Tuesday, February 6, 2018

Surat Terakhir



                Tak ada hujan yang luput dari pantauan langit, karena seringkali langit berangsur mendung sebelum hujan turun. Tak ada kemarau yang luput dari pantauan matahari, karena seringkali matahari berpijar lebih membara tatkala kemarau akan datang tiba-tiba.
Lalu kenapa tidak begitu yang orang lain lakukan terhadapku? Tak pernah ada tanda-tanda atau masa transisi agar aku bisa beradaptasi sebelum ditinggal pergi?
Kenapa seringkali orang datang dan pergi tanpa ingin mengetahui bagaimana hati dari orang yang ia singgahi?
Berhari-hari aku tak berhenti meratapi diriku sendiri. Berhari-hari aku mencoba menghalau rasa sakit hatiku sendiri.

          Mengapa orang lain begitu mencintai dirinya sendiri, hingga angkat kaki tanpa permisi untuk ke luar dari taman yang baru saja bersemi tadi pagi? Kenapa aku tidak bisa seperti mereka yang mampu melukai berkali-kali tanpa mau memberi penangkal nyeri?

          Aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan mengubur diriku sendiri pada harapan-harapan yang orang lain sebutkan abadi. Aku tak pernah membayangkan bahwa diriku mereka anggap ibarat terminal, hanya tempat “menunggu” tatkala kendaraan yang akan mereka naiki belum tiba. Dan mereka akan pergi tergesa-gesa tatkala kendaraan itu datang, tanpa mau pamit atau melambaikan tangan pada terminal yang telah menemaninya “menunggu” dan melindunginya dari terik mentari atau hujan, serta mempersilahkannya duduk dan bersandar agar merasa nyaman.

          Aku tak pernah membayangkan bahwa aku tak pernah sekalipun diperjuangkan. Bahkan untuk sekedar disodori bukti dari tulusnya “hati” yang seringkali berucap tentang kata “mencintai”.

          Kali ini aku benar-benar merasa sakit dan tak ingin bangkit. Seringkali cermin tak memperlihatkan kebahagiaan, sekalipun aku meronta-ronta ingin bahagia.
Kali ini aku tak mengerti sama sekali, kenapa aku selalu layak untuk ditinggal pergi? Nyeri..

Bandung, 29 Desember 2017
x

No comments:

Post a Comment