Airmata senja tertahan di balik wajahnya yang tengah memucat di balik terang bulan. Rumput-rumput kering dan pantulan cahaya tanpa siluet malam tengah berarak mengiringi rasa sakit yang dia ciptakan sendiri dengan torehan-torehan luka.
Hati bergumam tentang khayalan. Tentang rencana-rencana yang lalu runtuh oleh babak baru dari skenario kebohongan. Dia, dengan antrian nama-nama yang tersembunyi di balik sandiwaranya akan kata “setia”. Dia, dengan drama tanpa judul yang berkali-kali menyisakan airmata di akhir ceritanya. Dia, dengan tawanya yang khas yang akan menyeringai ketika mampu membuat tangis berkeliaran jatuh pada rasa sakit.
Aku selalu salah menjatuhkan rasa. Menanam benih dan menyemai cuaca tanpa tahu aturannya. Aku terlalu mudah percaya akan janji dan ucapan kata-kata dari bibir-bibir sang pendusta. Aku tak pernah paham akan kemarau yang meruntuhkan dinginnya penghujung malam. Aku tak pernah mengerti akan hujan yang kerapkali datang diantara linangan airmata kesedihan.
Guguran bunga kertas dalam hati seakan menandai awal dari nyeri yang dia hadiahi dibulan Juli. Bulan dimana angin menerbangkan sepucuk harapan ditengah tandusnya pengharapan. Bulan dimana tanggal-tanggalnya mengoyak rasa lupa tentang diri yang kian terlupa akan kata “dicintai”.
Kini, tak ada lagi tempat bagi judul-judul puisi yang telah tergerus oleh norma dan realita. Materi yang lalu menjembatani hati kian memenangkan pertaruhan antara sang pecundang dan pangeran. Kalah, dan hari-hari akan semakin penuh oleh sorak-sorai pemuja uang.
Sepi telah kembali menjadi bait-bait yang paling diminati ketika kasih sayang tercabik-cabik oleh luka dan kebohongan. Sendiri kini menjadi bab baru dari tahun-tahun paling menyeramkan dari tragedi-tragedi menyakitkan akan kehidupan. Selamat datang luka, aku kembali berduka.
No comments:
Post a Comment