Bukan kembang gula, manis tapi tidak memakai warna. Manis, namun tidak beraneka rupa. Aku suka sisi gelapnya. Hitam, legam, namun memiliki rasa. Murni dan manisnya adalah sejati. Gula jawa, kejora lain dari langit yang tengah mengusik jiwa.
Aku suka mengamati diamnya. Selaksa yang mampu membuat jari-jariku hidup menari dalam kota impian. Dia adalah lampu malam tatkala imajinasi terpenjara dalam pintu keterbatasan. Dia adalah peta ketika aku ingin mencapai satu titik rasa. Dialah matematika, kalkulator hidup yang bisa merancang gubuk tua menjadi istana.
Gula jawa, bukan kembang gula. Manis , namun tidak berlebihan. Aku terpesona dengan rasa, bukan dengan rupa yang menjadikan nestafa. Aku suka wanginya yang khas, aroma lain yang disuguhkan pagi tatkala hidup tak bisa lagi mengambil nafas.
Aku butuh keberadaannya pada secangkir kopi pahit yang aku seduh setiap hari. Aku butuh rasa manis pada pahitnya rasa yang aku teguk tanpa gula. Aku menikmatinya, hingga kemudian rasa manis itu berangsur-angsur hilang, meninggalkan kopi pahit yang selamanya tetap pahit.
Kini, aku paham tentang arti sebuah keberadaan, kesementaraan. Tentang rasa panas yang pelan-pelan menguap dan menjadi dingin. Tentang rasa dingin yang kemudian mengembun pada segelas kaca yang lalu membuatnya biasa. Ada begitu banyak perubahan dalam setiap fase kehidupan yang membuatku mengerti bahwa banyak hal yang tidak pernah abadi.
Seperti gula jawa, manisnya ibarat sebuah rasa sabar yang perlahan-lahan terkikis oleh amarah. Tulusnya bisa mengendur oleh getirnya ujian hidup yang kadang-kadang melampaui batas pikir seorang manusia. Gula jawa yang kemudian bisa habis dan tak bisa lagi membuat secangkir kopi menjadi manis.
Kini, yang pahit aku biarkan menjadi pahit. Aku ingin kopi tetap bisa menjadi dirinya sendiri. Kopi yang tak akan bisa semanis gula, tapi wanginya tetap menggugah selera. Aku tak ingin lagi menjadikan rasa pahit sebagai alasan agar gula datang untuk memberikannya sedikit rasa manis. Sebab rasa manis yang sebenarnya ternyata bukanlah dari gula, namun dari rasa syukur ketika lidah masih mampu mengecap rasa.
Gula jawa, aku akan tetap mengingatnya sebagai “rasa manis” ketika kopiku terasa begitu pahit. Terimakasih telah membuat aku menikmati secangkir kopi yang aku seduh setiap pagi. Terimakasih banyak, manis itu kini telah aku jadikan pelangi, pada kembang gula yang aku cicipi hari ini.
Gula jawa pasti ada di jawa bukan di hati hahaha 😂
ReplyDeleteHahaha kalau udah cinta ma rasanya ya jadinya ada dihati.wkwk
ReplyDelete