Sunday, October 23, 2016

Mencengkram Api


Berlari hanya akan membuatmu lelah.
Apa yang kau takuti dari gigi-gigi tak bertaring?
Menghindar memang bisa membuat ketakutanmu reda,
Hanya saja semua tak akan berhenti.
Kau perlu berbalik, lalu kita bertarung berhadapan.
Aku akan meneriakimu dengan tatapan tajam.
Tak ada kata-kata, selain amarah yang terpendam sekian lama.

Kalau saja kau tau,
Apa yang merasuki jiwaku?
Adalah duri-duri yang menusuk
Mencengkramku sehingga aku tak bisa berdiri tegak
Tapi, karenanya kini aku dapat merangkak dengan cepat

Aku bukan petir yang serta merta akan menyambarmu.
Membuatmu gosong hingga tak tampak lagi senyuman licik itu!
Berkali-kali aku urai rasa benci,
Hanya saja aku butuh waktu untuk mengurainya.

Sedang kau masih saja berpesta dengan kegilaanmu!
Tak peduli ada berapa rumah yang kau runtuhkan,
Tapi kau tetap bersuka ria!

Ingat!
Kelak akan ada waktunya.
Tatkala matahari dan bulan muncul semaunya
Lalu gelap menjadi selimutmu yang paling menakutkan.

Silahkan, teruskan caramu menutup jendela hati!
Dan aku akan berjalan sedikit demi sedikit
Membasuh lagi apa yang pernah ternodai,
Harga diri!

Monday, October 3, 2016

AKUT



Berjam-jam sudah aku bertanya,
“Ada apakah ini??”
Resah seakan menyelimuti jarum waktu yang berkelana di atas selubung rasa.
Matanya, suaranya, senyumnya kulihat dimana-mana.
Gila, kenapa begini??”
“Siapa dia?”
Bahkan seringkali kita lari terbirit-birit saat tak sengaja beradu pandang.
Menjauh adalah caraku meredam kisruh.
Entah dengannya..
Tapi, tiba-tiba sapanya muncul ibarat sinar rembulan ditengah pekat malam..
Ku tatap lekat-lekat apa yang masih tak bisa kupercayai.
Dan lalu ada yang berdesir, ibarat riak-riak kecil pada air yang tengah diam.
“Secepat inikah?”
Bahkan angin tertawa terpingkal-pingkal kali ini, lalu ia memperingatkan,
“Hati-hati dengan rasa yang terlalu dini!!”
Ya, aku tau..
Aku lantas menepis apa yang tengah mekar di atas senyuman iblis.
“Iblis?”
Angin bertanya kebingungan.
“Ya, iblis. Bukankah iblis memang selalu begitu? Memberi umpan kebahagiaan semu, untuk membakar kita hidup-hidup?”

Aku lalu semakin takut. Takut tatkala jatuh pada rasa yang berlari kencang tak beraturan, ibarat kuda liar, tak bisa dikendalikan.
Tapi, ditengah ketakutan itu, “kebetulan-kebetulan” menghampiriku secara perlahan.
Dan “kebetulan-kebetulan”  lalu memaksaku untuk mengenal siapa dia.

Ah, dan kini aku semakin ingin tau apa yang tengah ia tutupi dan sembunyikan.
“Siapa dia??”
“Kenapa dia tersenyum begitu menyejukkan??”
Tapi tak jarang diapun diam ibarat sebongkah es penuh kedinginan..

Lalu kita saling mengenal..
Begitu cepat ibarat jembatan keterhubungan..
Akut!”
Ah, tapi lagi-lagi aku harus menepisnya,
Menepis rasa-rasa yang terlanjur menggurita.

Dia,
“Siapa dia??”
Dia dan dua kepala lain di sampingnya.
Aku berbalik,
Lalu tertawa terkikik.
“Ini kilas balik!”
Ibarat cerita yang sama, ujian yang berulang-ulang.
Dan kali ini aku harus menang!!

“Racun Dunia!!!”
Mendengarnya bergema, aku tak bisa lagi berkata-kata.
“Ini cinta??”