Saturday, August 8, 2015

KARMA


Senja tak akan bisa sekali-kali mengelabuiku. Pun arak-arakan awan putih yang aku lihat detik ini. Amarah dan cemburu adalah dalang yang mengikis sebagian besar bahasa dari hati. Sebuah bola pijar yang sekejap telah menghanguskan apa yang aku pelihara dalam kasih.
Aku telah menuliskanmu pada catatan harianku. Pada buncahan-buncahan bahagia yang pernah aku rasakan kala itu. Aku mempersilahkanmu masuk dan merumah pada sarang jiwa yang tak pernah terjamah. Aku memilihmu, aku menandai sebuah cahaya pada ribuan cahaya yang berkerlap-kelip di semesta. Bahagia, benar-benar bahagia.
Lalu, aku lupa bahwa aku tengah terlupa. Dua dunia yang melenyapkan hasratku untuk berjalan searah, lurus. Aku mengikutimu, mencoba memahami apa yang kau mau. Lantas aku dapat mengetahui apa itu warna, apa itu rasa. Begitu sederhananya, kita berjalan beriringan, kita tuliskan kalimat-kalimat yang kau namakan isyarat.
    Sayang, kenapa secepat ini aku harus terbangun dan membuka mata? Alam menunjukkanku bahwa semusim telah berganti. Bahwa skenario hidup tak akan selamanya seiring dengan apa yang aku mau. Kenapa secepat ini aku sadari bahwa hati akan mudah beralih? Bahwa akar hatimu tak sedalam apa yang aku miliki. Bahwa pertemuanmu dengannya membuat semuanya berubah. Begitu berubah.
Sayang, buka matamu dan lihatlah. Apa saja yang pernah kau ingat tentangku? Apa tak ada sedikitpun hal baik yang bisa kau ingat? Apa moment-moment indah itu sudah usang termakan waktu? Apakah dinginnya malam-malam yang kita lewati dalam kehangatan telah musnah dan tenggelam? Apakah foto-foto yang masih aku simpan tak sedikitpun mengingatkanmu bahwa “cinta” itu pernah ada? Bahwa kini kebencian yang kau lihat hanyalah fatamorgana dari cinta yang tengah dibakar lara.
    Aku tak bisa menerimanya. Tak akan bisa. Dia telah merampas senyumku yang baru merekah. Kau telah meracuniku dengan kebohongan. Kau pergi, menghilang, lalu kemudian datang, padahal aku bukanlah hiburanmu ditengah terik siang. Aku bukan mainanmu atau boneka mati yang tak punya rasa dan asa.
Aku begitu ingin mencabik-cabikmu, meludahinya, dan melemparkan kalian pada ruang hampa yang penuh dilema dan lara. Meski semalam kau katakan bahwa semuanya telah berakhir, dan kau menanyakan padaku apa aku puas? Tidak.
    Apa kau bisa merekatkan kembali hatiku yang retak? Yang beberapa bagian kepingannya hilang entah dimana. Apa kau bisa menghidupkan kembali jasad yang sudah mati? Apa kau kira petir yang menghantammu saat ini sudah sebanding dengan badai yang meluluhlantakkan kehidupanku? Tidak.
Kehidupan telah mengajarkan bahwa ikhlas adalah jawaban terbaik dari segala luka dan nyeri. Namun, ikhlas tak pernah bisa membuatmu berhenti berlari dari gemerlap dan liarnya teka-teki malam. Bahwa “kesempatan” tak pernah menghaluskan pikirmu yang terlanjur beringas. Bahwa sebuah hantaman mungkin akan sedikit membuatmu terkejut, namun seketika itu pula kamu sadar bahwa kamu tengah menjalani hidup. Bahwa dibalik senyum dan tawamu dengannya, ada doa dan permohonanku pada Tuhan. Bahwa hidup tak akan selamanya “baik-baik saja”.
    Apa yang bisa kau mengerti saat ini? Rasa sakit tak cukup untuk membuat bumi berhenti berputar pada porosnya. Airmatamu tak akan mampu mengganti surutnya air di lautan. Luka dan nyerimu tak sedalam jurang yang kau gali untuk menguburku. Semua tak bisa kau samakan dalam keseimbangan. Tak akan bisa.
Tak malukah kau umbar pedih dan lukamu pada mereka? Tak malukah kau membuat dia mencariku untuk menusukkan sebilah belati pembalasan?
Duduk, diam, dan tenanglah sayang. Waktu akan membasuh luka itu. Kau nyeri, pun aku. Kita hanya sedang saling melemparkan api. Namun, aku tak ingin membakarmu, dengan mudah memusnahkanmu. Entah denganmu, atau dengannya.
    Pada garis tepi yang lain, aku membuka ruang usang itu. Ada senyummu, senyumku, senyum kita. Lalu, kosong. Dia yang kau sebut kekekalan cinta telah membuatku lumpuh dan buta. Dia merampas ruang satu-satunya tempat aku merumah. Dia merampas bunga-bunga mekar pada sebagian hari yang harus aku lalui. Dia merampasmu, dan membuatmu berlari pergi.
Dadaku begitu bergejolak, berontak.
Namun, kemarin telah berlalu, pun amarah-amarah yang membuat logikaku musnah. Tuhan lalu mengungkap rahasia-Nya. Kau terluka, pun dia. Karma.  





Kecewa
Bunga Citra Lestari

Sedikit waktu yang kau miliki
Luangkanlah untukku
Harap secepatnya datangi aku
Sekali ini ku mohon padamu
Ada yang ingin ku sampaikan
Sempatkanlah..

Hampa, kesal dan amarah
Seluruhnya ada dibenakku
Tandai seketika
Hati yang tak terbalas
Oleh cintamu..

Ku ingin marah, melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri di sini
Ingin ku tunjukkan pada siapapun yang ada
Bahwa hatiku kecewa..

Sedetik menunggumu di sini, seperti seharian
Berkali ku lihat jam ditangan
Demi membunuh waktu
Tak ku lihat tanda kehadiranmu
Yang meyakiniku
Kau tak datang

No comments:

Post a Comment