Tuesday, September 26, 2017

Teh dan Kopi



Segelas teh hangat tanpa gula.
Dan jam-jam yang lupa untuk dilihat putarannya.
Teh mengusir dingin,  menelisik kesepian,  meminang bulir-bulir impian.
Seperti bayangan yang mengekor kemana kaki melangkah.
Segelas teh hangat tanpa gula. Tak ada aturan,  tak ada perdebatan.
Dia di sana,  memangku,  memeluk,  bertepuk tangan.
Aku suka caranya tersenyum.
Senyuman tatkala aku menyukai senja, lalu dia melukiskan kata-kata.
Seperti ketika aku ingin terbang,  lalu dia menyiapkan sayap.
Kita seiring, tiada geming.

Gelas kedua setelah teh adalah kopi.
Segelas kopi panas dan baunya yang menggugah.
Manis,  hangat, hitam pekat.
Penuh tanda tanya.
Nikmat,  namun dia menggertak.
Sakitnya melilit.
Dedaknya tertinggal.
Tak ada malam berjam-jam untuk terbang.
Tak ada sayap-sayap yang dia siapkan.
Aku menghadap mentari,  dia mengekor rembulan.
Gelasnya digenggaman,  namun tak beriringan.
Kopi..
Masih saja bersikeras dengan hitamnya.
Begitu saja.
Sudah..

Sunday, September 24, 2017

AMPLOP BIRU




    Sudah waktunya, sejak aku menyimpan amplop itu rapat-rapat pada ruang tersembunyi dilemari. Amplop biru berisikan kata “Maukah?” yang berakhir dengan tanda tanya. Dan pada dini hari tadi, amplop biru itu mendapatkan jawaban yang mengejutkan, sampai-sampai warna birunya kini berubah menjadi merah muda. “Ya” akhirnya keluar dari mulutnya setelah bertahun-tahun amplop itu kembali lagi dan lagi beserta jawaban “Tidak”.
***
Saat jingga tak bisa aku lihat lagi. Warnanya pudar, hangatnya berpendar. Ketika tak ada lagi kata “Jingga” pada senjaku yang menua.
Apa yang bisa aku katakan pada langit yang pernah bertanya tentang dia?
Apa yang bisa aku jawab pada dinding-dinding kamarku yang pernah mendengar namanya aku sebut dalam doa?
Tidak ada.
Karena yang ku tahu, tak ada lagi warna jingga yang memantul dalam mataku hari ini. Jingga yang tak pernah bisa pulang kembali seperti merpati.

    Mentari pernah meragukanku tatkala aku ingin terbang menuju langit biru. Mungkin dia melihat ada yang masih membekas dalam lara. Atau barangkali dia pernah mendengar gema dari seribu tanda tanya yang tak pernah bisa dia dibaca.
“Kau itu kelinci!!”
Itu yang seringkali aku dengar dari mulut mentari ketika aku hendak menemui pagi.
“Kelinci??”
Aku lalu merenungkan kata-kata yang keluar dari mulutnya dini hari tadi.
    “Tidak! Aku bukan kelinci..”
    “... Karena aku tidak sedang bermain kali ini dan aku juga tidak sedang memilih. Aku hanya sedang menemui sebagian dari diriku yang ada dalam dirinya yang tak pernah aku temukan pada diri-diri sebelum ini.
Ya, aku memang tidak bisa dikatakan merpati, karena sebelumnya aku senang untuk singgah pada beberapa hati. Hanya saja, tak semua yang aku singgahi itu memiliki apa ya aku sebut “sebagian dalam diriku”. Dan aku melihatnya seperti aku melihat diriku sendiri.”
***
   
Buka amplopnya!
Lihat, tak ada apa-apa di sana!
Kosong..

Seperti ruang gelap tanpa sekat
Aku bisa bebas berlari

Seperti lilin tanpa api,
Utuh..

Baca amplop itu, “BIRU”!
Tapi putih..

Tandai ruangmu, rasakan hangatnya!
Kosong, bebas, utuh, putih.

Aku baru saja memulainya!
Sekarang!
Saat ini!



Bandung, 24 September 2017
Dini hari


Saturday, September 16, 2017

TANAH MERAH BASAH



Dia yang terbaring di sana pernah tahu, bagaimana cara udara menguap melalui rasa. Melalui batas yang tak pernah ada permulaan, kapan dan dimana pertama kali kita bertegur sapa.
Bahkan untuk sekedar mengetahui siapa dia, “rasa” justru hadir lebih dulu untuk memulai perkenalan itu.
Maka dari sanalah, pencarian dimulai, untuk mencari tahu tentang siapa dia..

Waktu bukan batasan, bukan pula alasan untuk mengatakan bahwa “sesuatu” menjadi tumbuh karenannya. 
Pun tentang pertemuan yang seringkali orang sebut sebagai jembatan keterhubungan.
Ternyata tak selamanya begitu. Karena kadang-kadang, ada yang baru saja “dimulai” ketika orang-orang menganggapnya “usai”.
Persoalan ini hanyalah sebuah teka-teki tentang dimensi, ruang dan waktu yang sering orang anggap sebagai tanda tanya tak kasat mata.
Padahal, kalau saja mau, udara bahkan bisa membisikkan kata-kata paling romantis yang tak pernah kita dengar sebelumnya. Dan bunyi-bunyian bisa memberitahu jawaban dari pertanyaan yang sering kita gumamkan seorang diri di malam hari.

“Hilang”. Kadang orang-orang dengan cepat mengatakan bahwa sesuatu telah hilang, ketika dia tidak bisa kita lihat lagi, ketika suaranya tak bisa terdengar lagi dan ketika kita tidak bisa benar-benar bercengkrama seperti biasanya.
Padahal ternyata, yang kita anggap hilang tidaklah benar-benar hilang. Itu hanya seperti air yang tengah berubah wujud, kadang menguap, membeku, bahkan mengembun.
Tak ada yang benar-benar hilang, selain “ujud” dan “rasa” yang mungkin kita anggap tak sama lagi. Seperti ketika kita memeluk sebatang kayu atau memeluk udara yang berhembus. Itu hanyalah sebuah pelukan pada sesuatu yang “padat” atau “hampa”, namun tak akan ada perbedaan ketika kita memeluknya pada bayangan tak kasat mata.  Pada getaran-getaran yang pernah membuncah dalam dada. Pada letupan-letupan dan pada hasrat dimana semua partikel itu pernah terasa saling berdekatan.

Dan pada sesuatu yang hilang, kita baru saja memulai. Tanah merah basah, tangisan yang menjadi-jadi, sekuntum bunga mawar dan ribuan lilin yang menyala bersama doa. Semua seakan menjadi barisan bersenjata di mana “rasa” itu dikawal bersama-sama.

Dan pada dimensi itu, tak ada yang bisa berseteru dengan waktu. Tak ada pula yang mampu besitegang mengatasnamakan “pemilik” utuh dari “tubuh”. 
Tak ada airmata, tak ada rasa sakit dan tak ada pertengkaran, karena yang ada hanyalah kata“hilang” yang mereka sebut sebagai kenang-kenangan.

Hilang sebagai akhir dimana keadilan berdiri sebagai pemenang. Keadilan yang tak meminang dia yang kuat atau dia yang gemulai.
Selesai.