Tak ada hujan yang luput dari pantauan
langit, karena seringkali langit berangsur mendung sebelum hujan turun. Tak ada
kemarau yang luput dari pantauan matahari, karena seringkali matahari berpijar
lebih membara tatkala kemarau akan datang tiba-tiba.
Lalu kenapa tidak begitu yang orang lain
lakukan terhadapku? Tak pernah ada tanda-tanda atau masa transisi agar aku bisa
beradaptasi sebelum ditinggal pergi?
Kenapa seringkali orang datang dan pergi
tanpa ingin mengetahui bagaimana hati dari orang yang ia singgahi?
Berhari-hari aku tak berhenti meratapi
diriku sendiri. Berhari-hari aku mencoba menghalau rasa sakit hatiku sendiri.
Mengapa
orang lain begitu mencintai dirinya sendiri, hingga angkat kaki tanpa permisi
untuk ke luar dari taman yang baru saja bersemi tadi pagi? Kenapa aku tidak
bisa seperti mereka yang mampu melukai berkali-kali tanpa mau memberi penangkal
nyeri?
Aku
tak pernah membayangkan bahwa aku akan mengubur diriku sendiri pada
harapan-harapan yang orang lain sebutkan abadi. Aku tak pernah membayangkan
bahwa diriku mereka anggap ibarat terminal, hanya tempat “menunggu” tatkala
kendaraan yang akan mereka naiki belum tiba. Dan mereka akan pergi tergesa-gesa
tatkala kendaraan itu datang, tanpa mau pamit atau melambaikan tangan pada
terminal yang telah menemaninya “menunggu” dan melindunginya dari terik mentari
atau hujan, serta mempersilahkannya duduk dan bersandar agar merasa nyaman.
Aku
tak pernah membayangkan bahwa aku tak pernah sekalipun diperjuangkan. Bahkan
untuk sekedar disodori bukti dari tulusnya “hati” yang seringkali berucap
tentang kata “mencintai”.
Kali
ini aku benar-benar merasa sakit dan tak ingin bangkit. Seringkali cermin tak
memperlihatkan kebahagiaan, sekalipun aku meronta-ronta ingin bahagia.
Kali ini aku tak mengerti sama sekali,
kenapa aku selalu layak untuk ditinggal pergi? Nyeri..
x
No comments:
Post a Comment