Thursday, February 8, 2018

PENGAKUAN



           
            Ada senja yang bergelayut di atas dua nama. Sesekali ia melirik keduanya yang masih bungkam menatap rintik-rintik hujan. Pada sepasang mulut yang ingin segera menelurkan kata-kata, pada empat pasang kaki yang masih berselonjor di atas teras masjid, pada sepasang tanda tanya yang terus menghantui kepala, senja kemudian membujuk mereka. Senja lalu menelanjangi apa yang mereka tutup dalam dada. Senja yang tanpa sengaja menampakkan muka, lalu pamit tiba-tiba ketika satu dari dua mulut itu mulai mengeja satu kata, “rahasia”.

          “Ka, sebenarnya aku ingin sekali bercerita tentang siapa aku yang sebenarnya. Aku ingin bisa melepaskan sedikit beban yang selama ini aku pikul dan membuka topeng yang menutupi wajahku. Aku ingin menampakkan diriku yang sebenarnya di depan kaka.”

Suara itu kemudian disambut dengan senyuman yang tampak tulus dari wajah yang ia sebut Kaka. Kaka seperti mengerti tentang apa yang akan diceritakan selanjutnya, hingga kemudian bibir Kaka bergerak dan mulai bercerita.

          “Dean, kamu itu mirip adikku.”

Hanya itu. Hanya itu yang ke luar dari mulut Kaka dan tak pernah ada kata-kata lain yang mampu menjawab teka-teki di dalam kepala Dean.

          “Mirip? Maksudnya?”

Kaka lalu tersenyum mendengar pertanyaan Dean. Sejenak, ia tak mau berbicara apapun. Matanya masih lurus ke depan dan memperhatikan hujan yang masih turun dengan derasnya. Namun, mata Dean justru tak berpaling dari Kaka dan menunggu apa yang akan ia jawab selanjutnya.

          “Aku rindu Allah. Ka, aku ingin kembali ke jalan-Nya.”

Mata Dean berkaca-kaca. Begitu pula dengan mata Kaka. Kaka lalu memegang pundak Dean seraya menatap matanya. Wajahnya tersenyum sumringah.

          “Andai adik Kaka bisa seperti ini, Kaka akan sangat bahagia sekali. Dean, Kaka senang mendengarnya. Nanti Kaka ajak kamu ke suatu tempat. Kaka mau ngenalin kamu sama guru Kaka.”

Kaka lalu memeluk Dean dengan perasaan bahagia dan membayangkan bahwa suatu hari adiknya akan berterus terang kepadanya seperti ini.
***

          Senja masih bertanya-tanya tentang “rahasia” yang mereka bicarakan itu. Tentang siapa Dean yang sebenarnya dan tentang adik “Kaka” yang dia sebut mirip dengan Dean.

          “Apa yang sedang mereka bicarakan? Mereka seperti mengerti satu sama lain tanpa harus berbicara lebih banyak.”

          Hingga suatu hari, senja tahu lebih banyak tentang mereka. Senja bahkan kaget bukan main, karena dia tak pernah mengira bahwa mereka telah berbalik arah dari jalan yang selama ini ingin mereka tuju. Mereka jatuh cinta.

          “Kaka sayang, apa kaka juga merasakan hal yang sama seperti yang Dean rasakan?”

“Sayang?” Senja bertanya-tanya dalam hatinya, ada apa dengan Dean? Apa dia lupa dengan apa yang dia ceritakan sebelumnya? Apa dia lupa tentang kerinduannya pada Tuhan?  Apa dia lupa atau sengaja melupakan???

          “Iya sayang, Kaka juga sayang sama sayang. Kaka selalu kebayang wajah sayang. Mungkin ini ujian buat Kaka.”

Senja lebih kaget lagi kini. “Sayang?” Apa maksud Kaka berbicara seperti itu? Bukankah Kaka sudah ada dalam sebuah ikatan? Bukankah Kaka yang sebelumnya menuntun Dean menuju jalan Tuhan? Bukankah Kaka...
Ah, Senja lebih bingung lagi sekarang. Benar-benar kebingungan. Apakah mereka sedang mabuk? Atau dimabukkan?

          Selanjutnya Senja mengikuti kemanapun mereka pergi. Senja mencatat semuanya. Senja bahkan tahu hal terkecil apa saja yang terjadi pada mereka, seperti ketika pipi mereka memerah, atau jantung mereka berdegup kencang karena menahan buncahan-buncahan bahagia dan rasa malu.

          Mereka pernah berkata bahwa hijau pepohonan lebih mereka sukai dari padang pasir tandus yang membuat mereka dahaga. Tapi, sekarang mereka justru berjalan di atas padang pasir tandus, tanpa dahaga, tanpa kehausan. Dan senyuman-senyuman yang mereka tunjukkan pada terik siang, seolah memberi tahu Senja bahwa ada hal lain yang menyejukkan mereka, selain air atau pepohonan. Dan tawa-tawa riang yang mereka perlihatkan pada malam, seakan meneriaki Senja bahwa gelap tak pernah benar-benar membuat mereka kehilangan cahaya.
Bahwa kebahagiaan ternyata tak hanya bisa dicari, tapi diciptakan. Dan mereka tengah mencipatakan kebahagiaan mereka sendiri, di sini, kali ini.

Bersambung..
         



          

No comments:

Post a Comment