Wednesday, February 7, 2018

PERNAH DENGANNYA



            Lampu-lampu kota malam ini dan dingin yang seringkali tak aku habiskan sendirian. Jam-jam yang biasanya mengalir hangat dengan dua cangkir kopi dan tawa renyah. Wajahnya yang rupawan dan wangi parfum yang semerbak.
Ingatan-ingatan yang sudah dikubur sejak lama, lalu muncul lagi tiba-tiba tatkala untuk pertama lagi aku melihat tangannya dari jauh setelah tiga bulan lamanya. Tangan yang menggenggam banyak rahasia. Lengan yang pernah merangkul kesepian, jari-jari tangan yang berkali-kali mengusap airmata dan menghapus kesedihan.
Dia dan riuh ricuh orang-orang yang berlalu-lalang. Dia dan suara-suara lain yang tak bisa aku dengarkan. Dia dan teman-temanku yang aku acuhkan. Dia dan hanya dia yang tengah menciptakan gempa dan debaran-debaran. Dia dan mata yang tak bisa aku lihat lebih dekat. Dia dan rasa yang ternyata masih ada. Dia dan kebekuan yang membuat langkah ingin berlari sejauh mungkin karena tak kuasa menahan buncahan-buncahan.

            “Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”

Ujarku dalam hati, mengutuk diri sendiri yang mematung di sana, dengan lidah kelu dan tak bisa menatapnya yang tampak biasa saja. Ada banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh logika. Seperti perasaan-perasaan yang muncul lagi setelah sekian lama menghilang begitu saja. Bahkan  sejak tujuh bulan yang lalu, rasa terhadapnya sudah benar-benar tak ada dan diapun juga mengetahuinya karena sejak itu aku mulai tertarik dengan orang yang tidak pernah dia sukai.

            Tapi, kali ini lain dari biasanya. Aku bahkan tak sekalipun mampu untuk menatap matanya atau berbicara dengan tenang tanpa ada rasa gugup dan salah tingkah. Aku menjauh, padahal hati ingin bertemu. Aku berpaling, padahal hati rindu. Aku bersedih, padahal hati bersuka cita.

            “Apa-apaan ini? Ini gila!!”

            Dan di sepanjang jalan yang tak ada lagi lambaian tangan. Di sepanjang jalan ketika derap langkah kaki tengah “meninggalkan”. Di sepanjang jalan ketika jarak lalu membungkam kerinduan. Rinduku justru semakin menggebu-gebu.

            Hai angin, ingatkah dia bahwa kita seringkali duduk di bawah naungan malam dengan kelap-kelip lampu-lampu kota?
Ingatkah dia tentang bangku-bangku yang kita duduki berjam-jam hanya untuk berbincang-bincang, padahal tak ada yang benar-benar penting untuk diperbincangkan.
Ingatkah dia tentang sudut-sudut jalan, tikungan, hutan, lembah, gunung dan tebing yang kita singgahi bersama hanya untuk melepas kerinduan?
Ingatkah dia tentang perasaan-perasaan yang mulanya kita sanggah habis-habisan, namun berakhir dengan kata “sayang” dan “pengakuan-pengakuan” yang mengejutkan?
Ingatkah dia bahwa kita pernah saling jatuh cinta?
Ingatkah?

            Mengingatnya, seperti membuka kembali luka yang sulit untuk disembuhkan. Mengingatnya, ibarat mengingat selimut yang pernah menghangatkan ditengah musim hujan. Mengingatnya, seperti mengingat gerimis yang turun dipuncak musim kemarau. Mengingatnya, ibarat mengingat jalan pulang yang sekian lama ditinggalkan. Mengingatnya, seperti mengingat yang tak bisa diingat dan kembali teringat.

Pernah dengannya? Pernah..
Sekali saja, lalu terulang,
Berulang-ulang..
Sekarang!

No comments:

Post a Comment