Lampu-lampu
kota malam ini dan dingin yang seringkali tak aku habiskan sendirian. Jam-jam
yang biasanya mengalir hangat dengan dua cangkir kopi dan tawa renyah. Wajahnya
yang rupawan dan wangi parfum yang semerbak.
Ingatan-ingatan yang sudah dikubur sejak
lama, lalu muncul lagi tiba-tiba tatkala untuk pertama lagi aku melihat
tangannya dari jauh setelah tiga bulan lamanya. Tangan yang menggenggam banyak
rahasia. Lengan yang pernah merangkul kesepian, jari-jari tangan yang
berkali-kali mengusap airmata dan menghapus kesedihan.
Dia dan riuh ricuh orang-orang yang
berlalu-lalang. Dia dan suara-suara lain yang tak bisa aku dengarkan. Dia dan
teman-temanku yang aku acuhkan. Dia dan hanya dia yang tengah menciptakan gempa
dan debaran-debaran. Dia dan mata yang tak bisa aku lihat lebih dekat. Dia dan
rasa yang ternyata masih ada. Dia dan kebekuan yang membuat langkah ingin
berlari sejauh mungkin karena tak kuasa menahan buncahan-buncahan.
“Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”
Ujarku dalam hati, mengutuk diri sendiri
yang mematung di sana, dengan lidah kelu dan tak bisa menatapnya yang tampak
biasa saja. Ada banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh logika. Seperti
perasaan-perasaan yang muncul lagi setelah sekian lama menghilang begitu saja.
Bahkan sejak tujuh bulan yang lalu, rasa
terhadapnya sudah benar-benar tak ada dan diapun juga mengetahuinya karena
sejak itu aku mulai tertarik dengan orang yang tidak pernah dia sukai.
Tapi,
kali ini lain dari biasanya. Aku bahkan tak sekalipun mampu untuk menatap
matanya atau berbicara dengan tenang tanpa ada rasa gugup dan salah tingkah.
Aku menjauh, padahal hati ingin bertemu. Aku berpaling, padahal hati rindu. Aku
bersedih, padahal hati bersuka cita.
“Apa-apaan ini? Ini gila!!”
Dan
di sepanjang jalan yang tak ada lagi lambaian tangan. Di sepanjang jalan ketika
derap langkah kaki tengah “meninggalkan”. Di sepanjang jalan ketika jarak lalu
membungkam kerinduan. Rinduku justru semakin menggebu-gebu.
Hai angin, ingatkah dia bahwa kita
seringkali duduk di bawah naungan malam dengan kelap-kelip lampu-lampu kota?
Ingatkah
dia tentang bangku-bangku yang kita duduki berjam-jam hanya untuk
berbincang-bincang, padahal tak ada yang benar-benar penting untuk
diperbincangkan.
Ingatkah
dia tentang sudut-sudut jalan, tikungan, hutan, lembah, gunung dan tebing yang
kita singgahi bersama hanya untuk melepas kerinduan?
Ingatkah
dia tentang perasaan-perasaan yang mulanya kita sanggah habis-habisan, namun
berakhir dengan kata “sayang” dan “pengakuan-pengakuan” yang mengejutkan?
Ingatkah
dia bahwa kita pernah saling jatuh cinta?
Ingatkah?
Mengingatnya,
seperti membuka kembali luka yang sulit untuk disembuhkan. Mengingatnya, ibarat
mengingat selimut yang pernah menghangatkan ditengah musim hujan. Mengingatnya,
seperti mengingat gerimis yang turun dipuncak musim kemarau. Mengingatnya,
ibarat mengingat jalan pulang yang sekian lama ditinggalkan. Mengingatnya,
seperti mengingat yang tak bisa diingat dan kembali teringat.
Pernah
dengannya? Pernah..
Sekali
saja, lalu terulang,
Berulang-ulang..
Sekarang!
No comments:
Post a Comment