Monday, February 26, 2018

GARIS LURUS



               Tadi malam kau datang lagi melalui siluet yang menembus dimensi lain dalam pikiranku. Pada labirin mimpi yang sengaja aku ingat hingga senja. Biru, andai kau tau saat malam tak segelap biasanya. Andai kau benar-benar di sini seperti mimpi tadi malam. Andai kau tak seperti batu nisan yang tak bisa berbicara apa-apa. Andai kau bisa berkata terus terang tentang apa yang kau mau, tentang dirimu.
         
          Jangan menganggap benar apa yang kau anggap benar. Matamu tak bisa berbicara lebih banyak selain menangkap objek yang ia lihat. Tanyakan saja pada hatimu, apa yang berkecamuk dalam birumu kali ini. Kusut, hatinya ingin berbelok menuju dermaga yang tanpa hingar-bingar manusia. Mungkin sendiri akan membuatnya lebih baik atau setidaknya ia dapat menghayati rasa sakitnya tanpa ada yang memaksanya untuk tersenyum setiap pagi.

          Biru, ku kira kau akan memanggilku biru setiap waktu. Ku kira tak secepat ini aku harus melepas laut dan senja yang sering kau renungi dalam diam. Aku masih ingin bercengkrama denganmu, seperti laut yang berderu pada langit saat sore hari. Aku masih tak ingin kemana-mana, karena dalam namaku masih disematkan kata “biru”.

          Jangan percaya pada mata yang membuatmu gusar hingga meneteskan kesedihan. Karena apa yang kau lihat hanyalah kabut yang menutupi keindahan bunga-bunga pada pagi hari. Karena hatiku tak akan ku biarkan terbuka di mana-mana, tak akan ku biarkan semua orang melihatnya. Dan apa yang kau lihat kali ini bukanlah berasal dari hati. Apa yang kau yakini hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur seorang anak kecil yang merasa kesepian.

          Bahkan anak itu tak bisa lagi memilih garis mana yang akan dia teruskan. Lurus ataukah berbelok arah. Tapi, kalau matamu pernah melihatnya berjalan lurus, itu karena dia sedang tertidur sebentar saja, karena saat ia terbangun, ia ingin kembali pada dermaga yang begitu hening, dermaga yang membuatnya terlelap dalam kehangatan, dermaga rahasia.

          Biru, jangan pernah kau bakar surat-surat itu atau kau sobek potret wajah yang pernah kau lihat begitu dekat. Karena isi hatiku tak pernah berubah sejak kau memutuskan terbang tanpa ada lagi nama biru.


          Aku masih birumu, bisakah kau datang lagi seperti malam itu? Aku rindu..

Saturday, February 10, 2018

BENDERA KUNING




Mulut-mulut itu adalah hakim yang mengetok palu tanpa mendakwa. Mulut yang berdiri sendiri, menggeser jaksa penuntut dan pengacara. Mulut yang menyalakan api ditengah dua orang yang tengah berkelahi.
Bulan yang masih saja bersikukuh mengakui bahwa dulu mentari pernah singgah dalam dunia malamnya yang hitam, sedang mentari menyangkalnya habis-habisan dan menyanderanya dalam tuduhan-tuduhan. Dia menelanjangi bulan pada setiap mulut yang tengah bertepuk tangan dengan gigi-gigi bertaringnya. Melepaskan satu persatu benang kebaikan yang masih dipakai bulan dan mempertontonkan borok-borok yang tak seharusnya menjadi tontonan publik.

          Kini bulan adalah tersangka yang duduk di kursi panas. Dia didakwa tuntutan lain, selain “pengakuan” atau “penyangkalan” tentang kisah bulan dan mentari, namun dakwaan tentang borok-borok lainnya yang sengaja diangkat untuk mengalihkan isu.

          Hingga mentari bisa tidur pulas dalam malamnya dan mulut-mulut itu juga bisa bungkam dalam rasa puasnya, bulan justru masih terjaga  pada jam-jam di mana darah mengalir di mana-mana dan tangannya mengibarkan bendera kuning, bendera kekalahan, bendera pengakhiran, bendera kematian.

          Barangkali mentari tak ingin lagi berdebat jika bulan sudah menggelapar menjadi mayat. Barangkali mulut-mulut yang serupa hakim itu akan hilang ketika bulan tinggallah tulang belulang.
Karena ia begitu lelah, hingga ingin segera tertidur di sana. Di balik batu bertuliskan namanya. Di balik rumput-rumput liar yang mulai tumbuh menyelimuti hitamnya tanah.

          Karena sayang saja ternyata tak cukup untuk bersaksi tentang “pembuktian”. Karena kenangan saja ternyata tak kuat untuk menjadi jembatan yang menyatukan tangan “pengakuan” dan kaki “penyangkalan”. Tangan yang selalu ingin berjabat tangan dan menuliskan pesan perdamaian dan kaki yang  ingin menendang sejauh mungkin.

          Bulan kalah dan hatinya terpecah belah. Dia disemayamkan di balik jeruji tuduhan-tuduhan. Dia dikenang dalam rangkaian kecaman-kecaman. Dia berbalik dengan memikul bukti-bukti “hubungan” dan “kemesraan”.
Dia tahu bahwa tak akan ada kemenangan dalam sidang pada terik siang. Dia mengerti bahwa mentari adalah raja di mana setiap pasang mata terjaga kali ini. Siang adalah kewenangan bagi mentari untuk “menumbuhkan” atau “menghanguskan”. Dan bulan telah hangus sebelum berkata-kata lebih banyak dan memperlihatkan apa saja yang ia bawa.

          Bulan tahu bahwa tak pernah ada tempat baginya pada siang hari. Bulan tahu bahwa akan sia-sia mengingatkan seorang manula akan kisahnya dimasa muda. Bulan tahu bahwa datang pada siang hari dan berseteru dengan mentari seperti tengah mendatangi kuburannya sendiri.  

          Dan kali ini bulan menyerah dan berusaha lupa seperti “dia” yang tak pernah ia kenali didunia nyata. Seperti cahaya yang tak dapat ia lihat saat bumi terang benderang. Seperti kehangatan yang tak ia dapatkan saat musim panas memenjarakan kedinginan.

          Tapi, dalam malam, bulan akan mengingatnya. Mengingatnya sebagai malaikat dan setan. Mengingatnya sebagai penerang dan pembawa kegelapan. Mengingatnya sebagai petarung dan pengecut yang menyangkal keberaniannya berperang dengan setangkai mawar. Mengingatnya sebagai perisai dan anak panah. Mengingatnya sebagai pelindung dan pembunuh.

          Bulan telah mengakhiri catatan tentang mentari pada halaman terakhir di mana senyum masih menjadi judul bagi sepasang penerang bumi. Dan kini, mereka berjalan berjauhan, membawa “kebenaran” yang mereka yakini di dalam kepala.

          Ada yang lebih menyakitkan ketika sepasang mata terjaga dan melihat namanya dicoret di mana-mana. Mata yang dipaksa menyaksikan mata “nya” mengoyak dia di kedalaman mata orang-orang yang menggunjingnya.
          Ada yang lebih menyakitkan ketika mawar dan melati melukis pelangi di malam hari dan melati tak mengakuinya dipagi hari.
          Ada yang lebih menyakitkan ketika bunga yang dulu dipupuk dan disirami lalu dibiarkan layu karena tak diharapkan tumbuh.
          Ada yang lebih menyakitkan ketika rasa sakit tak benar-benar tahu bahwa dirinya sakit.
          Ada..
Ada banyak rasa sakit!
Ada!!
Ketika..
Bilamana..
Andaikata..
Jikalau..
Kita menyebutnya..
Mengatakannya..
Meyakininya..
SAKIT!


Thursday, February 8, 2018

LIDAH




         Pernahkah kau bertanya, darimana airmata dihasilkan? Pernahkah kau bertanya, kemana kesedihan akan bermuara?
Pernahkah kau bertanya, kenapa bunga bermekaran? Pernahkah kau bertanya, kenapa bunga layu tiba-tiba?
Kau tak pernah bertanya, hingga akhirnya kau merangkulku dengan lidahmu. Kau hadiahi malamku dengan kelincahan lidah yang menari di bawah purnama. Lidah yang mengajari aku untuk menyangkal apa yang tak seharusnya disangkal. Lidah yang tak pernah mengakui rasa manis yang pernah ia kecap, karena kini ia tengah bergumul dengan sensasi pedas.
Tak apa, tak masalah dengan masa kini dimana rasa itu memang sudah hilang sama sekali dalam lidahmu. Tapi, yang harus kau ingat adalah bahwa dulu memang lidahmu pernah mengecap rasa manis itu. Pernah!

          Katakan pada lidahmu, aku tak ingin disapa lagi olehnya! Aku tak ingin ia dengan lincahnya mengoyak taman hati yang baru saja pulih oleh gangguan hama. Katakan padanya, tak perlu menyangkal habis-habisan karena takut oleh setiap pasang mata yang akan memenjarakanmu pada kecaman-kecaman dan tak perlu mengakui dengan terus terang pada orang-orangan sawah yang masih saja merindu padahal kau sudah menyebutnya  masalalu.

          Simpan kembali apa yang telah kau siapkan malam ini, sebilah pedang, busur panah dan minuman beracun!
Aku sudah mati lebih cepat sebelum alat-alat itu memelukku dengan kata-kata perpisahan. Aku sudah mati berdiri sebelum anak panahmu menyangkut dalam hati. Aku sudah berlumuran darah, sebelum pedangmu menghunus rasa kalah. Aku sudah sekarat dengan mulut berbusa, sebelum racun itu berdusta tentang cinta.

          Ini adalah gula paling manis yang tak pernah aku tuangkan bersama kopi. Biar saja manisnya tetap murni, seperti rinduku yang kau taruh pada dedak yang tak bisa diseduh lagi. Biar saja malam ini bergelimang air liur dari lidahmu dan banjir tangisan yang keluar dari mataku. Ini sepadan, seperti penyangkalan yang tak akan pernah diakui hingga kepalaku terpancung di atas tiang kematian. Dan kau berpesta pora dengan nama yang baru saja dibersihkan dari debu tuduhan-tuduhan. Kau begitu mencintai namamu dan ingin membersihkannya dengan darahku. Boleh saja dan memang sudah aku bersihkan malam ini.

          Katakan pada mereka, bahwa kau tengah mengutuk orang-orangan sawah yang seringkali mereka gunjingkan. Katakan pada mereka, bahwa kau tak pernah mengecap rasa manis dengannya sekalipun!
Katakan pada mereka, kunci saja dia pada lumbung sunyi yang tak ada siapapun di sana. Kucilkan dia!
Lupakan saja benih-benih yang pernah dia tanam, yang pernah dipanen tatkala kesepian. Lupakan, lupakan semuanya!

          Karena dia memang terbiasa untuk dilupakan. Seperti udara yang kau hirup dan kau hempaskan, kau tak pernah mengingatnya, tak pernah menamainya, tak pernah mengakuinya.
Lupakan saja, akhiri semuanya!
Seperti lidah yang bahkan lupa pernah mengecap rasa manis. Seperti lidah yang bahkan lupa pernah berucap kata sayang. Seperti lidah yang bahkan lupa pernah berkata tentang rindu, tentang cemburu.
Sudah, biarlah berlalu. Hatiku tak ingin bertarung dengan lidahmu, penyangkalanmu dan dengan harga diri yang tengah kau perjuangkan habis-habisan.
Selamat, kau telah lahir kembali. Aku pergi.



PENGAKUAN



           
            Ada senja yang bergelayut di atas dua nama. Sesekali ia melirik keduanya yang masih bungkam menatap rintik-rintik hujan. Pada sepasang mulut yang ingin segera menelurkan kata-kata, pada empat pasang kaki yang masih berselonjor di atas teras masjid, pada sepasang tanda tanya yang terus menghantui kepala, senja kemudian membujuk mereka. Senja lalu menelanjangi apa yang mereka tutup dalam dada. Senja yang tanpa sengaja menampakkan muka, lalu pamit tiba-tiba ketika satu dari dua mulut itu mulai mengeja satu kata, “rahasia”.

          “Ka, sebenarnya aku ingin sekali bercerita tentang siapa aku yang sebenarnya. Aku ingin bisa melepaskan sedikit beban yang selama ini aku pikul dan membuka topeng yang menutupi wajahku. Aku ingin menampakkan diriku yang sebenarnya di depan kaka.”

Suara itu kemudian disambut dengan senyuman yang tampak tulus dari wajah yang ia sebut Kaka. Kaka seperti mengerti tentang apa yang akan diceritakan selanjutnya, hingga kemudian bibir Kaka bergerak dan mulai bercerita.

          “Dean, kamu itu mirip adikku.”

Hanya itu. Hanya itu yang ke luar dari mulut Kaka dan tak pernah ada kata-kata lain yang mampu menjawab teka-teki di dalam kepala Dean.

          “Mirip? Maksudnya?”

Kaka lalu tersenyum mendengar pertanyaan Dean. Sejenak, ia tak mau berbicara apapun. Matanya masih lurus ke depan dan memperhatikan hujan yang masih turun dengan derasnya. Namun, mata Dean justru tak berpaling dari Kaka dan menunggu apa yang akan ia jawab selanjutnya.

          “Aku rindu Allah. Ka, aku ingin kembali ke jalan-Nya.”

Mata Dean berkaca-kaca. Begitu pula dengan mata Kaka. Kaka lalu memegang pundak Dean seraya menatap matanya. Wajahnya tersenyum sumringah.

          “Andai adik Kaka bisa seperti ini, Kaka akan sangat bahagia sekali. Dean, Kaka senang mendengarnya. Nanti Kaka ajak kamu ke suatu tempat. Kaka mau ngenalin kamu sama guru Kaka.”

Kaka lalu memeluk Dean dengan perasaan bahagia dan membayangkan bahwa suatu hari adiknya akan berterus terang kepadanya seperti ini.
***

          Senja masih bertanya-tanya tentang “rahasia” yang mereka bicarakan itu. Tentang siapa Dean yang sebenarnya dan tentang adik “Kaka” yang dia sebut mirip dengan Dean.

          “Apa yang sedang mereka bicarakan? Mereka seperti mengerti satu sama lain tanpa harus berbicara lebih banyak.”

          Hingga suatu hari, senja tahu lebih banyak tentang mereka. Senja bahkan kaget bukan main, karena dia tak pernah mengira bahwa mereka telah berbalik arah dari jalan yang selama ini ingin mereka tuju. Mereka jatuh cinta.

          “Kaka sayang, apa kaka juga merasakan hal yang sama seperti yang Dean rasakan?”

“Sayang?” Senja bertanya-tanya dalam hatinya, ada apa dengan Dean? Apa dia lupa dengan apa yang dia ceritakan sebelumnya? Apa dia lupa tentang kerinduannya pada Tuhan?  Apa dia lupa atau sengaja melupakan???

          “Iya sayang, Kaka juga sayang sama sayang. Kaka selalu kebayang wajah sayang. Mungkin ini ujian buat Kaka.”

Senja lebih kaget lagi kini. “Sayang?” Apa maksud Kaka berbicara seperti itu? Bukankah Kaka sudah ada dalam sebuah ikatan? Bukankah Kaka yang sebelumnya menuntun Dean menuju jalan Tuhan? Bukankah Kaka...
Ah, Senja lebih bingung lagi sekarang. Benar-benar kebingungan. Apakah mereka sedang mabuk? Atau dimabukkan?

          Selanjutnya Senja mengikuti kemanapun mereka pergi. Senja mencatat semuanya. Senja bahkan tahu hal terkecil apa saja yang terjadi pada mereka, seperti ketika pipi mereka memerah, atau jantung mereka berdegup kencang karena menahan buncahan-buncahan bahagia dan rasa malu.

          Mereka pernah berkata bahwa hijau pepohonan lebih mereka sukai dari padang pasir tandus yang membuat mereka dahaga. Tapi, sekarang mereka justru berjalan di atas padang pasir tandus, tanpa dahaga, tanpa kehausan. Dan senyuman-senyuman yang mereka tunjukkan pada terik siang, seolah memberi tahu Senja bahwa ada hal lain yang menyejukkan mereka, selain air atau pepohonan. Dan tawa-tawa riang yang mereka perlihatkan pada malam, seakan meneriaki Senja bahwa gelap tak pernah benar-benar membuat mereka kehilangan cahaya.
Bahwa kebahagiaan ternyata tak hanya bisa dicari, tapi diciptakan. Dan mereka tengah mencipatakan kebahagiaan mereka sendiri, di sini, kali ini.

Bersambung..
         



          

Wednesday, February 7, 2018

PERNAH DENGANNYA



            Lampu-lampu kota malam ini dan dingin yang seringkali tak aku habiskan sendirian. Jam-jam yang biasanya mengalir hangat dengan dua cangkir kopi dan tawa renyah. Wajahnya yang rupawan dan wangi parfum yang semerbak.
Ingatan-ingatan yang sudah dikubur sejak lama, lalu muncul lagi tiba-tiba tatkala untuk pertama lagi aku melihat tangannya dari jauh setelah tiga bulan lamanya. Tangan yang menggenggam banyak rahasia. Lengan yang pernah merangkul kesepian, jari-jari tangan yang berkali-kali mengusap airmata dan menghapus kesedihan.
Dia dan riuh ricuh orang-orang yang berlalu-lalang. Dia dan suara-suara lain yang tak bisa aku dengarkan. Dia dan teman-temanku yang aku acuhkan. Dia dan hanya dia yang tengah menciptakan gempa dan debaran-debaran. Dia dan mata yang tak bisa aku lihat lebih dekat. Dia dan rasa yang ternyata masih ada. Dia dan kebekuan yang membuat langkah ingin berlari sejauh mungkin karena tak kuasa menahan buncahan-buncahan.

            “Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”

Ujarku dalam hati, mengutuk diri sendiri yang mematung di sana, dengan lidah kelu dan tak bisa menatapnya yang tampak biasa saja. Ada banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh logika. Seperti perasaan-perasaan yang muncul lagi setelah sekian lama menghilang begitu saja. Bahkan  sejak tujuh bulan yang lalu, rasa terhadapnya sudah benar-benar tak ada dan diapun juga mengetahuinya karena sejak itu aku mulai tertarik dengan orang yang tidak pernah dia sukai.

            Tapi, kali ini lain dari biasanya. Aku bahkan tak sekalipun mampu untuk menatap matanya atau berbicara dengan tenang tanpa ada rasa gugup dan salah tingkah. Aku menjauh, padahal hati ingin bertemu. Aku berpaling, padahal hati rindu. Aku bersedih, padahal hati bersuka cita.

            “Apa-apaan ini? Ini gila!!”

            Dan di sepanjang jalan yang tak ada lagi lambaian tangan. Di sepanjang jalan ketika derap langkah kaki tengah “meninggalkan”. Di sepanjang jalan ketika jarak lalu membungkam kerinduan. Rinduku justru semakin menggebu-gebu.

            Hai angin, ingatkah dia bahwa kita seringkali duduk di bawah naungan malam dengan kelap-kelip lampu-lampu kota?
Ingatkah dia tentang bangku-bangku yang kita duduki berjam-jam hanya untuk berbincang-bincang, padahal tak ada yang benar-benar penting untuk diperbincangkan.
Ingatkah dia tentang sudut-sudut jalan, tikungan, hutan, lembah, gunung dan tebing yang kita singgahi bersama hanya untuk melepas kerinduan?
Ingatkah dia tentang perasaan-perasaan yang mulanya kita sanggah habis-habisan, namun berakhir dengan kata “sayang” dan “pengakuan-pengakuan” yang mengejutkan?
Ingatkah dia bahwa kita pernah saling jatuh cinta?
Ingatkah?

            Mengingatnya, seperti membuka kembali luka yang sulit untuk disembuhkan. Mengingatnya, ibarat mengingat selimut yang pernah menghangatkan ditengah musim hujan. Mengingatnya, seperti mengingat gerimis yang turun dipuncak musim kemarau. Mengingatnya, ibarat mengingat jalan pulang yang sekian lama ditinggalkan. Mengingatnya, seperti mengingat yang tak bisa diingat dan kembali teringat.

Pernah dengannya? Pernah..
Sekali saja, lalu terulang,
Berulang-ulang..
Sekarang!

Tuesday, February 6, 2018

Surat Terakhir



                Tak ada hujan yang luput dari pantauan langit, karena seringkali langit berangsur mendung sebelum hujan turun. Tak ada kemarau yang luput dari pantauan matahari, karena seringkali matahari berpijar lebih membara tatkala kemarau akan datang tiba-tiba.
Lalu kenapa tidak begitu yang orang lain lakukan terhadapku? Tak pernah ada tanda-tanda atau masa transisi agar aku bisa beradaptasi sebelum ditinggal pergi?
Kenapa seringkali orang datang dan pergi tanpa ingin mengetahui bagaimana hati dari orang yang ia singgahi?
Berhari-hari aku tak berhenti meratapi diriku sendiri. Berhari-hari aku mencoba menghalau rasa sakit hatiku sendiri.

          Mengapa orang lain begitu mencintai dirinya sendiri, hingga angkat kaki tanpa permisi untuk ke luar dari taman yang baru saja bersemi tadi pagi? Kenapa aku tidak bisa seperti mereka yang mampu melukai berkali-kali tanpa mau memberi penangkal nyeri?

          Aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan mengubur diriku sendiri pada harapan-harapan yang orang lain sebutkan abadi. Aku tak pernah membayangkan bahwa diriku mereka anggap ibarat terminal, hanya tempat “menunggu” tatkala kendaraan yang akan mereka naiki belum tiba. Dan mereka akan pergi tergesa-gesa tatkala kendaraan itu datang, tanpa mau pamit atau melambaikan tangan pada terminal yang telah menemaninya “menunggu” dan melindunginya dari terik mentari atau hujan, serta mempersilahkannya duduk dan bersandar agar merasa nyaman.

          Aku tak pernah membayangkan bahwa aku tak pernah sekalipun diperjuangkan. Bahkan untuk sekedar disodori bukti dari tulusnya “hati” yang seringkali berucap tentang kata “mencintai”.

          Kali ini aku benar-benar merasa sakit dan tak ingin bangkit. Seringkali cermin tak memperlihatkan kebahagiaan, sekalipun aku meronta-ronta ingin bahagia.
Kali ini aku tak mengerti sama sekali, kenapa aku selalu layak untuk ditinggal pergi? Nyeri..

Bandung, 29 Desember 2017
x