
Dia tersenyum. Aku kemudian memeluk punggungnya dan mulai memejamkan mata.
***
    Aku tak bisa merasakan apapun, selain suhu tubuhnya yang hangat. Bahkan dinginnya air lautpun sepertinya tak mampu menyentuh kulitku kali ini. Aneh memang, namun itulah yang terjadi. Mataku terus terpejam. Suara arus lautan terdengar, dengan jelas, seperti auman raja hutan yang tengah mengaum dengan gagahnya. Perjalanan kali ini begitu menyenangkan, karena tidak ada perasaan takut sedikitpun, dan karena ternyata berdua lebih baik daripada sendirian. Hingga sampai pada satu titik, tubuhku seakan hendak terbelah, kepalaku berputar, dan tubuhku seperti terhisap ke dalam sebuah pusaran di dasar lautan. Arusnya saling menghantam satu sama lain, membuat kulitku terasa akan terkelupas karena gerakan itu.
    “Kita sudah sampai, sekarang buka mata kamu!”
Aku kemudian membuka mata dan melihat sebuah istana yang berdiri dengan megah. Dinding-dindingnya terbuat dari batu dan logam mulia yang sangat indah, sehingga membuatnya tampak begitu gemerlap.
    “Wow, indah sekali!!”
Aku begitu takjub melihat istana ini. Gerbang depannya tak kalah memukau karena terbuat dari emas yang dihiasi oleh yakut dan marjan.
    “Kamu masuk sekarang dan aku tunggu di sini. Nanti kalau udah dapat apa yang kamu cari, kamu cepat keluar. Aku janji ga akan ninggalin kamu. Aku akan mengantar kamu sampai nanti sampai di tepi pantai.”
Aku kemudian berjalan mendekati pintu masuk istana itu. Namun, belum sempat aku membukanya, aku kemudian menoleh ke belakang.
    “Kamu yakin ga akan ikut masuk juga?”
Dia kemudian menggeleng seraya tersenyum. Aku kemudian melanjutkan untuk membuka pintu itu, namun, pintu itu kemudian terbuka sendiri. Aku semakin takjub, ketika melihat pemandangan yang berada di dalam istana saat ini. Atap istana ini seperti langit dan awan yang aku lihat di luar sana dan awan-awan ini tampak begitu hidup. Aku seperti berada di bawah naungan langit tanpa atap. Kemudian di sisi kanan dan kiriku, berdiri tiang-tiang penyangga yang berdiri dengan kokohnya. Lantai yang aku pijak juga tidak kalah indah, karena terbuat dari intan dan permata. Aku kemudian teringat tujuan aku memasuki istana ini, lalu dengan cepat, aku mencari-cari pedang yang dimaksud oleh ibuku.
    “Di mana ya pedangnya??”
Aku tertunduk lemas, ketika tak menemukan pedang itu di manapun. Nafasku tersengal-sengal dan keringat mengalir dengan deras.
    “Pedangnya ada di sebelah kananmu, tepat di dekat dinding dan tergeletak di atas lantai.”
Tanpa menghiraukan suara itu, aku kemudian berjalan dan mengambil pedangnya. Lalu tanpa pikir panjang, aku hendak segera ke luar dari istana ini.
    “Tunggu! Tolong aku, aku ga bisa ke luar dari sini sejak lama. Aku terikat di sebuah kayu tak jauh dari posisimu sekarang berdiri. Tolong aku, tebas tali ini dengan pedangmu!”
Aku kemudian berbalik dan hendak menolong orang tersebut, namun aku teringat ucapan ibu sebelum aku pergi.
    Jika ada siapapun orang yang kamu kenal di dalam istana itu, kamu harus dengan cepat membunuhnya.”
Aku kemudian berbalik arah lagi dan hendak ke luar. Aku tau, orang yang memanggilku sebenarnya setan. Maka dari itu, aku tak mempedulikannya lagi.
    “Aku Jingga!!! Apa kamu tega ninggalin aku sendirian di sini?? Apa kamu mau melihat aku mati, padahal kamu punya kesempatan untuk menolongku?? Bukankah kita pernah punya kenangan manis? Bukankah kamu sangat menyayangiku???”
Suara itu kemudian menangis dan aku begitu terharu mendengarnya. Aku masih menyayanginya. Ya, sangat. Tapi, benarkah dia Jingga?? Itu yang membuatku ragu.
    “Apa yang bikin kamu ga percaya kalau aku itu Jingga?? Baiklah, pergi saja. Aku tau kalau kamu itu pengecut dan ga punya pendirian!!!”
Aku geram mendengar kata pengecut, lalu aku putuskan untuk menghampirinya. Dari jauh, ku lihat tubuhnya terikat dengan tali. Kemudian, dengan hati-hati, aku memotong tali itu. Setelah ikatan itu terlepas, dia memelukku erat seraya menangis.
    “Kamu ga apa-apa?? Apa ada yang luka?? Coba sini aku liat!”
Aku melihat beberapa luka memar dan lecet di tubuhnya, tapi dia tidak melepaskan pelukannya.
    “Aku kangen banget sama kamu Jingga!”
Airmata aku kemudian mengalir dengan deras.
    “Kenapa kamu tinggalin aku Jingga?? Kenapa kamu ngebohongin aku?? Apa kamu ga pernah kasian sama aku?? Kenapa?? Kenapa Jingga?? Kenapa kamu ga pernah punya niat untuk bahagiain aku sekali aja?? Kenapaaaa??”
Aku masih sesenggukan dipelukan dia. Pun dia. Kita lalu diam sesaat lamanya. Aku sangat merindukan dia, hingga aku memeluknya begitu erat.
    “Aku butuh mutiara hitam untuk menyembuhkan luka di tubuh, tapi sampai saat ini aku belum dapet mutiaranya.”
Aku merasa heran dengan ucapannya. Mungkinkah mutiara bisa menyembuhkan luka? Entahlah.
    “Mana bisa mutiara dipake buat nyembuhin luka??”
Dia kemudian mengangguk pelan seraya tersenyum.
    “Emang ga bisa, tapi untuk luka satu ini, obatnya cuma mutiara hitam.”
Aku kemudian teringat mutiara hitam yang tadi aku bawa. Aku hendak memberikan mutiara itu, namun aku ragu karena mutiara tersebut adalah pesanan dari ibu dan harus segera diberikan bersama pedang yang ada di istana ini. Lalu, aku ingat akan pesan ibu yang harus segera ke luar dari istana ini.
    “Jingga, ayo cepat kita harus ke luar. Aku harus segera nemuin ibu aku!”
Aku lalu menarik tangannya dan hendak berjalan ke luar.
    “Tunggu!! Apa yang kamu pegang itu?? Bukankah itu mutiara?? Kenapa kamu ga langsung kasih ke aku waktu aku cerita tadi?? Apa kamu udah ga sayang sama aku??”
Dia kemudian menangis tersedu-sedu. Aku merasa bersalah berada dalam posisi seperti ini. Aku lalu menghampiri dia dan mengusap airmatanya.
    “Bukan, bukan begitu. Aku masih sayang sama kamu. Sangat sayang, tapi mutiara ini pesanan ibu dan aku harus cepet-cepet ngasihin mutiara ini.”
Jingga lalu menangis lagi dan tangisannya semakin menyayat hati.
    “Baiklah, kamu tinggalin aja aku di sini. Aku butuh banget mutiara itu. Kalau kamu benar-benar sayang sama aku, kamu bakal ngasihin mutiara itu untuk aku dan kamu tinggal mencari lagi aja untuk ibu kamu nanti di perjalanan pulang.”
Aku berpikir keras dan mencoba mempertimbangkan saran dia.    
    “Tapi, aku belum tentu dapet lagi.”
Ujarku bersikeras. Lalu dia memegang tanganku seraya tersenyum.
    “Kamu pasti bisa dapet lagi, bahkan lebih banyak dari yang kamu kira. Aku yakin itu. Aku percaya sama kamu!”
Tiba-tiba aku merasakan semangat dan perasaan bahagia yang membuncah-buncah di dalam dada setelah mendengar ucapan dia.
    “Baiklah, tapi apakah kamu masih mau jadi pacar aku??”
Dia lalu berpaling.
    “Apakah hati aku dihargain segitu?? Udahlah, ambil aja mutiaranya. Aku ga jadi minta!”
Kata-katanya membuatku terhenyak. Aku tak pernah menghargai hati dia dengan barang, tapi entah dengan yang dia kira.
    “Ya udah, ini kamu ambil aja.”
Aku memberikan mutiara itu, lalu berlalu dari hadapan dia. Aku tidak menunggunya untuk pulang bersama, karena aku tau bahwa dia tidak pernah membutuhkanku. Dia hanya akan datang jika ada keperluan denganku, selebihnya, aku tidak diharapkan untuk datang lagi dalam kehidupannya.
Belum sempat aku keluar, tiba-tiba terdengar suara Jingga tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Dengan penuh rasa penasaran, aku menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati dia tengah berpelukan dengan orang lain yang selama ini aku benci. Bukan hanya itu, mutiara yang aku dapatkn dengan susah payah, diberikan Jingga kepadanya.
    “Apa-apaan ini??”
Darahku terasa mendidih. Aku lalu menghampiri mereka, namun baru satu langkah aku berjalan, tiba-tiba aku ditendang oleh sesuatu yang tak kasat mata hingga aku terpental jauh ke luar istana. Kemudian pintu istana tertutup.
    “Biruuu!!! Kamu kenapa??”
Aku lalu menceritakan semua yang terjadi di dalam kepadanya. Dia sangat menyayangkan karena aku telah memberikan mutiara itu. Dia mengatakan bahwa mutiara tersebut tidak akan pernah aku dapatkan lagi. Aku kaget mendengarnya, kemudian aku menyesali apa yang telah aku lakukan tadi.

***
    “Maaf Biru, aku ga bisa nemenin kamu lagi sampai ke tepi. Aku harus pulang!”
Kata-katanya sungguh mengejutkanku. Dia berpaling, lalu hendak pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuanku.
    “Bukannya kamu udah janji mau nemenin aku sampai aku kembali ke sana? Kenapa tiba-tiba bilang begitu?? Apa kamu ga khawatir sama aku?? Aku takut sendirian! Aku juga ga tau arah!”
Dia lalu menoleh dengan ekspresi wajahnya yang dingin dan kaku, seakan-akan ada sesuatu yang dia sembunyikan.
    “Maaf, tapi aku ga bisa!”
Dia lantas pergi dan meninggalkanku di tempat asing ini seorang diri. Di lautan luas yang katanya lebih ganas daripada hutan belantara. Dia meninggalkanku, benar-benar meninggalkanku.
Air mataku mengalir dengan deras. Bukan, bukan karena aku ketakutan, hanya saja aku tidak menyangka bahwa tidak ada yang benar-benar khawatir terhadap diri kita seperti keluarga sendiri. Keluarga yang kadang sering kita kesampingkan hanya untuk mengutamakan orang lain.
    Sesaat lamanya aku terpaku di sini. Bingung, bimbang, sedih, semuanya campur aduk. Lalu aku begitu sangat merindukan ibu. Ibu yang sedari kecil tidak pernah menelantarkan aku di tempat asing seorang diri. Jangankan menelantarkan, dia selalu mengkhawatirkan aku siang dan malam apabila aku jauh dari dia. Ibu yang selalu terjaga dan selalu berada di sampingku ketika aku sakit dan tidak berdaya.
    “Ibu, aku benar-benar kangen Ibu..”
Air mataku semakin deras mengalir. Aku tak tau lagi harus bagaimana jika sudah begini. Aku butuh ibu, benar-benar membutuhkannya.
    “Bergeraklah atau kamu akan mati pelan-pelan di sini sebagai seorang pengecut! Kenapa baru saat ini kamu merindukan ibumu?? Kenapa disaat mereka meninggalkanmu, kamu baru teringat akan ibumu?? Kenapa?? Bukankah ketika kamu memberikan mutiara itu kepada orang lain, kamu telah menunjukkan bahwa ibumu tidak penting untuk kamu perjuangkan?? Lalu kenapa sekarang kamu menangis dan tidak bisa melakukan tindakan??”
Suara itu seperti sebuah tamparan keras untukku. Aku tertunduk dan kehilangan banyak kata-kata. Aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Aku mengakuinya. Dan ini adalah kali pertama aku menerima apa yang dikatakannya, tanpa sanggahan, tanpa pembelaan.
    “Lihatlah ke sebelah kananmu! Masuk dan cepatlah pulang, temui ibumu!”
Aku menoleh ke sebelah kanan dan betapa terkejutnya ketika melihat bola besar yang pertama kali mengantarkanku kini sudah berada di sini. Hatiku girang bukan main, lalu dengan cepat aku memasukinya dan berharap akan segera sampai dengan cepat untuk bisa menemui ibu.
***

    “Ibuuuu!!!”
Aku memeluk Ibu seraya menangis sejadi-jadinya.
    “Kamu ga apa-apa nak?? Ibu sangat khawatir sekali. Ibu jadi merasa bersalah menyuruh kamu ke sana sendirian!”
Aku menyeka air mataku dan tertunduk merasa bersalah karena tidak bisa membawa mutiara yang dia perintahkan.
    “Aku ga apa-apa bu, tapi mutiara itu..”
Lidahku kelu dan tidak sanggup untuk melanjutkannya. Aku takut membuat ibu kecewa.
    “Ga apa-apa nak, yang penting buat ibu adalah keselamatan kamu. Melihat kamu sekarang pulang dengan selamat, ibu sangat bersyukur.”
Aku memeluk ibu dengan erat dan menangis sejadinya. Kata-katanya seakan menyadarkanku bahwa tidak ada kasih yang paling tulus dibandingkan dengan kasih sayang seorang ibu. Bahwa tidak ada yang lebih menyayangi kita selain dia, meski tanpa diberi imbalan, hadiah-hadiah indah, atau apapun yang dapat dihitung dengan materi.
Maka, jika ada yang bertanya:
“Siapakah cinta sejati itu?”
“Ibu..”

Tuesday, December 1, 2015

BATAS (Meditasi Bagian 2)

  


  Elang!!”
Betapa terkejutnya aku saat membuka mata dan melihat seseorang yang telah lama pergi dari hidupku tiba-tiba ada di sampingku. Belum cukup aku terkejut melihatnya, aku harus dikagetkan juga oleh keadaan di sekelilingku yang kini telah berubah. Sekarang aku berada dalam sebuah perahu di tengah-tengah sebuah danau. Suasananya begitu hening. Aku begitu menyukainya. Danau adalah tempat yang paling aku cari ketika hati begitu gelisah dan tak tentu arah. Lalu mataku kembali menatap padanya yang sekarang duduk di sebelahku. Dia begitu pucat, wajahnya terlihat sedih dan pandangannya masih tertuju pada danau yang ada di depan matanya.
    “Elang, kamu pucat sekali! Aku bener-bener ga percaya bisa melihat kamu lagi. Aku kangen sama kamu. Tiga tahun lalu bagai mimpi buruk buatku. Apa kamu tau? Setelah kamu pergi, aku nulis nama kamu dimanapun. Aku pesan makam yang sama di sebelahmu. Aku menamai apapun yang aku berikan dengan mengatas namakan kamu. Apa kamu tau? Waktu itu aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Aku ga tau lagi bagaimana cara menghubungi kamu. Aku ga tau bagaimana caranya menumpahkan rasa rinduku itu. Elang, aku benar-benar sedih.”
Tak terasa pipiku kini sudah berlinang airmata. Kerinduan yang selama ini aku bendung akhirnya tumpah ruah. Betapa tidak, tiga tahun yang lalu aku jatuh cinta pada sosok yang telah tiada. Merindukan dia, hingga aku lupa untuk memikirkan apapun selain kerinduan itu sendiri. Saat itu, aku begitu pesimis karena tidak tau bagaimana caranya agar bisa terhubung dengan dia. Namun, kini dia bisa terlihat begitu nyata di depan mataku sendiri. Betapa bahagianya aku, namun dia masih bisu. Tak ada tanda-tanda apapun bahwa dia akan berbicara dan menoleh kepadaku.
    “Elang, kenapa kamu cuma diam? Apa kamu ga ingin menanggapi apapun yang aku katakan tadi? Oya, bukankah dua surat yang aku temukan beberapa saat yang lalu itu darimu? Bukankah kamu selalu mengamatiku? Tapi, kenapa sekarang kamu diam saja?”
Belum sempat aku menunggu dia bicara, tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, lalu hujan turun dengan deras. Petir tampak menyambar-nyambar ke arahku. Dengan panik, aku peluk kedua lututku dan aku tundukkan pandanganku. Cuaca semakin buruk, sedangkan aku tidak tau harus berteduh di mana. Perahu tanpa dayung ini sekarang terasa terombang-ambing di tengah danau. Aku lalu menoleh ke arah Elang. Dia masih diam dan tidak bergerak sama sekali. Seharusnya ekspresinya tidak begitu ketika menghadapi cuaca yang tiba-tiba berubah, namun dia tampak mematung dan mengabaikan keberadaanku yang sedari tadi berbicara dengannya.
    “Aneh sekali!”
Gumamku dalam hati. Pandanganku kemudian lurus ke depan. Aku berusaha mencerna semua yang sedang terjadi padaku.
    “Apa aku sudah mati? Rasanya semua yang aku alami begitu tidak masuk akal. Dimana aku sekarang ini? Rasanya ingin cepat-cepat pulang.”
Aku bertanya pada diriku sendiri, lalu tertegun cukup lama di bawah naungan langit mendung dan guyuran air hujan. Kemudian aku mencoba menoleh lagi ke arah Elang, berharap dia mau berbicara kepadaku. Namun, betapa terkejutnya aku, ketika baru saja menoleh, Elang tiba-tiba melompat ke arah danau dan tenggelam di sana.
    “Elaaaaang!!!!”
Aku berdiri dengan rasa panik, lalu melihat-lihat ke sekelilingku, berharap ada orang di sana.
    “Tolong!!! Apa ada orang di sini?? Temanku baru saja tenggelam. Tolong!!!”
Aku berteriak sekeras-kerasnya dan berharap ada yang bisa menolong Elang. Namun, tak ada siapapun di sini. Aku kemudian tertunduk lemas. Aku menangis sejadinya. Baru saja aku bisa melihat orang yang selama ini aku harapkan kedatangannya, namun dengan seketika menghilang begitu saja, rasanya sangat tidak adil.
Dari kejauhan, aku melihat seseorang tengah berjalan ke arahku. Dia tampak begitu samar, dengan sebuah payung di tangannya, dia masih berjalan. Wajahnya belum terlihat dengan jelas. Dia berjalan terus ke arahku, hingga perlahan aku bisa melihat senyumannya yang begitu manis. Dia semakin mendekat, namun yang membuatku heran adalah ketika dia berjalan di atas danau. Dia seperti melayang, kakinya tidak basah sama sekali dan dia tidak tenggelam. Dia sekarang berdiri di depanku. Beberapa saat lamanya kita diam. Aku tidak ingin tersenyum sedikitpun kepadanya. Aku masih diliputi rasa marah yang menyala-nyala. Aku merindukan dia, tapi aku juga sangat membencinya. Aku mencoba berpaling dari hadapan dia, namun sebuah suara seakan hendak menghentikan itu.
    “Apakah kamu akan melarikan diri lagi?? Bukankah selama ini kamu sangat ingin bertemu dengan dia? Bukankah seharusnya kamu berbicara dengannya?? Bukankah dia adalah Jingga yang selama ini kamu hidupkan dalam hatimu, padahal dia telah membuatmu terluka berkali-kali, bukan begitu? Lantas apa yang membuatmu diam? Pengecut!”
Suara itu lagi. Aku berusaha mencari-cari sumber suara itu, namun tak ada siapapun lagi selain aku dan Jingga.
    “Hey siapapun kamu, aku ga mengharapkan kehadiran orang ini. Aku masih sangat marah dengannya, benar-benar marah dan tidak ingin melihatnya lagi. Apa kamu tau? Kamu cuma bisa berkomentar tanpa melakukan apapun!! Aku sudah muak dengan semuanya!”
Emosiku mulai naik dan aku berusaha berpaling dari hadapan Jingga. Aku masih mengatur nafasku yang naik turun. Darahku terasa mendidih dan sangat ingin menamparnya, namun aku tahan, karena aku yakin, ini semua hanyalah halusinasi. Aku yakin, aku tengah tersesat dalam mimpi dan pikiranku sendiri. Jadi, aku berusaha untuk diam dan tidak ingin masuk terlalu jauh dalam permainan ini.
    “Bicaralah, dan keluarkan semua yang membuatmu emosi. Dia ada di depanmu sekarang, jadi, bicaralah. Ungkapkan semua. Jangan berpikir lagi bahwa semua ini adalah halusinasi atau mimpi. Bicaralah dan utarakan semuanya kepada dia!”
Benarkah ini bukan halusinasi atau mimpi? Gumamku dalam hati, namun aku masih ragu untuk membalikkan badan, melihat Jingga dan berbicara padanya. Aku mulai berpikir dan menimbang-nimbang, hingga akhirnya aku beranikan diri untuk melihat dia. Aku pikir, mungkin ini saatnya marah di depan dia langsung.
    “Jingga…”
Lidahku kemudian kelu, melihat dia yang masih tersenyum di depanku.
    “Apa kamu gila senyum-senyum begitu?”
Tiba-tiba kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, karena aku merasa heran melihat dia yang tidak seperti biasanya. Bahkan setelah mendengar kata-kata aku barusan, dia masih senyum-senyum tidak jelas.
    “Dengar, coba fokus pada apa yang ingin kamu katakan dan jangan mengomentari apapun lagi tentang sikap dia saat ini!”
Sebuah suara tanpa manusia kembali mengkritik dan memerintahku dengan cukup arogan. Seenaknya saja dia, siapa dia? Gerutuku. Tapi, aku mencoba mengikuti perintahnya. Aku berusaha menatap binar matanya dan mulai bicara.
    “Jingga, mulanya aku menganggapmu biasa. Aku pikir, hatiku tidak akan pernah terbuka lagi ketika aku tengah terkungkung dalam kerinduanku terhadap dia yang sudah tiada. Tapi, waktu kemudian mengungkap rahasianya, hingga kemudian diam-diam aku mulai merasakan buncahan bahagia yang akhirnya mengisi hari-hariku. Aku kemudian menggilaimu dan jatuh cinta padamu. Dan seperti yang kamu ketahui, ini pertama kalinya untukku. Bukankah seharusnya kamu merasa istimewa? Rasa yang aku rasakan sebelum ini sangat berbeda sama sekali, maka dari itu dengan yakin, aku mengatakan bahwa kamu cinta pertamaku. Pasang surut hubungan kita, tidak melunturkan perasaanku terhadapmu. Aku masih mempertahankanmu. Hingga pada satu titik, kita berpisah karena kamu begitu merindukan Tuhan, aku lalu melepasmu. Aku begitu percaya padamu. Namun apa? Setelah itu, kamu datang lagi dan memberikan harapan-harapan, hingga buncahan-buncahan bahagia di hatiku mulai mengambil tempatnya kembali. Aku jatuh cinta lagi padamu untuk kesekian kali. Tapi, sebuah badai akhirnya meluluh lantakan kepercayaanku padamu. Kehadiran dia, akhirnya membuatku mengerti bahwa cinta itu omong kosong. Kemarahanku setelah itu cukup tak terkendali dan hingga detik ini, aku menganggapmu sebagai sebuah mimpi buruk. Aku menyesal, sangat menyesal karena telah salah menjatuhkan hati. Bahwa tiga tahun bersamamu hanyalah bingkisan kosong yang diciptakan dengan penuh rasa nyeri dan sakit hati. Jingga, sebaiknya kau pergi dan tak usah kembali. Aku benar-benar benci!”
Dengan rasa marah, aku berpaling dari hadapannya. Tak ada komentar apapun dari dia. Aku kemudian menoleh lagi ke belakang, dan seperti biasa, dia sudah raib dari sana. Hal seperti ini sudah tidak asing lagi untukku. Aku lalu merebahkan badanku di atas perahu dan mencoba menutup mata. Hujan mulai reda dan aku merasa begitu kelelahan. Aku mencoba membuka mata dan menatap langit yang tampak luas di atasku. Tiba-tiba aku melihat arak-arakan awan itu berubah menjadi rangkaian kalimat-kalimat. Aku mengamatinya dengan seksama. Seperti sebuah surat. Menakjubkan sekali, sekumpulan kalimat yang aku lihat di atas langit. Aku berusaha membaca kalimat-kalimat itu, walau sesaat terasa begitu menyulitkan, namun akhirnya aku bisa membacanya.
    Pada hujan yang kedua, kita tidak berhak lagi untuk meracik rasa. Bukankah seharusnya kamu sudah memiliki rasa yang utuh untuk kemudian di tempatkan pada dinding-dinding hatimu yang mulai mendingin karena kekosongan?
Apa maksudnya? Aku berpikir keras mencerna kata-kata yang baru saja aku baca, namun aku masih tidak mengerti. Hingga kemudian awan-awan itu membentuk sebuah pusaran, mataku terbelalak melihatnya, lalu hatiku diliputi perasaan takut, takut kalau-kalau akan terjadi badai. Kemudian ada sesuatu yang muncul dari pusaran itu dan tampak akan jatuh menghantamkku. Dengan cepat aku menutup kedua mata dengan tangan dan bergerak menyamping.
    “BRUUUUK!!!!”
Sesuatu itu jatuh tepat di sampingku, namun aku masih belum berani membuka mata. Sesaat lamanya aku biarkan mata ini terpejam. Keringat terasa mengalir di seluruh tubuh dan jantungku berdekup sangat kencang. Aku tak bisa memperkirakan, benda apakah yang berada di sebelahku. Yang terlintas dalam pikiranku hanyalah bayangan-bayangan negatif yang mengerikan. Aku berusaha menghapus bayangan-bayangan yang aku ciptakan sendiri, namun aku belum berani membuka mata dan menoleh kesamping. Tubuhku tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya perahu tempatku berbaring sekarang terasa datar dan lembut.
    “Pasir pantai?”
Aku terkejut ketika mataku mulai terbuka dan melihat danau dan perahu itu sudah tidak ada. Kini tinggalah aku tengah berbaring di sebuah pantai. Aku masih belum mempunyai nyali untuk mencari tau tentang benda apakah yang tadi jatuh di sampingku, padahal aku hanya tinggal menolehnya, maka rasa penasaranku akan hilang saat itu juga. Tapi, sepertinya lebih baik aku tidak harus tau. Itu mungkin bisa membuatku jauh lebih tenang.
    “Hey!”
Sebuah suara terdengar di belakangku, sontak aku sangat terkejut dan bukannya menoleh, tapi aku berdiri dan dengan cepat berlari.
    “Hey tunggu!! Biruuuu!!!”
Langkahku terhenti ketika mendengar kata “Biru” terlontar dari mulut orang itu. Aku tidak lantas menoleh dia saat itu juga, namun aku kembali mengingat kenangan pahit dan manis aku dengan dia.
    Dia memanggilku Biru. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuknya menungguku tatkala aku masih bersama Jingga. Bukan, sepertinya bukan menunggu, tapi dia hanya ingin menemani hari-hariku agar bisa tetap tersenyum dan menjaga hatiku agar selalu bisa “baik-baik saja”, namun dibalik semua itu, aku tau bahwa hatinya pun tengah berselisih. Bahwa pertemanan saja tidak cukup untuk membuat buncahan-buncahan dalam dadanya reda. Bahwa akhirnya aku pun tau bahwa cinta tak berkutat tentang kerelaan atau tentang sesuatu yang mereka katakan ketulusan, sebab pada akhirnya cinta hanyalah cinta, yang berharap akan rasa dan asa yang sama.
Tapi satu hal, aku tak habis pikir dengan apa yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Dia terlalu sering bercinta dengan pikirannya sendiri. Mencoba bergelut dengan dugaan dan sangkaan yang ia kira selalu benar. Bukankah dia lebih penakut daripada seorang anak kecil yang tengah tersesat dalam kegelapan? Dia bahkan rela mengorbankan seseorang demi keegoisan yang ia bangun dan ciptakan. Padahal sudah jelas, dia sendiri yang menumbuhkan rasa-rasa itu untuk akhirnya mencampakannya. Aku kira, dia lebih pengecut dari seseorang yang sedang berlari dari medan perang. Dia diliputi oleh rasa takut, padahal dialah dalang dari semua ketakutan-ketakutan yang selama ini ia ciptakan sendiri.
    Aku tidak ingin menoleh ke belakang. Masih terlintas dalam pikiranku, ketika akhirnya dia bisa mendapatkan semua yang selama ini dia angan-angankan, namun dia justru berlari. Dia bahkan tidak peduli dengan apapun di sekelilingnya. Yang dia pikirkan hanya dirinya sendiri.
Aku terus berjalan tanpa keraguan, padahal ingin sekali aku melontarkan banyak pertanyaan kepadanya, tapi aku masih sangat terluka dengan kenangan terakhir yang dia ukir.
Airmataku deras mengalir. Aku putuskan untuk terus berjalan dan tidak mempedulikan apapun lagi.
    “Biruuuuu!!!!!”
Dia terus memanggilku, hingga kadang membuat hatiku goyah dan begitu ingin berbalik dan mengeluarkan semua isi hatiku seperti yang aku lakukan terhadap Elang ataupun Jingga. Tapi, rasanya tak ada lagi yang harus aku ungkapkan untuk seorang pengecut seperti dia. Bahkan hatinya terlalu keras dan beku untuk sekedar minta maaf atau memaafkan.
Kali ini aku putuskan untuk berlari, bukan lagi berjalan. Aku tidak ingin diperdayakan lagi oleh mereka yang hanya datang dan pergi sesuka hatinya.
    “Biruuuuu!!! Tunggu!!!”
                ***
    Lantas untuk apa terus menerus memanggilku, sedang kau hanya berdiri dan diam di situ. Kini, aku tidak sedang berjalan, tapi berlari. Seharusnya kau bisa lebih cepat mengejarku dan menghentikan langkahku. Tapi, kau begitu pengecut.
Senyaman itukah berada di sana? Pada lingkaran yang sengaja kau ciptakan sebagai batas agar kau tidak ke luar dari padanya. Kau terus meneriakiku, merindukanku, tapi kau tak ingin ikut berjalan, apalagi berlari. Diam adalah caramu untuk bisa menghentikan badai. Bahwa menyelamatkan dirimu saja sudah cukup membuat hatimu merasa damai.
Debur ombak, desau angin dan bisikan pasir di pesisir sudah cukup membuatku berlari kali ini. Aku tidak ingin menyakiti diriku lagi. Jadi bebaskan aku. Keluarkan aku dari hingar bingar egoismu yang masih berkecamuk. Kejar atau tinggalkan. Jangan memanggilku, sedang kau masih diam di tempatmu. Aku tak akan lagi berbalik, karena aku tengah berlari, bukan berjalan. Jadi, sekali lagi aku katakan, kejar atau tinggalkan! Itu pilihan!

Bersambung

Sunday, November 29, 2015

BATAS (Meditasi Bagian 1)


   

    Aku masih memandangmu, pada dimensi lain yang tidak pernah kamu ketahui. Pada ranting-ranting patah dan daun-daun kering yang jatuh di halaman rumah itu. Pada lembaran-lembaran koran yang tak sengaja kamu pungut beberapa tahun yang lalu.
Aku melihat kebingungan di wajahmu. Sekelumit tanda tanya dan gelombang asa yang setiap hari menghantammu. Tentang hari-harimu yang kemudian berkutat seputar aku. Aku tau, aku melihatmu. Bahkan aku bisa meraba apa yang tiba-tiba kamu rasa dalam dada.
    Hey, kamu bingung? Aku bahkan lebih bingung. Kita memang tak pernah bisa memilih tentang hal yang memang tak bisa kita pilih.
Bukan aku yang menghentikan langkahmu kala itu. Bukan aku pula yang menumbuhkan rasa ingin tahumu dan menggerakan jemarimu agar kamu membuka koran yang tergeletak di pinggir tempat dudukmu.
Aku bahkan tak mengenalimu, tapi kamu seperti tidak asing lagi bagiku. Semua terjadi begitu saja, begitu cepat. Lalu kita seperti sebuah jiwa yang terikat, terhubung satu sama lain.
    Ingin sekali aku berkomunikasi denganmu. Bercakap-cakap pada ruang kasat mata, bertukar pikiran, dan saling mengomentari apa yang telah kita lakukan dalam kehidupan. Namun sepertinya itu mustahil, karena aku hanya bisa mengamatimu dari jauh. Berharap kamu segera beranjak dari kebingungan yang menguburmu hidup-hidup. Gelap tengah menjelma menjadi pelita kepura-puraan. Membuatmu terasing dalam sekelumit pikiran yang kamu ciptakan sendiri.
    Bangun dan beranjaklah dari tempatmu saat ini. Kamu terlalu lama diam dan menghayati apa yang seharusnya sudah berada dalam peti. Waktu tak akan memberikan jeda sedikitpun untuk membuatmu berpikir. Jadi, berkemas dan pergilah. Datangi satu persatu pepohonan rimbun yang dapat membuatmu lebih teduh. Singgahi dan menetaplah pada gua-gua kosong yang dapat membuat pikiran dan hatimu terasa damai. Jangan lagi meratap dan mengasihani dirimu sendiri. Airmata saja tidak cukup untuk menghentikan badai di belahan bumi lainnya. Jangan lemah, cambuk dirimu, dan berlarilah lebih kencang. Seseorang telah menunggumu di sana, di batasan ruang tak terbatas.
    Waktu pada dimensiku terlalu cepat memberitahu bahwa hati dapat dengan mudah berpaling. Bahwa aku mengamati satu persatu manusia yang telah menyentuh ruang rasamu yang gaduh. Bahwa sesaat menggilaiku tak cukup membuatmu benar-benar gila. Bahwa akhirnya ada dia dan dia yang merumah di sana, dalam sajak-sajakmu yang indah.
Ah, tapi itu bukan masalah. Hanya saja aku marah melihatmu yang benar-benar tak bisa terlihat dengan akal sehat. Tak bisa dikenali dengan hati nurani. Bukankah sebenarnya aku yang telah mati terkulai? Tapi kenapa justru kamu yang terlihat seperti bangkai?”

    Sebuah surat jatuh tepat di depan mata. Kata-katanya tajam, bak petir menyambar di petala siang. Semua cukup mengagetkanku. Namun, belum selesai aku baca lagi surat itu, tiba-tiba kepalaku terasa berat. Sekelilingku tampak bergerak tak beraturan. Aku seperti berada pada sebuah tempat yang tak bisa aku kenali sama sekali.
Padang luas terhampar dan jalanan berbukit yang ditumbuhi ilalang. Aku benar-benar tak mengenali tempat ini. Aku berlari. Dadaku berdegup kencang. Semua terasa asing. Tempat ini seakan tak memiliki ujung. Semua berputar. Aku seperti berada dalam pusaran gelombang yang perlahan menghisapku. Aku tak bisa lagi berpikir. Aku terus berlari dan berlari kencang. Nafasku terus memburu. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku berteriak-teriak, tapi tak ada seorangpun di sini. Aku mencari sesuatu untuk bersandar, namun tak ada satupun yang bisa aku jadikan tempat untuk bersandar. Tubuhku kemudian ambruk. Sesaat lamanya aku diam. Dengan nafas tersengal-sengal, aku coba menutup mata. Keringat terus mengalir di seluruh tubuh. Pikiranku kacau.
    “Sudah lama?”
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. Aku menengadah. Wajahnya samar. Nyaris aku tak bisa mengenalinya. Pandangannya lurus ke depan. Dia menyapaku, namun sama sekali tidak menatapku. Aku masih diam, mencoba mengatur nafasku, lalu kembali mengingat tentang siapa orang yang berada di depanku.
    “Maaf, kamu siapa ya?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku kembali berpikir dengan keras. Siapa dia? Aku sulit mengenali wajahnya yang samar, namun, suaranya tidak asing lagi di telingaku.
    Kamu sudah lama sekali tersesat di sini, berputar-putar pada tempat yang sama yang tidak memiliki ujung. Kamu begitu diliputi kebingungan. Aku tidak ingin berbicara lebih banyak lagi. Ikuti saja kemana aku berjalan, nanti ada sebuah tempat yang bisa membuatmu mengerti tentang semuanya.”
Dia lalu berjalan, sementara aku masih diam ditempatku. Aku ragu untuk mengikutinya. Langkahnya kemudian terhenti.
    Keragu-raguan hanya akan mengombang-ambingkan hidupmu. Kamu tidak akan pernah sampai pada tujuan.”
Apa maksudnya? Gumamku dalam hati. Aku lalu mengikutinya.
Jalanan ini semakin lama semakin mengerikan. Semua yang aku pijak tiba-tiba bergerak, seperti ada gempa yang terjadi di sini. Sisi kanan kiriku kemudian menjelma menjadi sebuah pemandangan yang tak biasa. Aku seperti sedang berada  di bioskop terbuka dengan banyak layar yang tak memiliki sekat dan sudut. Semua pemandangan yang aku lihat saat ini tampak seperti tengah berlangsung dan terjadi di depanku sendiri.
Aku mengamati apa yang sedang terjadi di depan mataku. Di sana tampak seorang anak kecil tengah menangis di ujung pintu, seraya menatap seseorang yang sedang pergi di luar sana. Dia memandanginya dengan berlinang airmata. Anak itu kemudian masuk ke kamarnya dan memeluk sebuah boneka, lalu kembali menangis.
Aku ikut terharu menyaksikan anak itu yang tampak begitu sedih, namun tiba-tiba aku teringat sesuatu, aku seperti mengenalinya, benar-benar mengenalinya. Tentu saja, bukankah anak itu adalah diriku sendiri ketika berusia 5 tahun? Ya ampun, kenapa aku sampai tidak bisa mengenali diriku sendiri.
Aku kemudian teringat semuanya, semua yang aku saksikan tadi. Itu adalah moment ketika sepupuku akan pindah ke luar negri, setelah lahir dan dibesarkan bersama denganku di sini. Tidak seperti anak-anak lainnya, ketika akan berpisah, mereka akan memeluk, menunggu hingga mobil itu pergi seraya melambaikan tangan, namun aku memilih berlari, seraya menahan rasa sedih, kemudian mengintipnya dari celah di ujung pintu yang sengaja aku buka sedikit, lalu aku menyaksikan mobil itu semakin lama semakin menjauh, lalu aku kembali menangis.
    “Sudah ingat?”
Sebuah suara kemudian mengagetkan lamunanku.
    “Iya, itu adalah aku semasa kecil!”
Aku kemudian duduk, rasanya aku belum siap untuk berjalan lagi dan menyaksikan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya.
    “Dari kejadian yang kita lihat tadi, aku jadi tau kalau kamu itu pengecut dan selalu melarikan diri! Kamu tidak bisa menerima kenyataan yang ada di depan matamu! Kamu ingin semuanya berjalan sesuai dengan keinginan kamu sendiri, padahal tidak selamanya hidup berjalan seperti yang kita mau. Kita harus selalu siap, bahkan ketika kita tidak memiliki persiapan apapun!”
Aku beranjak dan merasa geram dengan kata-katanya. Mana bisa dia menyimpulkan sesuatu yang tampak sederhana dengan sebuah pernyataan yang begitu kompleks, padahal yang terjadi adalah hal yang sangat wajar yang dialami oleh seorang anak kecil ketika berpisah dengan teman bermainnya.
    “Aku tidak sependapat dengan pernyataan tadi! Mana bisa kamu menyimpulkan bahwa aku seorang pengecut dan selalu melarikan diri, padahal itu hanyalah sebuah kejadian biasa, itupun terjadi dimasa kana-kanak. Kamu terlalu cepat menyimpulkan. Aku tidak terima dengan pernyataanmu!”
Dia menolehku sesaat, lalu pandangannya kembali lurus ke depan. Orang ini tampak datar, tanpa ekspresi dan terkesan dingin. Dia lalu menunjuk sesuatu, tepat pada sebuah pemandangan baru yang ada di sebelah kiriku.
    “Lihat dan jangan berkata-kata lagi, karena masih ada beberapa lagi yang harus kamu saksikan! Jika sudah selesai semua, nanti kamu pun dapat menyimpulkan sendiri!”
Aku kemudian melihat sebuah cuplikan, seperti cuplikan film yang tengah di putar. Kejadian kali terjadi ketika perpisahan saat aku SMP. Tanpa harus melihatnya lagi, semua bayangan itu kemudian terlintas di dalam kepala. Aku masih ingat bahwa saat itu pertama kali aku memiliki pacar, padahal aku menyukai sahabatnya. Diam-diam aku mencari informasi apapun tentang dia melalu pacarku, pun dia, dia juga menanyakan apapun tentangku melalui sahabatnya. Aku membeli apapun yang sama dengan dia, dari mulai pulpen, sepatu, dll. Lalu ketika akan tidur, aku selalu mengkhayalkannya dan aku begitu bahagia dengan hal-hal kecil seperti ini. Hingga tiba pada hari perpisahan, aku mendapati dia terbujur kaku di depanku sendiri. Sebuah motor telah menyeretnya, dan membuat hidupnya harus berakhir saat itu juga. Aku tertegun sesaat, lalu kemudian berlari, menjauh dari keramaian dan mengunci rapat kesedihanku sendiri.
    “Pengecut!”
Aku terhenyak mendengar kata pengecut itu sekali lagi. Aku lantas menatap tajam ke arah suara itu. Hatiku masih campur aduk karena harus mengingat kembali kejadian yang selama ini aku kubur dalam-dalam, namun tiba-tiba aku dikatakan pengecut. Ini benar-benar pernyataan yang tidak tepat.
    “Apa maksudmu? Aku benar-benar sedih saat itu, tapi kamu katakan aku pengecut? Pengecut apanya ya? Aku rasa semua orang yang sangat terpukul juga akan melakukan hal yang sama denganku!”
Dia kemudian tertawa, menatapku sesaat, lalu berpaling.
    “Bukankah hingga detik ini kamu selalu menyela dan membela diri? Pernahkah merenung sesaat dan mencerna semuanya? Kamu pengecut, benar-benar pengecut!”
Aku sudah tidak tahan dengan kata-kata yang dia lontarkan. Aku kemudian berjalan ke arahnya dengan rasa marah, namun tiba-tiba tangannya memberikan isyarat agar aku berhenti.
    “Ada apa? Kenapa menyuruhku berhenti?”
    “Diam! Dan dengarkan suara itu!”
Tiba-tiba aku mendengarkan sebuah suara yang berulang-ulang, dengan rintihan yang sama, sepertinya orang itu berbicara seraya menangis. Terdengar suaranya terputus-putus.
    “Aku ingin mati saja! Aku ingin mati saja! Aku ga siap kehilangan! Aku benar-benar sayang dia!”
    “Aku benci dia! Dia pembohong! Aku benci mereka berdua! Dia pengkhianat! Aku ingin mati rasanya!”
Suara itu! Itu suaraku sendiri. Lalu sekelilingku tiba-tiba berubah menjadi diriku sendiri. Di sana ada yang sedang menangis, ada yang sedang marah, ada yang tertawa, ada yang sedang bertengkar, hingga kemudian semua menghilang dan keadaan menjadi gelap. Aku panik. Aku kemudian mencari-cari orang yang sedari tadi bersamaku.
    “Hey kamu! Siapapun kamu yang tadi nemenin aku, kamu di mana? Aku ga bisa melihat apapun. Aku takut gelap. Kamu dimana???”
Hening. Tak ada suara apapun, bahkan suara desau angin dan langkah kaki pun tak terdengar sama sekali. Aku sendirian di tempat asing dan gelap seperti ini. Aku terus berlari meski tak tau arah. Jantungku berdegup kencang dan nafasku tersengal-sengal tak beraturan. Aku menangis sejadinya. Jika ini mimpi, aku ingin segera terbangun. Aku benar-benar ketakutan.
Dalam keadaan panik yang tidak berkesudahan, aku mencoba berhenti dan duduk dengan tenang. Dengan mata terpejam, aku mencoba mengatur nafas dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Aku belum berani membuka mata, karena takut kalau-kalau semua masih gelap. Aku mencoba berbaur dengan ritme nafas dan detak jantung di tubuhku. Aku hayati setiap udara yang masuk dan keluar. Aku rasakan aliran darah yang tengah dipompa oleh jantung. Aku rasakan setiap tetes keringat yang keluar dari pori-pori kulit. Lalu sebuah ketenangan tercipta begitu saja dalam diriku. Aku begitu menikmatinya dan tidak ingin segera beranjak dari keadaan ini.
Sesaat lamanya aku diam, tiba-tiba terdengar suara kicauan burung dan suara air mengalir. Udara tiba-tiba terasa begitu sejuk. Aku ingin segera membuka mata, namun aku masih ragu. Mungkinkah sekelilingku telah berubah? Ataukah semua masih terasa gelap? Entahlah. Lalu aku beranikan diri untuk membuka mata pelan-pelan, sangat pelan, hingga samar-samar aku melihat semuanya hijau.
    Sebuah pemandangan yang begitu kontras kini aku lihat di depan mata. Pepohonan hijau yang rimbun, arak-arakan awan putih, lalu lalang burung dan kupu-kupu, air terjun dan aliran sungai yang mengalir.
    “Indah, benar-benar indah!”
Aku tersenyum takjub, seraya berputar-putar tak percaya melihat sekelilingku yang kini telah berubah.
    “Indah bukan?”
Suara itu lagi. Aku begitu ingin memarahinya, karena dia menghilang di saat aku benar-benar panik dan ketakutan.
    “Aku tidak pernah menghilang, namun kamu sendiri yang membinasakanku ketika kamu memilih kegelapan. Bukankah kamu sangat ketakutan? Tapi kenapa pada situasi yang lain, saat kamu perlahan meninggalkan sudut gelap itu, kamu justru meratapi dan merindukan kegelapan? Bukankah dirimu begitu yakin ketika berlari dan ingin segera beranjak dari sana? Lantas, apa yang terjadi? Siapa sebenarnya kamu?  Yang mana dirimu? Apa yang kamu mau?”
Kata-katanya seperti membangunkan diriku yang selama ini tertidur cukup lama. Aku tertegun. Aku pejamkan kembali mataku. Aku rasakan dengan seksama semua suara yang terdengar di sekelilingku. Aku merenung cukup lama. Aku berpikir. Aku menangis. Sesaat lamanya pikiran dan hatiku terasa kacau dan berkecamuk.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu jatuh tepat di atas kepalaku. Aku buka mataku, dan aku mengambilnya. Ternyata sebuah surat, tapi surat dari siapa. Aku menoleh ke belakang, namun orang tadi sudah tidak berdiri di sana. Kali ini aku kembali sendirian dengan sebuah surat di tanganku. Perlahan aku membuka surat itu dan membacanya.
   
    Dalam kebingungan yang sama, aku masih mengamatimu dari jauh. Benarkah telah  sejauh ini kamu tersesat? Bahkan untuk mengenali hati nuranimu sendiri, apakah sesulit itu? Bukankah sedari tadi kamu tengah bercengkrama dengan dirimu sendiri? Tapi kenapa kamu masih bertanya-tanya tentangnya, tentang bisikan-bisikan nurani yang selama ini sering kamu abaikan?
    Bahkan dalam mimpi sekalipun, kamu masih bisa mengalami mimpi. Lantas mengapa kamu masih berputa-putar pada tempat yang sama dan bertanya-tanya tentang kebingunganmu sendiri?
    Ada panas dalam api dan ada sejuk dalam air. Bukankah kita tak akan benar-benar tau jika hanya melihatnya? Bukankah kita tidak akan benar-benar mengerti jika tidak merasakannya?
    Kita adalah bagian dari partikel semesta yang tengah mencari tau segala sesuatu yang tidak benar-benar ingin kita ketahui. Namun, dalam proses pencarian itu, kadang kita justru lupa bahwa kita tengah mencari.
    Kenali, coba pahami. Bukan lautan bila tak ada ombak. Bukan kehidupan bila tak ada riak. Tak ada yang selamanya seiring dan sejalan bilamana kita masih terasing dalam gemerlap.
Berjalanlah, jangan berlari, karena jalanan licin tak selamanya memiliki garis tepi. Ada jurang, namun ada juga tebing. Kamu selamanya akan terbuang, jika masih terombang-ambing.

Titik. Lalu kepalaku kembali berputar dan hati kembali menghayati. Kemudian sekelilingku terasa meleleh dan pudar pelan-pelan. Lalu dengan cepat, aku memejamkan mata, kembali mengatur nafas dan berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.

Bersambung