Dia yang terbaring di sana pernah tahu, bagaimana cara udara menguap melalui rasa. Melalui batas yang tak pernah ada permulaan, kapan dan dimana pertama kali kita bertegur sapa.
Bahkan untuk sekedar mengetahui siapa dia, “rasa” justru hadir lebih dulu untuk memulai perkenalan itu.
Maka dari sanalah, pencarian dimulai, untuk mencari tahu tentang siapa dia..
Waktu bukan batasan, bukan pula alasan untuk mengatakan bahwa “sesuatu” menjadi tumbuh karenannya.
Pun tentang pertemuan yang seringkali orang sebut sebagai jembatan keterhubungan.
Ternyata tak selamanya begitu. Karena kadang-kadang, ada yang baru saja “dimulai” ketika orang-orang menganggapnya “usai”.
Persoalan ini hanyalah sebuah teka-teki tentang dimensi, ruang dan waktu yang sering orang anggap sebagai tanda tanya tak kasat mata.
Padahal, kalau saja mau, udara bahkan bisa membisikkan kata-kata paling romantis yang tak pernah kita dengar sebelumnya. Dan bunyi-bunyian bisa memberitahu jawaban dari pertanyaan yang sering kita gumamkan seorang diri di malam hari.
“Hilang”. Kadang orang-orang dengan cepat mengatakan bahwa sesuatu telah hilang, ketika dia tidak bisa kita lihat lagi, ketika suaranya tak bisa terdengar lagi dan ketika kita tidak bisa benar-benar bercengkrama seperti biasanya.
Padahal ternyata, yang kita anggap hilang tidaklah benar-benar hilang. Itu hanya seperti air yang tengah berubah wujud, kadang menguap, membeku, bahkan mengembun.
Tak ada yang benar-benar hilang, selain “ujud” dan “rasa” yang mungkin kita anggap tak sama lagi. Seperti ketika kita memeluk sebatang kayu atau memeluk udara yang berhembus. Itu hanyalah sebuah pelukan pada sesuatu yang “padat” atau “hampa”, namun tak akan ada perbedaan ketika kita memeluknya pada bayangan tak kasat mata. Pada getaran-getaran yang pernah membuncah dalam dada. Pada letupan-letupan dan pada hasrat dimana semua partikel itu pernah terasa saling berdekatan.
Dan pada sesuatu yang hilang, kita baru saja memulai. Tanah merah basah, tangisan yang menjadi-jadi, sekuntum bunga mawar dan ribuan lilin yang menyala bersama doa. Semua seakan menjadi barisan bersenjata di mana “rasa” itu dikawal bersama-sama.
Dan pada dimensi itu, tak ada yang bisa berseteru dengan waktu. Tak ada pula yang mampu besitegang mengatasnamakan “pemilik” utuh dari “tubuh”.
Tak ada airmata, tak ada rasa sakit dan tak ada pertengkaran, karena yang ada hanyalah kata“hilang” yang mereka sebut sebagai kenang-kenangan.
Hilang sebagai akhir dimana keadilan berdiri sebagai pemenang. Keadilan yang tak meminang dia yang kuat atau dia yang gemulai.
Selesai.