Saturday, February 10, 2018

BENDERA KUNING




Mulut-mulut itu adalah hakim yang mengetok palu tanpa mendakwa. Mulut yang berdiri sendiri, menggeser jaksa penuntut dan pengacara. Mulut yang menyalakan api ditengah dua orang yang tengah berkelahi.
Bulan yang masih saja bersikukuh mengakui bahwa dulu mentari pernah singgah dalam dunia malamnya yang hitam, sedang mentari menyangkalnya habis-habisan dan menyanderanya dalam tuduhan-tuduhan. Dia menelanjangi bulan pada setiap mulut yang tengah bertepuk tangan dengan gigi-gigi bertaringnya. Melepaskan satu persatu benang kebaikan yang masih dipakai bulan dan mempertontonkan borok-borok yang tak seharusnya menjadi tontonan publik.

          Kini bulan adalah tersangka yang duduk di kursi panas. Dia didakwa tuntutan lain, selain “pengakuan” atau “penyangkalan” tentang kisah bulan dan mentari, namun dakwaan tentang borok-borok lainnya yang sengaja diangkat untuk mengalihkan isu.

          Hingga mentari bisa tidur pulas dalam malamnya dan mulut-mulut itu juga bisa bungkam dalam rasa puasnya, bulan justru masih terjaga  pada jam-jam di mana darah mengalir di mana-mana dan tangannya mengibarkan bendera kuning, bendera kekalahan, bendera pengakhiran, bendera kematian.

          Barangkali mentari tak ingin lagi berdebat jika bulan sudah menggelapar menjadi mayat. Barangkali mulut-mulut yang serupa hakim itu akan hilang ketika bulan tinggallah tulang belulang.
Karena ia begitu lelah, hingga ingin segera tertidur di sana. Di balik batu bertuliskan namanya. Di balik rumput-rumput liar yang mulai tumbuh menyelimuti hitamnya tanah.

          Karena sayang saja ternyata tak cukup untuk bersaksi tentang “pembuktian”. Karena kenangan saja ternyata tak kuat untuk menjadi jembatan yang menyatukan tangan “pengakuan” dan kaki “penyangkalan”. Tangan yang selalu ingin berjabat tangan dan menuliskan pesan perdamaian dan kaki yang  ingin menendang sejauh mungkin.

          Bulan kalah dan hatinya terpecah belah. Dia disemayamkan di balik jeruji tuduhan-tuduhan. Dia dikenang dalam rangkaian kecaman-kecaman. Dia berbalik dengan memikul bukti-bukti “hubungan” dan “kemesraan”.
Dia tahu bahwa tak akan ada kemenangan dalam sidang pada terik siang. Dia mengerti bahwa mentari adalah raja di mana setiap pasang mata terjaga kali ini. Siang adalah kewenangan bagi mentari untuk “menumbuhkan” atau “menghanguskan”. Dan bulan telah hangus sebelum berkata-kata lebih banyak dan memperlihatkan apa saja yang ia bawa.

          Bulan tahu bahwa tak pernah ada tempat baginya pada siang hari. Bulan tahu bahwa akan sia-sia mengingatkan seorang manula akan kisahnya dimasa muda. Bulan tahu bahwa datang pada siang hari dan berseteru dengan mentari seperti tengah mendatangi kuburannya sendiri.  

          Dan kali ini bulan menyerah dan berusaha lupa seperti “dia” yang tak pernah ia kenali didunia nyata. Seperti cahaya yang tak dapat ia lihat saat bumi terang benderang. Seperti kehangatan yang tak ia dapatkan saat musim panas memenjarakan kedinginan.

          Tapi, dalam malam, bulan akan mengingatnya. Mengingatnya sebagai malaikat dan setan. Mengingatnya sebagai penerang dan pembawa kegelapan. Mengingatnya sebagai petarung dan pengecut yang menyangkal keberaniannya berperang dengan setangkai mawar. Mengingatnya sebagai perisai dan anak panah. Mengingatnya sebagai pelindung dan pembunuh.

          Bulan telah mengakhiri catatan tentang mentari pada halaman terakhir di mana senyum masih menjadi judul bagi sepasang penerang bumi. Dan kini, mereka berjalan berjauhan, membawa “kebenaran” yang mereka yakini di dalam kepala.

          Ada yang lebih menyakitkan ketika sepasang mata terjaga dan melihat namanya dicoret di mana-mana. Mata yang dipaksa menyaksikan mata “nya” mengoyak dia di kedalaman mata orang-orang yang menggunjingnya.
          Ada yang lebih menyakitkan ketika mawar dan melati melukis pelangi di malam hari dan melati tak mengakuinya dipagi hari.
          Ada yang lebih menyakitkan ketika bunga yang dulu dipupuk dan disirami lalu dibiarkan layu karena tak diharapkan tumbuh.
          Ada yang lebih menyakitkan ketika rasa sakit tak benar-benar tahu bahwa dirinya sakit.
          Ada..
Ada banyak rasa sakit!
Ada!!
Ketika..
Bilamana..
Andaikata..
Jikalau..
Kita menyebutnya..
Mengatakannya..
Meyakininya..
SAKIT!


No comments:

Post a Comment