Mulut-mulut itu adalah
hakim yang mengetok palu tanpa mendakwa. Mulut yang berdiri sendiri, menggeser
jaksa penuntut dan pengacara. Mulut yang menyalakan api ditengah dua orang yang
tengah berkelahi.
Bulan yang masih saja bersikukuh mengakui
bahwa dulu mentari pernah singgah dalam dunia malamnya yang hitam, sedang
mentari menyangkalnya habis-habisan dan menyanderanya dalam tuduhan-tuduhan.
Dia menelanjangi bulan pada setiap mulut yang tengah bertepuk tangan dengan
gigi-gigi bertaringnya. Melepaskan satu persatu benang kebaikan yang masih
dipakai bulan dan mempertontonkan borok-borok yang tak seharusnya menjadi
tontonan publik.
Kini
bulan adalah tersangka yang duduk di kursi panas. Dia didakwa tuntutan lain,
selain “pengakuan” atau “penyangkalan” tentang kisah bulan dan mentari, namun
dakwaan tentang borok-borok lainnya yang sengaja diangkat untuk mengalihkan
isu.
Hingga
mentari bisa tidur pulas dalam malamnya dan mulut-mulut itu juga bisa bungkam
dalam rasa puasnya, bulan justru masih terjaga
pada jam-jam di mana darah mengalir di mana-mana dan tangannya
mengibarkan bendera kuning, bendera kekalahan, bendera pengakhiran, bendera kematian.
Barangkali
mentari tak ingin lagi berdebat jika bulan sudah menggelapar menjadi mayat.
Barangkali mulut-mulut yang serupa hakim itu akan hilang ketika bulan
tinggallah tulang belulang.
Karena ia begitu lelah, hingga ingin
segera tertidur di sana. Di balik batu bertuliskan namanya. Di balik
rumput-rumput liar yang mulai tumbuh menyelimuti hitamnya tanah.
Karena
sayang saja ternyata tak cukup untuk bersaksi tentang “pembuktian”. Karena kenangan
saja ternyata tak kuat untuk menjadi jembatan yang menyatukan tangan “pengakuan”
dan kaki “penyangkalan”. Tangan yang selalu ingin berjabat tangan dan
menuliskan pesan perdamaian dan kaki yang ingin menendang sejauh mungkin.
Bulan
kalah dan hatinya terpecah belah. Dia disemayamkan di balik jeruji
tuduhan-tuduhan. Dia dikenang dalam rangkaian kecaman-kecaman. Dia berbalik
dengan memikul bukti-bukti “hubungan” dan “kemesraan”.
Dia tahu bahwa tak akan ada kemenangan
dalam sidang pada terik siang. Dia mengerti bahwa mentari adalah raja di mana
setiap pasang mata terjaga kali ini. Siang adalah kewenangan bagi mentari untuk
“menumbuhkan” atau “menghanguskan”. Dan bulan telah hangus sebelum berkata-kata
lebih banyak dan memperlihatkan apa saja yang ia bawa.
Bulan
tahu bahwa tak pernah ada tempat baginya pada siang hari. Bulan tahu bahwa akan
sia-sia mengingatkan seorang manula akan kisahnya dimasa muda. Bulan tahu bahwa
datang pada siang hari dan berseteru dengan mentari seperti tengah mendatangi
kuburannya sendiri.
Dan
kali ini bulan menyerah dan berusaha lupa seperti “dia” yang tak pernah ia
kenali didunia nyata. Seperti cahaya yang tak dapat ia lihat saat bumi terang
benderang. Seperti kehangatan yang tak ia dapatkan saat musim panas
memenjarakan kedinginan.
Tapi,
dalam malam, bulan akan mengingatnya. Mengingatnya sebagai malaikat dan setan.
Mengingatnya sebagai penerang dan pembawa kegelapan. Mengingatnya sebagai
petarung dan pengecut yang menyangkal keberaniannya berperang dengan setangkai
mawar. Mengingatnya sebagai perisai dan anak panah. Mengingatnya sebagai
pelindung dan pembunuh.
Bulan
telah mengakhiri catatan tentang mentari pada halaman terakhir di mana senyum
masih menjadi judul bagi sepasang penerang bumi. Dan kini, mereka berjalan
berjauhan, membawa “kebenaran” yang mereka yakini di dalam kepala.
Ada yang lebih menyakitkan ketika sepasang
mata terjaga dan melihat namanya dicoret di mana-mana. Mata yang dipaksa
menyaksikan mata “nya” mengoyak dia di kedalaman mata orang-orang yang
menggunjingnya.
Ada yang lebih menyakitkan ketika
mawar dan melati melukis pelangi di malam hari dan melati tak mengakuinya
dipagi hari.
Ada yang lebih menyakitkan ketika
bunga yang dulu dipupuk dan disirami lalu dibiarkan layu karena tak diharapkan
tumbuh.
Ada yang lebih menyakitkan ketika rasa
sakit tak benar-benar tahu bahwa dirinya sakit.
Ada..
Ada
banyak rasa sakit!
Ada!!
Ketika..
Bilamana..
Andaikata..
Jikalau..
Kita
menyebutnya..
Mengatakannya..
Meyakininya..
SAKIT!
No comments:
Post a Comment