Thursday, February 8, 2018

LIDAH




         Pernahkah kau bertanya, darimana airmata dihasilkan? Pernahkah kau bertanya, kemana kesedihan akan bermuara?
Pernahkah kau bertanya, kenapa bunga bermekaran? Pernahkah kau bertanya, kenapa bunga layu tiba-tiba?
Kau tak pernah bertanya, hingga akhirnya kau merangkulku dengan lidahmu. Kau hadiahi malamku dengan kelincahan lidah yang menari di bawah purnama. Lidah yang mengajari aku untuk menyangkal apa yang tak seharusnya disangkal. Lidah yang tak pernah mengakui rasa manis yang pernah ia kecap, karena kini ia tengah bergumul dengan sensasi pedas.
Tak apa, tak masalah dengan masa kini dimana rasa itu memang sudah hilang sama sekali dalam lidahmu. Tapi, yang harus kau ingat adalah bahwa dulu memang lidahmu pernah mengecap rasa manis itu. Pernah!

          Katakan pada lidahmu, aku tak ingin disapa lagi olehnya! Aku tak ingin ia dengan lincahnya mengoyak taman hati yang baru saja pulih oleh gangguan hama. Katakan padanya, tak perlu menyangkal habis-habisan karena takut oleh setiap pasang mata yang akan memenjarakanmu pada kecaman-kecaman dan tak perlu mengakui dengan terus terang pada orang-orangan sawah yang masih saja merindu padahal kau sudah menyebutnya  masalalu.

          Simpan kembali apa yang telah kau siapkan malam ini, sebilah pedang, busur panah dan minuman beracun!
Aku sudah mati lebih cepat sebelum alat-alat itu memelukku dengan kata-kata perpisahan. Aku sudah mati berdiri sebelum anak panahmu menyangkut dalam hati. Aku sudah berlumuran darah, sebelum pedangmu menghunus rasa kalah. Aku sudah sekarat dengan mulut berbusa, sebelum racun itu berdusta tentang cinta.

          Ini adalah gula paling manis yang tak pernah aku tuangkan bersama kopi. Biar saja manisnya tetap murni, seperti rinduku yang kau taruh pada dedak yang tak bisa diseduh lagi. Biar saja malam ini bergelimang air liur dari lidahmu dan banjir tangisan yang keluar dari mataku. Ini sepadan, seperti penyangkalan yang tak akan pernah diakui hingga kepalaku terpancung di atas tiang kematian. Dan kau berpesta pora dengan nama yang baru saja dibersihkan dari debu tuduhan-tuduhan. Kau begitu mencintai namamu dan ingin membersihkannya dengan darahku. Boleh saja dan memang sudah aku bersihkan malam ini.

          Katakan pada mereka, bahwa kau tengah mengutuk orang-orangan sawah yang seringkali mereka gunjingkan. Katakan pada mereka, bahwa kau tak pernah mengecap rasa manis dengannya sekalipun!
Katakan pada mereka, kunci saja dia pada lumbung sunyi yang tak ada siapapun di sana. Kucilkan dia!
Lupakan saja benih-benih yang pernah dia tanam, yang pernah dipanen tatkala kesepian. Lupakan, lupakan semuanya!

          Karena dia memang terbiasa untuk dilupakan. Seperti udara yang kau hirup dan kau hempaskan, kau tak pernah mengingatnya, tak pernah menamainya, tak pernah mengakuinya.
Lupakan saja, akhiri semuanya!
Seperti lidah yang bahkan lupa pernah mengecap rasa manis. Seperti lidah yang bahkan lupa pernah berucap kata sayang. Seperti lidah yang bahkan lupa pernah berkata tentang rindu, tentang cemburu.
Sudah, biarlah berlalu. Hatiku tak ingin bertarung dengan lidahmu, penyangkalanmu dan dengan harga diri yang tengah kau perjuangkan habis-habisan.
Selamat, kau telah lahir kembali. Aku pergi.



No comments:

Post a Comment