Pernahkah
kau bertanya, darimana airmata dihasilkan? Pernahkah kau bertanya, kemana kesedihan
akan bermuara?
Pernahkah
kau bertanya, kenapa bunga bermekaran? Pernahkah kau bertanya, kenapa bunga
layu tiba-tiba?
Kau
tak pernah bertanya, hingga akhirnya kau merangkulku dengan lidahmu. Kau
hadiahi malamku dengan kelincahan lidah yang menari di bawah purnama. Lidah yang
mengajari aku untuk menyangkal apa yang tak seharusnya disangkal. Lidah yang
tak pernah mengakui rasa manis yang pernah ia kecap, karena kini ia tengah
bergumul dengan sensasi pedas.
Tak
apa, tak masalah dengan masa kini dimana rasa itu memang sudah hilang sama
sekali dalam lidahmu. Tapi, yang harus kau ingat adalah bahwa dulu memang
lidahmu pernah mengecap rasa manis itu. Pernah!
Katakan pada lidahmu, aku tak ingin disapa lagi olehnya! Aku tak ingin ia dengan lincahnya mengoyak taman hati
yang baru saja pulih oleh gangguan hama. Katakan padanya, tak perlu menyangkal
habis-habisan karena takut oleh setiap pasang mata yang akan memenjarakanmu
pada kecaman-kecaman dan tak perlu mengakui dengan terus terang pada
orang-orangan sawah yang masih saja merindu padahal kau sudah menyebutnya masalalu.
Simpan kembali apa yang telah kau
siapkan malam ini, sebilah pedang, busur panah dan minuman beracun!
Aku
sudah mati lebih cepat sebelum alat-alat itu memelukku dengan kata-kata
perpisahan. Aku sudah mati berdiri sebelum anak panahmu menyangkut dalam hati.
Aku sudah berlumuran darah, sebelum pedangmu menghunus rasa kalah. Aku sudah
sekarat dengan mulut berbusa, sebelum racun itu berdusta tentang cinta.
Ini adalah gula paling manis yang tak
pernah aku tuangkan bersama kopi. Biar saja manisnya tetap murni, seperti rinduku
yang kau taruh pada dedak yang tak bisa diseduh lagi. Biar saja malam ini
bergelimang air liur dari lidahmu dan banjir tangisan yang keluar dari mataku.
Ini sepadan, seperti penyangkalan yang tak akan pernah diakui hingga kepalaku
terpancung di atas tiang kematian. Dan kau berpesta pora dengan nama yang baru
saja dibersihkan dari debu tuduhan-tuduhan. Kau begitu mencintai namamu dan
ingin membersihkannya dengan darahku. Boleh saja dan memang sudah aku bersihkan
malam ini.
Katakan pada mereka, bahwa kau tengah
mengutuk orang-orangan sawah yang seringkali mereka gunjingkan. Katakan pada
mereka, bahwa kau tak pernah mengecap rasa manis dengannya sekalipun!
Katakan
pada mereka, kunci saja dia pada lumbung sunyi yang tak ada siapapun di sana.
Kucilkan dia!
Lupakan
saja benih-benih yang pernah dia tanam, yang pernah dipanen tatkala kesepian.
Lupakan, lupakan semuanya!
Karena dia memang terbiasa untuk
dilupakan. Seperti udara yang kau hirup dan kau hempaskan, kau tak pernah
mengingatnya, tak pernah menamainya, tak pernah mengakuinya.
Lupakan
saja, akhiri semuanya!
Seperti
lidah yang bahkan lupa pernah mengecap rasa manis. Seperti lidah yang bahkan
lupa pernah berucap kata sayang. Seperti lidah yang bahkan lupa pernah berkata
tentang rindu, tentang cemburu.
Sudah,
biarlah berlalu. Hatiku tak ingin bertarung dengan lidahmu, penyangkalanmu dan
dengan harga diri yang tengah kau perjuangkan habis-habisan.
Selamat,
kau telah lahir kembali. Aku pergi.
No comments:
Post a Comment