Aku telah menjadi tahanannya dalam semalam. Tatkala suara-suara dalam ruangan terdengar mengaum dan sekumpulan orang berlalu-lalang di mana-mana. Semua telah memenuhi kursinya masing-masing dan cahaya disekelilingku kini padam. Tinggallah cahaya-cahaya terang yang fokus menyorot kepada sang bintang yang kini tengah berjalan dengan anggun di atas karpet merah, ditengah-tengah lautan manusia yang kini bersorak-sorai untuknya dan memujanya sebagai idola.
Dia. Aku hanya melihatnya, bukan sang bintang. Bukan sosok kharismatik yang telah menyihir jutaan manusia karena sifat keibuan, kedermawanannya, serta karya tangannya yang luar biasa indah, kebaya.
Aku hanya melihatnya, hanya dia. Dia yang kini berada tepat disebelahku, dengan atasan bolero batik berwarna hijau motif bunga, dipadukan dengan rok batik berwarna cokelat, sepatu high heels, tas songket Bali dan rambut disanggul, dia sungguh menawan. Tubuhnya begitu wangi oleh minyak zaitun dan wajahnya memancarkan kebahagiaan lain yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku terpesona.
Setiap wajah yang aku lihat malam ini serupa wajahnya. Aku melihatnya di setiap sudut ruangan ini. Sementara dia sibuk dengan kameranya yang tengah memotret sang bintang, aku justru sibuk dengan perasaanku yang membuncah-buncah tak terkendali. Aku tertawan oleh pesonanya malam ini. Tanganku meraba tangannya yang terasa begitu halus. Aku menggenggamnya erat dan tak ingin melepaskannya begitu saja. Dia menatapku seraya tersenyum dan bersandar di atas bahuku. Dia begitu wangi.
“Kamu cantik malam ini!”
Pujiku dalam hati. Aku tidak ingin mengutarakannya sekarang. Aku hanya ingin membiarkannya mengagumi idolanya yang kini tengah bersinar di depan matanya.
Sepanjang acara digelar, aku hanya tertidur dan tidak begitu memperhatikan pagelaran yang ada di atas panggung. Hingga acara kemudian selesai, dia lalu membangunkanku yang tertidur pulas.
“Heh, bangun!! Kamu daritadi tidur?? Terus, ngapain ke sini kalau ga liat pagelarannya??”
Aku tersenyum mendengar celotehannya yang menyayangkan aku tidur ditengah-tengah orang yang menyaksikan pagelaran ini dengan antusias tinggi.
“Aku cuma pengen nemenin kamu. Aku seneng karena kamu juga keliatan seneng banget. Oya, kamu cantik malem ini.”
Dia tampak begitu senang saat aku memujinya, sampai-sampai dia pura-pura tidak mendengar dan ingin aku mengulang ucapanku.
“Hah?? Kamu bilang apa barusan?? Tumben muji.”
Dia lalu tertawa dan memukul pundakku, karena selama ini aku jarang sekali memujinya.
“Kamu cantik.”
Ucapku singkat seraya tersenyum dan berjalan diantara kerumunan orang yang hendak ke luar dari gedung. Tapi, belum sempat aku berjalan, dia kemudian menarik tanganku hingga aku menghadap ke arahnya. Dia lalu tersenyum begitu manis.
“Liat, penampilan kamu malam ini mirip seorang designer. Sini aku foto, kamu cakep.”
Dia lalu memotret diriku yang berdiri mematung tanpa bisa bergaya sedikitpun, kaku. Kita lalu difoto berdua layaknya sepasang kekasih yang ingin mengabadikan moment indah ini, karena jarang sekali kita difoto berdua dengan mengenakan baju tradisional.
Di sepanjang perjalanan pulang, di dalam Taxi, aku terus memegang tangannya dan mencium wangi minyak zaitun yang kini begitu aku sukai. Aku lalu melihatnya dari jarak dekat. Aku masih tak bisa mempercayai bahwa dia adalah milikku. Semua terasa seperti mimpi dan aku masih saja menjatuh cintainya berkali-kali. Dia, perempuanku.
Hingga dia terlelap begitu pulas di atas kasur, lalu lampu kamar ini dimatikan, aku masih saja memandanginya dalam keremangan. Aku belai wajah itu dan tak kuasa memeluknya dengan begitu erat. Sesaat aku menitikkan air mata karena begitu bahagia dengan jarak sedekat ini dengannya. Dia, perempuanku.
***
Seindah mawar, semungil melati
Dikau cemerlang wanita
Semerbak wangi, sejinak merpati
Dikau senandung di cita
Gerak gayamu ringan
Memikat hati muda taruna
Mekar bersinar, menyilaukan mata
Halus wanita bak sutra dewangga
Senyummu meruntuhkan mahkota
Gerak gayamu ringan
Memikat hati muda taruna
Mekar bersinar, menyilaukan mata
(Afgan-Wanita)
Lagu itu diam-diam membangunkan kembali raksasa yang tengah tertidur pulas dalam diri, hati. Lalu dengan seketika, wajahnya terlihat begitu jelas di depan mata. Senyum terakhirnya, cara berjalannya, wangi minyak zaitun dari tubuhnya dan segudang hal lain yang berkaitan dengannya di malam itu.
Lalu, ada yang memberontak dan memaksa untuk keluar dengan seketika, airmata. Dan sosok perempuan itu ibarat udara yang tak berhenti aku hirup setiap detiknya. Udara yang setiap saat bercengkrama denganku, dengan kehidupanku. Lalu ada sesuatu yang dengan paksa merenggutnya, menghilangkannya dan dia kemudian benar-benar binasa, seperti tidak pernah ada.
Dingin, lalu hujan dan petir bersua bersamaan, bersahutan. Dan lagu itu masih diputar berulang-ulang, memaksa para penumpang untuk mendengarnya tanpa persetujuan. Pahit, getir dan semua menetes seperti rintik-rintik hujan yang aku lihat pada dinding-dinding kaca bis ini.
Apakah ini yang mereka sebut rindu? Rasanya seperti kulit yang tengah disisit dengan silet yang begitu tajam, perih.
Sebuah lagu ternyata bisa menghidupkan kembali kenangan yang telah mati, hingga berangsur-angsur rohnya menyusup pada ruang, tempatnya dulu pernah bersemayam. Dia lalu menciptakan rasa, suasana dan situasi-situasi yang nyaris sama seperti yang pernah dia lewati sebelumnya.
Perempuanku, rasanya baru kemarin aku melihatnya pada jarak yang begitu dekat. Rasanya baru kemarin aku memeluk dan memegang tangannya dengan sangat erat. Rasanya baru kemarin aku mendengar suaranya dan berada didekatnya setiap saat.
Perempuanku, benar katanya tentang waktu. Benar katanya bahwa waktu tidak pernah mau menunggu. Dan aku pernah mengulurnya berkali-kali, menemuimu. Aku menelantarkan rasa-rasamu yang riuh gaduh, karena aku mengira bahwa aku masih punya banyak waktu. Karena aku mengira bahwa waktu akan senantiasa menungguku, namun aku salah. Waktu bahkan berlari dengan sangat kencang. Dia menanggalkan sisa-sisa dari kenangan dan menghilangkan apa yang pernah bersemayam dalam hatimu dengan begitu cepat. Kini, aku tertinggal pada jarum waktu yang kehilangan daya untuk berputar. Aku lalu diam pada titik itu dan tidak bisa kemana-mana.
Bersambung..
(Tulisan ini khusus untuk teman-temanku yang masih bersedih karena kehilangan perempuannya).