Thursday, October 28, 2021

GULA JAWA


 

    Bukan kembang gula, manis tapi tidak memakai warna. Manis, namun tidak beraneka rupa. Aku suka sisi gelapnya. Hitam, legam, namun memiliki rasa. Murni dan manisnya adalah sejati. Gula jawa, kejora lain dari langit yang tengah mengusik jiwa.


    Aku suka mengamati diamnya. Selaksa yang mampu membuat jari-jariku hidup menari dalam kota impian. Dia adalah lampu malam tatkala imajinasi terpenjara dalam pintu keterbatasan. Dia adalah peta ketika aku ingin mencapai satu titik rasa. Dialah matematika, kalkulator hidup yang bisa merancang gubuk tua menjadi istana.


    Gula jawa, bukan kembang gula. Manis , namun tidak berlebihan. Aku terpesona dengan rasa, bukan dengan rupa yang menjadikan nestafa. Aku suka wanginya yang khas, aroma lain yang disuguhkan pagi tatkala hidup tak bisa lagi mengambil nafas.


    Aku butuh keberadaannya pada secangkir kopi pahit yang aku seduh setiap hari. Aku butuh rasa manis pada pahitnya rasa yang aku teguk tanpa gula. Aku menikmatinya, hingga kemudian rasa manis itu berangsur-angsur hilang, meninggalkan kopi pahit yang selamanya tetap pahit.


    Kini, aku paham tentang arti sebuah keberadaan, kesementaraan. Tentang rasa panas yang pelan-pelan menguap dan menjadi dingin. Tentang rasa dingin yang kemudian mengembun pada segelas kaca yang lalu membuatnya biasa. Ada begitu banyak perubahan dalam setiap fase kehidupan yang membuatku mengerti bahwa banyak hal yang tidak pernah abadi.


    Seperti gula jawa, manisnya ibarat sebuah rasa sabar yang perlahan-lahan terkikis oleh amarah. Tulusnya bisa mengendur oleh getirnya ujian hidup yang kadang-kadang melampaui batas pikir seorang manusia. Gula jawa yang kemudian bisa habis dan tak bisa lagi membuat secangkir kopi menjadi manis.


    Kini, yang pahit aku biarkan menjadi pahit. Aku ingin kopi tetap bisa menjadi dirinya sendiri. Kopi yang tak akan bisa semanis gula, tapi wanginya tetap menggugah selera. Aku tak ingin lagi menjadikan rasa pahit sebagai alasan agar gula datang untuk memberikannya sedikit rasa manis. Sebab rasa manis yang sebenarnya ternyata bukanlah dari gula, namun dari rasa syukur ketika lidah masih mampu mengecap rasa.


    Gula jawa, aku akan tetap mengingatnya sebagai “rasa manis” ketika kopiku terasa begitu pahit. Terimakasih telah membuat aku menikmati secangkir kopi yang aku seduh setiap pagi. Terimakasih banyak, manis itu kini telah aku jadikan pelangi, pada kembang gula yang aku cicipi hari ini.


   

Sunday, October 17, 2021

KOTAK ILUSI

 


    “Hai Moy, selamat datang didunia ilusi. Sebuah ruang hampa dimana tak ada lagi hukum gravitasi. Tak ada batas, tak ada ujung dan tak ada aturan baku yang bisa memenjarakan kreativitasmu. Di sini kamu bisa bebas mengambil gambar dan warnamu sendiri. Hitam atau pun putih tidak akan ada yang menyalahkan. Bukalah matamu dan rasakan ruang hampa ini. Duniamu melayang, ringan dan sunyi. Perkenalkan, aku Nay!”


    Bergerak memutar, nyaris hanya bola mataku yang menjelajah semua tempat ini. Monokrom, hitam dan banyak titik cahaya putih bertaburan melingkar seperti bintang-bintang. Tubuhku melayang dengan wajah menengadah ke atas. Ringan, tidak ada beban apa-apa. Tak ada kebisingan, kegaduhan, bahkan suara degup jantung pun terdengar begitu halus.


    “Nay, apakah aku sedang bermimpi? Nay, apakah kamu laki-laki atau perempuan? Kenapa aku tidak bisa melihatmu? Suaramu membuatku tidak bisa menebak jenis kelaminmu!”


    Nay, satu nama dalam kotak ilusi yang baru saja memperkenalkan dirinya sendiri. Tak berwujud, tak berupa, hanya bersuara, bergetar dan menghantarkan fibrasi.


    “Kamu tidak sedang bermimpi, tapi kamu baru saja terbangun. Aku bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Aku bisa menjadi apa saja yang kamu mau. Laki-laki atau perempuan, hewan atau tumbuhan, kemarau atau hujan, semua hanya ilusi. Apa yang kamu lihat selama ini pun hanya fatamorgana yang terbentuk oleh kepadatan cahaya dan getaran. Sejatinya semua kosong. Dan yang ada hanyalah kamu dan siapa yang telah membuatmu ada!”


    Kotak ilusi dan rahasia fibrasi yang selama ini telah memancarkan frekuensi ke segala penjuru dunia. Dan manusia-manusia berbaris dengan antenanya sendiri. Merangkum gambar dan rasa yang telah dia dapatkan dari sinyal-sinyal yang bisa ditangkapnya. Semua yang terekam kemudian menjadi benda padat yang bisa dinamai dan diklasifikasikan ke dalam kelompok-kelompok. Mereka lalu memberinya nama, memberikannya pembeda, sehingga kemudian semua menjadi begitu rumit.


    Aku tengah mengasingkan rasionalitasku ke dalam dimenasi lain yang tidak bisa dikenali oleh logika. Aku ingin mulai paham akan dasar dari sebuah penciptaan. Aku ingin mengerti tentang partikel-partikel terkecil yang membuat kita bisa merasakan tentang apa itu mencintai.

Sebab aku pernah terbangun dan membawa rasa sakit dan rindu yang begitu dalam pada ilusi yang mereka namakan mimpi, padahal sudah sejak lama rasa itu aku kira sudah tidak pernah ada lagi. Aku ingin jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang masih aku gantungkan pada denting ketidakpastian yang semakin menua dan berkarat dimakan senja.


    “Nay, aku sangat lelah dengan aturan. Aku ingin beristirahat, namun belum waktunya aku untuk bisa tertidur lelap. Aku butuh lampu ajaib yang bisa membuat semuanya berubah seperti apa yang seharusnya terjadi. Aku telah membuat banyak kekacauan. Aku telah membuat diriku sendiri bingung. Entahlah, aku merasa begitu terasing dan sunyi. Bisakah kamu menampakkan diri?”


Aku kemudian bisa melihat Nay dalam wujud seperti yang aku mau. Tubuhnya, rambutnya, baunya, suaranya, nyaris tak ada yang meleset dari apa yang aku bayangkan sejak lama. Dia tersenyum dan memeluk dengan begitu erat.


“Bahagia! Dan jadilah bahagia! Kamu hanya perlu tersenyum dan bahagia!”


Nay masih memelukku erat, membuat kata “bahagia” menjadi melodi lain yang mampu menggerakkan titik-titik airmata ke pundaknya. Apakah ini arti dari memeluk tubuh sendiri? Apakah inilah arti dari menyandarkan harapan pada afirmasi yang diucapkan sendiri?


    “Nay, aku sudah tidak tahu lagi bagaimana mengembalikan telur-telur itu ke sarangnya, sedangkan semua telur yang sudah aku ambil telah aku habiskan tanpa sisa. Aku kira ayamku akan bertelur lebih banyak dari telur-telur yang sudah aku ambil, tapi ayamku ternyata hanyalah ayam mainan yang tidak akan pernah bisa bertelur sampai kapanpun.”


Nay tersenyum tulus dan kedua tangannya menepuk pundak manusia yang tengah kehilangan harapan ini.


    “Segala sesuatu di dunia ini memiliki nilainya sendiri. Kamu bisa memberi harga sesuai dengan apa yang kamu mau. Siapa bilang ayam mainan ini tidak bisa menghasilkan telur? Siapa bilang ayam mainan ini tidak bisa membuatnya bisa membeli ayam hidup yang mampu bertelur? 

Kamu telah membatasi dirimu sendiri dengan berbagai analogi ketidakmungkinan yang membuat ide dan harapan kemudian mati begitu saja. Bayangkan saja, seorang public figur pun bisa menjual mainan itu dengan harga 100x lipat dari harga produksi mainan itu sendiri. Apa yang membuat mainan itu berbeda? Bukan mainannya yang berbeda, tapi cara kamu menempatkan dan memberi nilai pada mainannya yang membuatnya berbeda. Mungkin kamu pernah membeli air mineral di pasar, di tempat pariwisata dan di CafĂ© dan harga air mineral itu berbeda-beda, padahal memiliki merk yang sama, lalu apa yang membuat yang satu bisa lebih mahal dari yang lain? Kamu tentu tahu jawabannya. Tempat, pengemasan, dan cara kamu menjual adalah cara yang bisa menaikkan harga sebuah produk. Jadi, berpikirlah dengan lebih bijak. Ide-ide dalam kepalamu tentu jauh lebih mahal dibandingkan dengan ayam mainan ini. Idemu bahkan bisa menghasilkan telur-telur emas yang mampu membuatmu mendirikan sebuah peternakan ayam. Ayo, bangkitlah! Harapan tidak pernah kalah oleh kesedihan!”


    Cahaya benderang berpendar memenuhi isi kepala. Terang, jelas dan terasa begitu membantu perjalananku ketika membaca peta.


“Terimakasih Nay! Tapi, apakah harapan itu masih ada? Meskipun waktu yang kita miliki sudah tidak banyak lagi?


Nay menatap bola mata yang masih penuh dengan ketidakyakinan akan hidup. Wajah Nay semakin mendekat, tak berkedip. Tatapannya seakan berbicara banyak hal akan harapan.


    “Kali ini kamu harus belajar lagi tentang apa itu waktu dan siapa yang telah menciptakan waktu. Bukankah waktu di ruang hampa dan di dunia berbeda? Bukankah hanya sang pemilik waktu yang bisa mengubah-ubah jarum jamnya? Kamu hanya perlu mengenal-Nya lebih dekat dan dia akan memberikan apa saja termasuk ketidakmungkinan yang selama ini membuatmu resah!”


    “Mengenal-Nya? Bagaimana cara aku mengenal-Nya?”


Nay tersenyum dan menghela nafas panjang.


    “Dengan cara mengenal dirimu sendiri!”