Sebuah bola besar tiba-tiba muncul dari dalam laut. Aku menghentikan langkahku saat itu juga dan melihat kejadian itu dengan takjub. Bola besar seperti terbuat dari emas dan ditaburi oleh berlian yang berkerlap kelip, indah sekali. Kemudian pintu bola itu terbuka dan menjulurlah sebuah anak tangga dari dalamnya yang kemudian menghubungkannya dengan tepi pantai. Seseorang kemudian ke luar dari sana dan berjalan menuruni anak tangga. Kulitnya tampak keriput, dengan rambut putih panjang dan sebuah tongkat ditangannya. Bajunya lusuh, namun wajahnya tampak bersinar. Dia kemudian menghampiriku seraya tersenyum penuh kehangatan.
“Ibu? Apakah ini benar ibuku??”
Aku menanyakannya ragu. Samar, dia tampak seperti wajah ibu, walaupun ibu sebenarnya tidak setua ini. Dia mengangguk pelan, kemudian dia mengeluarkan sesuatu di balik bajunya.
“Nak, sekarang masuklah ke dalam bola itu, nanti setelah bola itu mendarat di dasar lautan, pintunya akan terbuka, namun kamu jangan khawatir, karena air lautan tidak akan bisa masuk meskipun pintunya terbuka. Setelah itu, keluarlah dan selami lautan. Nanti di perbatasan air tawar dan air asin, ada sebuah lorong yang akan membawa kamu pada sebuah tempat layaknya istana. Tolong, nanti ketika menyelami lautan, kamu ambil sebuah mutiara hitam dan jika sudah sampai ditempat yang ibu katakan seperti istana, kamu ambil sebuah pedang yang ada di sana. Itu saja, dan ingat, selama di istana, kamu harus cepat mengambil pedang itu dan segera kembali ke sini. Jika ada siapapun orang yang kamu kenal di dalam istana itu, kamu harus dengan cepat membunuhnya. Kamu jangan berlama-lama di sana, karena istana tersebut hanyalah fatamorgana. Ibu menunggu kamu di sini. Jadi, kamu jangan lupa pesan ibu!”
Aku terdiam mendengar kata-kata ibu. Bagaimana bisa aku menyelami lautan? Menemukan mutiara hitam, lalu harus tiba di istana itu dan mengambil pedang. Aku pasti bisa mati sebelum sampai ke sana.
“Untuk apa sebenarnya mutiara dan pedang itu bu? Dan kenapa aku harus membunuh siapapun yang aku lihat di dalam istana? Aku ga akan bisa mengambilnya, aku juga ga bisa membunuh orang. Aku ga bisa berenang, apalagi menyelami lautan seorang diri. Aku akan mati tenggelam sebelum menemukan kedua benda itu!”
Ibu kemudian tersenyum dan menepuk pundakku pelan.
“Dengar nak, ga ada yang perlu kamu takutkan. Kamu hanya perlu fokus pada tujuan. Kamu ga pernah sendirian, ada Allah yang selalu nemenin. Jadi, kamu harus yakin dan ingat, setelah menemukan pedangnya, kamu langsung pulang. Jangan sampai terbuai oleh keindahan istana itu, karena istana tersebut hanyalah fatamorgana! Sedangkan untuk orang yang harus kamu bunuh, itu adalah setan yang sedang menyamar dalam bentuk manusia.”
Dengan perasaan tegang dan masih belum yakin, aku berjalan memasuki bola itu. Keadaan kemudian menjadi gelap setelah pintu tertutup. Keringat mengalir deras dan perasaan takut kemudian muncul begitu saja. Dzikir kemudian menemani perjalananku kali ini. Aku harap tidak akan terjadi hal yang buruk. Semua terasa hening, namun gerakan bola ini dapat aku rasakan dengan jelas.
Setelah menunggu beberapa lama dengan ketegangan yang begitu besar, pintu akhirnya terbuka. Tak ada cahaya sedikitpun di depan mataku dan jantungku kini berdegup beberapa kali lipat dibandingkan yang aku rasakan tadi. Aku ragu untuk melangkah, namun ini adalah amanat. Akhirnya aku mantapkan niatku, Aku yakinkan diri ini bahwa Dia selalu ada bersamaku dan melindungiku.
“Bissmillahirrahmanirrahim!”
Aku melangkah dan keluar dari pintu itu. Air lautan kemudian menyentuh tubuhku tanpa permisi. Mataku tak bisa melihat apapun. Aku sangat panik karena susah bernafas dan banyak air yang kemudian masuk ke dalam mulutku. Dadaku terasa sesak, dan pandanganku menjadi kabur. Aku merasa terombang-ambing oleh arus. Ketakutanku sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Lalu semua menjadi benar-benar tidak jelas. Kepalaku terasa pusing disertai perasaan mual yang menjadi-jadi. Tiba-tiba tubuhku rasanya seperti melayang. Lantas aku tak bisa mengingat apapun lagi.
Aku kemudian tersadar ketika kemudian muncul ke atas permukaan dan mendapati sesuatu berada ditanganku.
“Kerang mutiara!!”
Aku tersenyum senang. Aku bersyukur akhirnya tugas pertamaku selesai, walau aku tidak tau jenis mutiara yang berada di dalamnya berwana apa. Belum sempat aku mau menyelam lagi, seseorang kemudian menepuk pundakku.
“Hey Biru!”
Hmm, dia lagi. Mau apa dia, selalu muncul dan menghilang sesukanya.
Gumamku dalam hati. Aku menghiraukannya, lalu berusaha untuk kembali menyelam. Namun, dengan cepat tangannya menghentikannya.
“Tunggu! Ayo aku temenin ke istana itu. Kita menyelam bareng, biar kamu ga tersesat.”
Aku kemudian teringat pesan ibu untuk membunuh siapapun yang aku lihat. Tapi, ibu bilang, “Siapapun yang aku lihat di istana”, sedangkan orang ini aku lihat di luar istana. Aku kemudian bingung.
“Kamu harus percaya sama aku, aku ga pernah melukai kamu selama ini. Aku selalu ingin membuat kamu bahagia, meskipun aku harus mengorbankan diri aku sendiri.”
Aku tersenyum kecut mendengarnya, seraya berusaha melepaskan genggaman tangan dia.
“Aku sadar, terakhir ketemu, aku memang sempet bikin kamu kecewa, tapi aku punya alasan sendiri untuk itu. Jadi, kamu harus percaya sama aku. Lautan ini lebih menyeramkan dibanding yang kamu bayangkan. Nanti ketika menyelam, kamu peluk aja aku dan pejamin mata kamu. Kita akan sampai ke istana itu dengan cepat.”
Aku berpikir sejenak dan setelah melakukan pertimbangan, aku rasa mungkin lebih baik jika ditemani. Selain lebih aman, akan lebih cepat sampai juga ke tempat itu.
“Ya udah, oke!”
Dia tersenyum. Aku kemudian memeluk punggungnya dan mulai memejamkan mata.
***
Aku tak bisa merasakan apapun, selain suhu tubuhnya yang hangat. Bahkan dinginnya air lautpun sepertinya tak mampu menyentuh kulitku kali ini. Aneh memang, namun itulah yang terjadi. Mataku terus terpejam. Suara arus lautan terdengar, dengan jelas, seperti auman raja hutan yang tengah mengaum dengan gagahnya. Perjalanan kali ini begitu menyenangkan, karena tidak ada perasaan takut sedikitpun, dan karena ternyata berdua lebih baik daripada sendirian. Hingga sampai pada satu titik, tubuhku seakan hendak terbelah, kepalaku berputar, dan tubuhku seperti terhisap ke dalam sebuah pusaran di dasar lautan. Arusnya saling menghantam satu sama lain, membuat kulitku terasa akan terkelupas karena gerakan itu.
“Kita sudah sampai, sekarang buka mata kamu!”
Aku kemudian membuka mata dan melihat sebuah istana yang berdiri dengan megah. Dinding-dindingnya terbuat dari batu dan logam mulia yang sangat indah, sehingga membuatnya tampak begitu gemerlap.
“Wow, indah sekali!!”
Aku begitu takjub melihat istana ini. Gerbang depannya tak kalah memukau karena terbuat dari emas yang dihiasi oleh yakut dan marjan.
“Kamu masuk sekarang dan aku tunggu di sini. Nanti kalau udah dapat apa yang kamu cari, kamu cepat keluar. Aku janji ga akan ninggalin kamu. Aku akan mengantar kamu sampai nanti sampai di tepi pantai.”
Aku kemudian berjalan mendekati pintu masuk istana itu. Namun, belum sempat aku membukanya, aku kemudian menoleh ke belakang.
“Kamu yakin ga akan ikut masuk juga?”
Dia kemudian menggeleng seraya tersenyum. Aku kemudian melanjutkan untuk membuka pintu itu, namun, pintu itu kemudian terbuka sendiri. Aku semakin takjub, ketika melihat pemandangan yang berada di dalam istana saat ini. Atap istana ini seperti langit dan awan yang aku lihat di luar sana dan awan-awan ini tampak begitu hidup. Aku seperti berada di bawah naungan langit tanpa atap. Kemudian di sisi kanan dan kiriku, berdiri tiang-tiang penyangga yang berdiri dengan kokohnya. Lantai yang aku pijak juga tidak kalah indah, karena terbuat dari intan dan permata. Aku kemudian teringat tujuan aku memasuki istana ini, lalu dengan cepat, aku mencari-cari pedang yang dimaksud oleh ibuku.
“Di mana ya pedangnya??”
Aku tertunduk lemas, ketika tak menemukan pedang itu di manapun. Nafasku tersengal-sengal dan keringat mengalir dengan deras.
“Pedangnya ada di sebelah kananmu, tepat di dekat dinding dan tergeletak di atas lantai.”
Tanpa menghiraukan suara itu, aku kemudian berjalan dan mengambil pedangnya. Lalu tanpa pikir panjang, aku hendak segera ke luar dari istana ini.
“Tunggu! Tolong aku, aku ga bisa ke luar dari sini sejak lama. Aku terikat di sebuah kayu tak jauh dari posisimu sekarang berdiri. Tolong aku, tebas tali ini dengan pedangmu!”
Aku kemudian berbalik dan hendak menolong orang tersebut, namun aku teringat ucapan ibu sebelum aku pergi.
“Jika ada siapapun orang yang kamu kenal di dalam istana itu, kamu harus dengan cepat membunuhnya.”
Aku kemudian berbalik arah lagi dan hendak ke luar. Aku tau, orang yang memanggilku sebenarnya setan. Maka dari itu, aku tak mempedulikannya lagi.
“Aku Jingga!!! Apa kamu tega ninggalin aku sendirian di sini?? Apa kamu mau melihat aku mati, padahal kamu punya kesempatan untuk menolongku?? Bukankah kita pernah punya kenangan manis? Bukankah kamu sangat menyayangiku???”
Suara itu kemudian menangis dan aku begitu terharu mendengarnya. Aku masih menyayanginya. Ya, sangat. Tapi, benarkah dia Jingga?? Itu yang membuatku ragu.
“Apa yang bikin kamu ga percaya kalau aku itu Jingga?? Baiklah, pergi saja. Aku tau kalau kamu itu pengecut dan ga punya pendirian!!!”
Aku geram mendengar kata pengecut, lalu aku putuskan untuk menghampirinya. Dari jauh, ku lihat tubuhnya terikat dengan tali. Kemudian, dengan hati-hati, aku memotong tali itu. Setelah ikatan itu terlepas, dia memelukku erat seraya menangis.
“Kamu ga apa-apa?? Apa ada yang luka?? Coba sini aku liat!”
Aku melihat beberapa luka memar dan lecet di tubuhnya, tapi dia tidak melepaskan pelukannya.
“Aku kangen banget sama kamu Jingga!”
Airmata aku kemudian mengalir dengan deras.
“Kenapa kamu tinggalin aku Jingga?? Kenapa kamu ngebohongin aku?? Apa kamu ga pernah kasian sama aku?? Kenapa?? Kenapa Jingga?? Kenapa kamu ga pernah punya niat untuk bahagiain aku sekali aja?? Kenapaaaa??”
Aku masih sesenggukan dipelukan dia. Pun dia. Kita lalu diam sesaat lamanya. Aku sangat merindukan dia, hingga aku memeluknya begitu erat.
“Aku butuh mutiara hitam untuk menyembuhkan luka di tubuh, tapi sampai saat ini aku belum dapet mutiaranya.”
Aku merasa heran dengan ucapannya. Mungkinkah mutiara bisa menyembuhkan luka? Entahlah.
“Mana bisa mutiara dipake buat nyembuhin luka??”
Dia kemudian mengangguk pelan seraya tersenyum.
“Emang ga bisa, tapi untuk luka satu ini, obatnya cuma mutiara hitam.”
Aku kemudian teringat mutiara hitam yang tadi aku bawa. Aku hendak memberikan mutiara itu, namun aku ragu karena mutiara tersebut adalah pesanan dari ibu dan harus segera diberikan bersama pedang yang ada di istana ini. Lalu, aku ingat akan pesan ibu yang harus segera ke luar dari istana ini.
“Jingga, ayo cepat kita harus ke luar. Aku harus segera nemuin ibu aku!”
Aku lalu menarik tangannya dan hendak berjalan ke luar.
“Tunggu!! Apa yang kamu pegang itu?? Bukankah itu mutiara?? Kenapa kamu ga langsung kasih ke aku waktu aku cerita tadi?? Apa kamu udah ga sayang sama aku??”
Dia kemudian menangis tersedu-sedu. Aku merasa bersalah berada dalam posisi seperti ini. Aku lalu menghampiri dia dan mengusap airmatanya.
“Bukan, bukan begitu. Aku masih sayang sama kamu. Sangat sayang, tapi mutiara ini pesanan ibu dan aku harus cepet-cepet ngasihin mutiara ini.”
Jingga lalu menangis lagi dan tangisannya semakin menyayat hati.
“Baiklah, kamu tinggalin aja aku di sini. Aku butuh banget mutiara itu. Kalau kamu benar-benar sayang sama aku, kamu bakal ngasihin mutiara itu untuk aku dan kamu tinggal mencari lagi aja untuk ibu kamu nanti di perjalanan pulang.”
Aku berpikir keras dan mencoba mempertimbangkan saran dia.
“Tapi, aku belum tentu dapet lagi.”
Ujarku bersikeras. Lalu dia memegang tanganku seraya tersenyum.
“Kamu pasti bisa dapet lagi, bahkan lebih banyak dari yang kamu kira. Aku yakin itu. Aku percaya sama kamu!”
Tiba-tiba aku merasakan semangat dan perasaan bahagia yang membuncah-buncah di dalam dada setelah mendengar ucapan dia.
“Baiklah, tapi apakah kamu masih mau jadi pacar aku??”
Dia lalu berpaling.
“Apakah hati aku dihargain segitu?? Udahlah, ambil aja mutiaranya. Aku ga jadi minta!”
Kata-katanya membuatku terhenyak. Aku tak pernah menghargai hati dia dengan barang, tapi entah dengan yang dia kira.
“Ya udah, ini kamu ambil aja.”
Aku memberikan mutiara itu, lalu berlalu dari hadapan dia. Aku tidak menunggunya untuk pulang bersama, karena aku tau bahwa dia tidak pernah membutuhkanku. Dia hanya akan datang jika ada keperluan denganku, selebihnya, aku tidak diharapkan untuk datang lagi dalam kehidupannya.
Belum sempat aku keluar, tiba-tiba terdengar suara Jingga tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Dengan penuh rasa penasaran, aku menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati dia tengah berpelukan dengan orang lain yang selama ini aku benci. Bukan hanya itu, mutiara yang aku dapatkn dengan susah payah, diberikan Jingga kepadanya.
“Apa-apaan ini??”
Darahku terasa mendidih. Aku lalu menghampiri mereka, namun baru satu langkah aku berjalan, tiba-tiba aku ditendang oleh sesuatu yang tak kasat mata hingga aku terpental jauh ke luar istana. Kemudian pintu istana tertutup.
“Biruuu!!! Kamu kenapa??”
Aku lalu menceritakan semua yang terjadi di dalam kepadanya. Dia sangat menyayangkan karena aku telah memberikan mutiara itu. Dia mengatakan bahwa mutiara tersebut tidak akan pernah aku dapatkan lagi. Aku kaget mendengarnya, kemudian aku menyesali apa yang telah aku lakukan tadi.
***
“Maaf Biru, aku ga bisa nemenin kamu lagi sampai ke tepi. Aku harus pulang!”
Kata-katanya sungguh mengejutkanku. Dia berpaling, lalu hendak pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuanku.
“Bukannya kamu udah janji mau nemenin aku sampai aku kembali ke sana? Kenapa tiba-tiba bilang begitu?? Apa kamu ga khawatir sama aku?? Aku takut sendirian! Aku juga ga tau arah!”
Dia lalu menoleh dengan ekspresi wajahnya yang dingin dan kaku, seakan-akan ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Maaf, tapi aku ga bisa!”
Dia lantas pergi dan meninggalkanku di tempat asing ini seorang diri. Di lautan luas yang katanya lebih ganas daripada hutan belantara. Dia meninggalkanku, benar-benar meninggalkanku.
Air mataku mengalir dengan deras. Bukan, bukan karena aku ketakutan, hanya saja aku tidak menyangka bahwa tidak ada yang benar-benar khawatir terhadap diri kita seperti keluarga sendiri. Keluarga yang kadang sering kita kesampingkan hanya untuk mengutamakan orang lain.
Sesaat lamanya aku terpaku di sini. Bingung, bimbang, sedih, semuanya campur aduk. Lalu aku begitu sangat merindukan ibu. Ibu yang sedari kecil tidak pernah menelantarkan aku di tempat asing seorang diri. Jangankan menelantarkan, dia selalu mengkhawatirkan aku siang dan malam apabila aku jauh dari dia. Ibu yang selalu terjaga dan selalu berada di sampingku ketika aku sakit dan tidak berdaya.
“Ibu, aku benar-benar kangen Ibu..”
Air mataku semakin deras mengalir. Aku tak tau lagi harus bagaimana jika sudah begini. Aku butuh ibu, benar-benar membutuhkannya.
“Bergeraklah atau kamu akan mati pelan-pelan di sini sebagai seorang pengecut! Kenapa baru saat ini kamu merindukan ibumu?? Kenapa disaat mereka meninggalkanmu, kamu baru teringat akan ibumu?? Kenapa?? Bukankah ketika kamu memberikan mutiara itu kepada orang lain, kamu telah menunjukkan bahwa ibumu tidak penting untuk kamu perjuangkan?? Lalu kenapa sekarang kamu menangis dan tidak bisa melakukan tindakan??”
Suara itu seperti sebuah tamparan keras untukku. Aku tertunduk dan kehilangan banyak kata-kata. Aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Aku mengakuinya. Dan ini adalah kali pertama aku menerima apa yang dikatakannya, tanpa sanggahan, tanpa pembelaan.
“Lihatlah ke sebelah kananmu! Masuk dan cepatlah pulang, temui ibumu!”
Aku menoleh ke sebelah kanan dan betapa terkejutnya ketika melihat bola besar yang pertama kali mengantarkanku kini sudah berada di sini. Hatiku girang bukan main, lalu dengan cepat aku memasukinya dan berharap akan segera sampai dengan cepat untuk bisa menemui ibu.
***
“Ibuuuu!!!”
Aku memeluk Ibu seraya menangis sejadi-jadinya.
“Kamu ga apa-apa nak?? Ibu sangat khawatir sekali. Ibu jadi merasa bersalah menyuruh kamu ke sana sendirian!”
Aku menyeka air mataku dan tertunduk merasa bersalah karena tidak bisa membawa mutiara yang dia perintahkan.
“Aku ga apa-apa bu, tapi mutiara itu..”
Lidahku kelu dan tidak sanggup untuk melanjutkannya. Aku takut membuat ibu kecewa.
“Ga apa-apa nak, yang penting buat ibu adalah keselamatan kamu. Melihat kamu sekarang pulang dengan selamat, ibu sangat bersyukur.”
Aku memeluk ibu dengan erat dan menangis sejadinya. Kata-katanya seakan menyadarkanku bahwa tidak ada kasih yang paling tulus dibandingkan dengan kasih sayang seorang ibu. Bahwa tidak ada yang lebih menyayangi kita selain dia, meski tanpa diberi imbalan, hadiah-hadiah indah, atau apapun yang dapat dihitung dengan materi.
Maka, jika ada yang bertanya:
“Siapakah cinta sejati itu?”
“Ibu..”