Thursday, December 15, 2016

Kesedihan





Dan kelak, aku akan menginjakkan kaki di Eropa (Swiss, Ceko dan Jerman), setelah sebelumnya aku dapat menginjakkan kaki di Dubai. Tapi, dalam semua pencapaian ini, ada yang masih berkecamuk dalam kesedihan. Dia, hati.
Dan kelak, aku akan hidup dengan seseorang, tapi tidak dengan hatiku! Lagi-lagi tentang hati. Aku telah menguncinya rapat dan tak cukup lima tahun untuk mengusir seseorang pergi dari sini. Dia, masih menjadi satu-satunya penghuni di sana.
Dan pria itu kini semakin mendekat, sementara aku membalasnya dengan kekasaran, dengan sikap dinginku yang membuatnya penasaran. Dia, yang bagai angin lalu pada hatiku.
        Tak cukup hanya baik, rela berkorban dan uang yang melimpah untuk mengubah haluan hati ini. Aku cukup keras kepala untuk mempertahankan apa yang ingin aku pertahankan, termasuk soal perasaan. Tapi, apa yang sebenarnya aku pertahankan? Perasaan rindu yang berkecamuk, luka, pengkhianatan, kebohongan, ingkar janji dan semua bersatu dalam kenangan. Sementara dia mungkin telah bahagia dalam hidup barunya yang tak pernah lagi ada aku di dalamnya.
Namun, sejahat apapun dia, kejahatan tak mampu juga mengubah perasaan ini.
        Aku masih menyayanginya. Dan aku tak tau sampai kapan rasa sayang ini akan berakhir. Hanya ada raut wajahnya yang aku ingat setiap kali hendak tidur. Suaranya, gerak tubuhnya dan semua hal tentangnya, selalu sama. Aku merindukannya.
        Dan tentang pria ini, aku masih membalasnya dengan spontanitas, kekasaran, sikap acuh dan dinginku. Aku kira dia akan menjauh, tapi ternyata dia sama dengan semua pria sebelum ini, PENASARAN!
        Kenapa? Aku selalu bertanya, kenapa mereka justru menyayangi aku yang sangat kasar seperti ini? Aku yang tak pernah bersikap ramah dan terkesan dingin. Aku ingin sendiri, tapi nyatanya kehidupan akan mencibir mereka yang masih hidup sendiri.
        Kelak, aku akan menjadi tua, tapi aku masih mencintai dia yang kini entah dimana. Dan tentang pria ini, kini aku nyaris bosan setengah mati. Aku tak pernah benar-benar tertarik pada siapapun dan aku selalu menunjukkan ketidak tertarikan itu, karena aku tak suka berbasa-basi dan hidup dalam topeng.
        Aku harus berubah. Aku tahu itu. Tapi, aku masih menyayangi dia. Dia yang hanya memberikan kenangan perihal luka.
Ditemani lagu-lagu mellow Melly Goeslow (Bimbang), jadi baper deh. Jarang-jarang nulis curhatan diblog, tapi daripada dipendam, lebih baik dikeluarkan. Intinya aku sangat merindukan dia, disaat ada pria yang dengan tulus menyayangiku, tapi aku tak pernah benar-benar bisa menyayangi siapapun lagi.

Saturday, November 26, 2016

Perempuanku


    Aku telah menjadi tahanannya dalam semalam. Tatkala suara-suara dalam ruangan terdengar mengaum dan sekumpulan orang berlalu-lalang di mana-mana. Semua telah memenuhi kursinya masing-masing dan cahaya disekelilingku kini padam. Tinggallah cahaya-cahaya terang yang fokus menyorot kepada sang bintang yang kini tengah berjalan dengan anggun di atas karpet merah, ditengah-tengah lautan manusia yang kini bersorak-sorai untuknya dan memujanya sebagai idola.
Dia. Aku hanya melihatnya, bukan sang bintang. Bukan sosok kharismatik yang telah menyihir jutaan manusia karena sifat keibuan, kedermawanannya, serta karya tangannya yang luar biasa indah, kebaya.
Aku hanya melihatnya, hanya dia. Dia yang kini berada tepat disebelahku, dengan atasan bolero batik berwarna hijau motif bunga,  dipadukan dengan rok batik berwarna cokelat, sepatu high heels, tas songket Bali dan rambut disanggul, dia sungguh menawan. Tubuhnya  begitu wangi oleh minyak zaitun dan wajahnya memancarkan kebahagiaan lain yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku terpesona.
    Setiap wajah yang aku lihat malam ini serupa wajahnya. Aku melihatnya di setiap sudut ruangan ini. Sementara dia sibuk dengan kameranya yang tengah memotret sang bintang, aku justru sibuk dengan perasaanku yang membuncah-buncah tak terkendali. Aku tertawan oleh pesonanya malam ini. Tanganku meraba tangannya yang terasa begitu halus. Aku menggenggamnya erat dan tak ingin melepaskannya begitu saja. Dia menatapku seraya tersenyum dan bersandar di atas bahuku. Dia begitu wangi.
    “Kamu cantik malam ini!”
Pujiku dalam hati. Aku tidak ingin mengutarakannya sekarang. Aku hanya ingin membiarkannya mengagumi idolanya yang kini tengah bersinar di depan matanya.
Sepanjang acara digelar, aku hanya tertidur dan tidak begitu memperhatikan pagelaran yang ada di atas panggung. Hingga acara kemudian selesai, dia lalu membangunkanku yang tertidur pulas.
    “Heh, bangun!! Kamu daritadi tidur?? Terus, ngapain ke sini kalau ga liat pagelarannya??”
Aku tersenyum mendengar celotehannya yang menyayangkan aku tidur ditengah-tengah orang yang menyaksikan pagelaran ini dengan antusias tinggi.
    “Aku cuma pengen nemenin kamu. Aku seneng karena kamu juga keliatan seneng banget. Oya, kamu cantik malem ini.”
Dia tampak begitu senang saat aku memujinya, sampai-sampai dia pura-pura tidak mendengar dan ingin aku mengulang ucapanku.
    “Hah?? Kamu bilang apa barusan?? Tumben muji.”
Dia lalu tertawa dan memukul pundakku, karena selama ini aku jarang sekali memujinya.
    “Kamu cantik.”
Ucapku singkat seraya tersenyum dan berjalan diantara kerumunan orang yang hendak ke luar dari gedung. Tapi, belum sempat aku berjalan, dia kemudian menarik tanganku hingga aku menghadap ke arahnya. Dia lalu tersenyum begitu manis.
    “Liat, penampilan kamu malam ini mirip seorang designer. Sini aku foto, kamu cakep.”
Dia lalu memotret diriku yang berdiri mematung tanpa bisa bergaya sedikitpun, kaku. Kita lalu difoto berdua layaknya sepasang kekasih yang ingin mengabadikan moment indah  ini, karena jarang sekali kita difoto berdua dengan mengenakan baju tradisional.

    Di sepanjang perjalanan pulang, di dalam Taxi, aku terus memegang tangannya dan mencium wangi minyak zaitun yang kini begitu aku sukai. Aku lalu melihatnya dari jarak dekat. Aku masih tak bisa mempercayai bahwa dia adalah milikku. Semua terasa seperti mimpi dan aku masih saja menjatuh cintainya berkali-kali. Dia, perempuanku.
Hingga dia terlelap begitu pulas di atas kasur, lalu lampu kamar ini dimatikan, aku masih saja memandanginya dalam keremangan. Aku belai wajah itu dan tak kuasa memeluknya dengan begitu erat. Sesaat aku menitikkan air mata karena begitu bahagia dengan jarak sedekat ini dengannya. Dia, perempuanku.

***

Seindah mawar, semungil melati
Dikau cemerlang wanita
Semerbak wangi, sejinak merpati
Dikau senandung di cita

Gerak gayamu ringan
Memikat hati muda taruna
Mekar bersinar, menyilaukan mata
Halus wanita bak sutra dewangga
Senyummu meruntuhkan mahkota

Gerak gayamu ringan
Memikat hati muda taruna
Mekar bersinar, menyilaukan mata

(Afgan-Wanita)

    Lagu itu diam-diam membangunkan kembali raksasa yang tengah tertidur pulas dalam diri, hati. Lalu dengan seketika, wajahnya terlihat begitu jelas di depan mata. Senyum terakhirnya, cara berjalannya, wangi minyak zaitun dari tubuhnya dan segudang hal lain yang berkaitan dengannya di malam itu.
Lalu, ada yang memberontak dan memaksa untuk keluar dengan seketika, airmata. Dan sosok perempuan itu ibarat udara yang tak berhenti aku hirup setiap detiknya. Udara yang setiap saat bercengkrama denganku, dengan kehidupanku. Lalu ada sesuatu yang dengan paksa merenggutnya, menghilangkannya dan dia kemudian benar-benar binasa, seperti tidak pernah ada.
    Dingin, lalu hujan dan petir bersua bersamaan, bersahutan. Dan lagu itu masih diputar berulang-ulang, memaksa para penumpang untuk mendengarnya tanpa persetujuan. Pahit, getir dan semua menetes seperti rintik-rintik hujan yang aku lihat pada dinding-dinding kaca bis ini.
Apakah ini yang mereka sebut rindu? Rasanya seperti kulit yang tengah disisit dengan silet yang begitu tajam, perih.
    Sebuah lagu ternyata bisa menghidupkan kembali kenangan yang telah mati, hingga berangsur-angsur rohnya menyusup pada ruang, tempatnya dulu pernah bersemayam. Dia lalu menciptakan rasa, suasana dan situasi-situasi yang nyaris sama seperti yang pernah dia lewati sebelumnya.
    Perempuanku, rasanya baru kemarin aku melihatnya pada jarak yang begitu dekat. Rasanya baru kemarin aku memeluk dan memegang tangannya dengan sangat erat. Rasanya baru kemarin aku mendengar suaranya dan berada didekatnya setiap saat.
    Perempuanku, benar katanya tentang waktu. Benar katanya bahwa waktu tidak pernah mau menunggu. Dan aku pernah mengulurnya berkali-kali, menemuimu. Aku menelantarkan rasa-rasamu yang riuh gaduh, karena aku mengira bahwa aku masih punya banyak waktu. Karena aku mengira bahwa waktu akan senantiasa menungguku, namun aku salah. Waktu bahkan berlari dengan sangat kencang. Dia menanggalkan sisa-sisa dari kenangan dan menghilangkan apa yang pernah bersemayam dalam hatimu dengan begitu cepat. Kini, aku tertinggal pada jarum waktu yang kehilangan daya untuk berputar. Aku lalu diam pada titik itu dan tidak bisa kemana-mana.  

Bersambung..

(Tulisan ini khusus untuk teman-temanku yang masih bersedih karena kehilangan perempuannya).

Saturday, November 19, 2016

Melayat Luka


Menjadi lupa, ketika lagu-lagu berlalu lalang ditelinga.
Dan kehambaran bertengger pada alinea-alinea yang ditulis tanpa isi.
Bahkan dingin ini, kini hanya serupa embun dikaca yang tak mampu menggigil pada nyerinya luka.
Diamku ibarat kenangan yang dipaksa bungkam tanpa ada lagi cerita.

Sungguh, tak ada bahasa yang mampu berkata-kata pada jalanan rahasia.
Dan bahkan tak ada  yang mengetahui, dimana kesedihan itu bersembunyi.

Melelahkan, sungguh begitu lelah..
Melihat cuplikan-cuplikan tragedi dari drama air mata.
Dan mereka bahkan berlalu begitu saja,
Seperti angin sepoi-sepoi yang membunuh dengan kelembutan.

Dan malam kini semakin pucat
Nyalinya bahkan menjadi bias
Hingga ku lihat dia bersembunyi di bawah tiang lampu-lampu kota
Begitu samar..
Hingga tak ada yang mampu mengenali antara ujud nyata dan bayangan.

Menjadi lupa,
Hening telah memilih diam sebagai tanda pengakhiran.

Berlalu,
Begitu samar dan asing..
Seperti tinta yang memudar pada kertas yang menguning,
Kering..

























Sunday, October 23, 2016

Mencengkram Api


Berlari hanya akan membuatmu lelah.
Apa yang kau takuti dari gigi-gigi tak bertaring?
Menghindar memang bisa membuat ketakutanmu reda,
Hanya saja semua tak akan berhenti.
Kau perlu berbalik, lalu kita bertarung berhadapan.
Aku akan meneriakimu dengan tatapan tajam.
Tak ada kata-kata, selain amarah yang terpendam sekian lama.

Kalau saja kau tau,
Apa yang merasuki jiwaku?
Adalah duri-duri yang menusuk
Mencengkramku sehingga aku tak bisa berdiri tegak
Tapi, karenanya kini aku dapat merangkak dengan cepat

Aku bukan petir yang serta merta akan menyambarmu.
Membuatmu gosong hingga tak tampak lagi senyuman licik itu!
Berkali-kali aku urai rasa benci,
Hanya saja aku butuh waktu untuk mengurainya.

Sedang kau masih saja berpesta dengan kegilaanmu!
Tak peduli ada berapa rumah yang kau runtuhkan,
Tapi kau tetap bersuka ria!

Ingat!
Kelak akan ada waktunya.
Tatkala matahari dan bulan muncul semaunya
Lalu gelap menjadi selimutmu yang paling menakutkan.

Silahkan, teruskan caramu menutup jendela hati!
Dan aku akan berjalan sedikit demi sedikit
Membasuh lagi apa yang pernah ternodai,
Harga diri!

Monday, October 3, 2016

AKUT



Berjam-jam sudah aku bertanya,
“Ada apakah ini??”
Resah seakan menyelimuti jarum waktu yang berkelana di atas selubung rasa.
Matanya, suaranya, senyumnya kulihat dimana-mana.
Gila, kenapa begini??”
“Siapa dia?”
Bahkan seringkali kita lari terbirit-birit saat tak sengaja beradu pandang.
Menjauh adalah caraku meredam kisruh.
Entah dengannya..
Tapi, tiba-tiba sapanya muncul ibarat sinar rembulan ditengah pekat malam..
Ku tatap lekat-lekat apa yang masih tak bisa kupercayai.
Dan lalu ada yang berdesir, ibarat riak-riak kecil pada air yang tengah diam.
“Secepat inikah?”
Bahkan angin tertawa terpingkal-pingkal kali ini, lalu ia memperingatkan,
“Hati-hati dengan rasa yang terlalu dini!!”
Ya, aku tau..
Aku lantas menepis apa yang tengah mekar di atas senyuman iblis.
“Iblis?”
Angin bertanya kebingungan.
“Ya, iblis. Bukankah iblis memang selalu begitu? Memberi umpan kebahagiaan semu, untuk membakar kita hidup-hidup?”

Aku lalu semakin takut. Takut tatkala jatuh pada rasa yang berlari kencang tak beraturan, ibarat kuda liar, tak bisa dikendalikan.
Tapi, ditengah ketakutan itu, “kebetulan-kebetulan” menghampiriku secara perlahan.
Dan “kebetulan-kebetulan”  lalu memaksaku untuk mengenal siapa dia.

Ah, dan kini aku semakin ingin tau apa yang tengah ia tutupi dan sembunyikan.
“Siapa dia??”
“Kenapa dia tersenyum begitu menyejukkan??”
Tapi tak jarang diapun diam ibarat sebongkah es penuh kedinginan..

Lalu kita saling mengenal..
Begitu cepat ibarat jembatan keterhubungan..
Akut!”
Ah, tapi lagi-lagi aku harus menepisnya,
Menepis rasa-rasa yang terlanjur menggurita.

Dia,
“Siapa dia??”
Dia dan dua kepala lain di sampingnya.
Aku berbalik,
Lalu tertawa terkikik.
“Ini kilas balik!”
Ibarat cerita yang sama, ujian yang berulang-ulang.
Dan kali ini aku harus menang!!

“Racun Dunia!!!”
Mendengarnya bergema, aku tak bisa lagi berkata-kata.
“Ini cinta??”



Thursday, September 22, 2016

Mata


    Aku ingin kau mengingatku sebagai mata. Mata tempat kau mengenali semua yang ingin kau ketahui. Mata di mana kita pernah saling berpapasan dan mengingat satu sama lain. Mata tempatku dan tempatmu menyimpan kerinduan yang tak terelakkan. Mata, tempat kita tak bicara dan hanya memendam rasa, “Cinta”.

Berkali-kali aku tahu bahwa mata pernah menyembunyikanmu pada titik yang cukup jauh dari penglihatanku dan aku tak bisa menemukanmu kala itu. Kita pernah terpisah begitu jauh dan kau tau itu, hanya saja, lagi-lagi aku bisa menemukanmu, mengendap pada satu-satunya yang aku miliki, “Hati”.

Kini, aku begitu menginginkan kau melihat mataku yang begitu menyimpan kisruh. Mata yang menurut mereka tersirat sesuatu yang begitu menyakitkan, “Kehilangan”.
Ini mataku, dan ingatlah aku ketika kau melihat matamu sendiri di depan cermin itu.
Aku adalah bagian dari apa yang kau lihat dan kau adalah tempat di mana aku dapat bebas untuk melihat. Kita saling melihat, tanpa jarak pandang dan tanpa sudut-sudut yang menikung, karena kita “Saling berhadapan”.

Lalu, kenapa kita tak juga saling bicara? Apa karena kita adalah dua pasang mata yang hanya mampu untuk melihat tanpa ada kata-kata sedikitpun?
Tapi, mungkinkah kita dapat saling melihat pada jarak yang sejauh ini? Bukankah bicara akan lebih memungkinkan dibandingkan saling melihat dari kejauhan?

Ah, sudahlah.. mungkin selamanya kau akan mengenangku sebagai mata. Mata yang dapat menguntitmu kemana-mana, kapan saja!

Monday, September 12, 2016

Duka


Sapu tanganku sudah sangat basah dan masih ada yang tak ingin berhenti,
Ia mengalir semaunya,
Merenggut sebagian malam ini dan melelahkan “Aku” yang terbangun pada esok pagi..
Kantung mata berwarna hitam lalu ia berikan sebagai kenang-kenangan..

Aku bercengkrama dengan-Nya,
Pada iring-iringan airmata..
Tentang betapa beratnya hari ini
Tatkala tubuhku gemetar dan hampir limbung..

Sebuah drama dipagi buta
Dan lanjutannya dikala senja
Seakan mengujiku yang tengah belajar berjalan,
Disaat mereka berlomba-lomba untuk terbang

Aku menikmati masa pembelajaranku,
Hanya saja, kadang ada yang tak ingin melihatku berjalan,
Mereka ingin melihatku merangkak,
Dan tak pernah sampai pada apa yang aku tuju

Inikah hidup?
Kadang aku tak terlalu kuat,
Bahkan untuk menopang diriku sendiri

Esok, entah akan ada apa lagi..
Aku tak pernah tau isi skenario yang Dia buat,
Bahkan untuk sekedar tau berapa babak yang akan aku mainkan,
Aku tak tau!

Hanya saja, malam ini terasa begitu panjang,
Dan aku masih terjaga..
Dalam kegetiran..


Monday, August 29, 2016

Sedang di Bengkel


Sebuah tulisan dibalik kaos, “King Club Tangerang Selatan”.
Sore ini, di sini..
Bandung Timur..

Berjam-jam aku terpaku pada kaos montir itu,
Lalu ada yang memaksa dan terpaksa mengingat apa yang menyengat..
JARAK!
Tapi kali ini, bukan hanya masalah jarak, BUKAN!
Tapi hati yang kini tak lagi ada dalam satu petak.

Masih dibengkel ini,
Senja ini,

Aku terpaku..
Mengingatmu!