Thursday, August 6, 2015

SELINGKUH

   



Bahkan petir saja perlu proses untuk kuat. Keramik-keramik cantik yang sering kau lihat, butuh api untuk kuat. Semua orang tahu, manusia butuh luka untuk kuat. Aku pernah berkali-kali jatuh cinta, sampai jatuh lagi dan jatuh cinta lagi dan jatuh lagi. Pun dirimu di sana, sebelum ataupun sesudah ada kita diantara kau dan aku.
Aroma tubuhmu menyeruak, meninggalkan sisa maaf yang tersudut. Ngilu rasanya, tapi kupikir pasti lebih baik jika kusimpan sendiri. Yang aku pikirkan hanya membuatmu tersenyum dan tertawa pada hari yang kau bilang “terakhir”. Entah aku berhasil atau tidak. Atau kau juga sedang bersembunyi sepertiku?
Hati manusia memang rumit. Isi kepalamu juga rumit. Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena ini bukan lagi tentang tanganku dan tanganmu. Mungkin rasa rinduku pada-Nya, sehingga Dia memanggilku lebih nyaring dari suara hatiku sendiri.
Hidup memang permainan. Bukan tentang si jago dan si pintar, tapi tentang siapa yang lebih mengerti bahwa banyak hal yang tak bisa dimengerti. Namun, hati bukanlah tempat bermain, kau tau itu.
Karena jatuh cinta tidak sebercanda itu. Karena memilihmu tidak seperti memilih pakaian ditoko. Karena menyayangimu adalah kelemahanku.
Sayang, aku minta maaf. Aku tau ini berat untuk kita. Kita sama-sama kehilangan. Tapi aku telah memilih. Seperti yang kau bilang disuratmu. Jaga dirimu baik-baik. Cintai dirimu seperti kau mencintaiku. Aku bahagia sekali hari ini. Terimakasih

Senja, 16 November 2014

    Itu suratmu. Surat yang masih bertengger pada barisan pertama di emailku. Jingga, begitu aku menamakannya. Dia tidak begitu menarik. Wajahnya biasa saja. Otaknya pas-pasan dan hal-hal lainnya yang mungkin hanya orang yang sedang jatuh cinta saja yang mempertahankan, merebut kembali, lalu mengejarnya. terkesiap berlari, membabi buta.
Namanya Jingga. Dia tidak indah. Dia adalah parasit paling cerdik yang bisa menarik siapapun ke pusaranya. Menjebak bunga-bunga tak berakar untuk memberikan energi padanya, memeliharanya, membiarkan dia tumbuh, hingga kau lupa bahwa kau telah melukai dirimu sendiri, layu, mengering, mati dan terhempas angin.
Jingga, suratmu hanya sebatas surat isapan jempol kaki. Bukankah setelah itu lalu kau datang lagi, mendaratkan harapan-harapan tanpa perisai hati. Mencoba memupuk kembali rasa yang telah aku tenggelamkan pada bejana-bejana tanpa nampan. Namun, sepertinya kau selalu bersiap. Menghisap deretan magnet-magnet kecil yang bisa membuatmu semakin kokoh dan kau mencampakan bunga-bunga layu dan kering yang tak bisa lagi kau ambil saripatinya.
    Jingga, hati bukanlah tempat bermain. Bukankah itu yang pernah kau ucapakan?? Namun, kau selalu melumat ludahmu sendiri. Menjilatnya berkali-kali, hingga kau lupa bahwa ada hati yang kau lukai dengan lincahnya. Bahwa ada airmata yang terus bergerimis tatkala kau menghunus dia tanpa kata-kata.
Dini hari yang tak akan pernah terlupa, ketika jari-jari-Nya bekerja. Dia menunjukkanku. Dia memperlihatkannya. Dia menampakkan padaku tentang pengkhianatan, tentang pemanfaatan.
Bukankah baru kemarin kita kembali merajut asa?? Bulan April dan Mei tepat ditahun ini, kita bercengkrama dalam senyuman. Kita bersama-sama melepas rindu, berpetualang. Lalu setelahnya?? Kau menghilang..
    Jingga, adalah benar dia sempurna. Adalah benar dia yang kau sebut “kekekalan cinta”. Dan adalah benar bahwa kau bisa lebih banyak mendapatkan manfaat darinya. 3 tahun bagimu bisa begitu saja berlalu dan bulan-bulan seumur jagung dengannya dengan mudah menghipnotismu. Baiklah, kau bisa menyetirnya sekarang. Dia tengah terbuai.
Lalu, sesaat aku lupa diri dan aku beringas menghantammu. Aku kobarkan marah yang tengah berapi-api. Aku ledakkan. Doa, airmata, sakit hati dan dendam yang terkesiap memicu diri membuatku tak mengenali di mana ujung nyeri.
Ingin aku menjejalimu, mendudukanmu pada kursi ingatan yang kita letakkan pada memoar lama yang tersimpan. Aku begitu marah, teramat marah, hingga aku tak bisa merasakan panasnya sengatan mentari dan panasnya api pada tungku perapian. Aku tengah menjelma, pada rupa merah menyala, pada binar-binar mata yang kelak bisa memenjarakanmu pada penjara karma.
    Benar katanya, pun kata mereka. Kau adalah jalang, pecundang hati tanpa harga diri. Kau adalah malaikat, tapi sebatas topengnya saja. Kau adalah penyihir. Kaulah bunglon, sang hedonis yang berjalan tanpa kaki, tanpa jati diri.
Ingin sekali aku berandai-andai, membuatmu pincang dan membiarkan matamu buta. Bukankah dengan begitu kau tau apa arti ketidakberdayaan. Apalagi yang bisa kau perbuat jika kau lumpuh dan buta?? Masihkah kau akan bermain?? Tertawa-tawa dalam airmata oranglain.
    Jingga, kali ini kau menang. Tapi bukan berarti aku kalah. Diamku adalah permohonan, sedihku adalah peringatan dan marahku anggaplah itu setan. Namun, hari ini Dia mengetuk hatiku, membuka pintunya lebar-lebar dan memelukku. Dia tersenyum. Aku menangis sejadinya, Dia menghiburku, Dia memanjakanku dan Dia berkata, “Aku bersamamu, kau tak sendirian!”
Dia itu teman, Dia kekasih yang penuh ketulusan, Dialah Tuhan.

( 1 Agustus, dini hari yang panjang)

No comments:

Post a Comment