Friday, July 19, 2019

SUHU


Ada kalimat-kalimat yang bungkam tanpa kata terimakasih, seperti  udara yang masih bersujud pada ambang dimana salju menitikkan airmata.  Suara seakan menjadi batas dan penanda antara angkuh atau kisruh. Suhu, kemarau tengah merantau pada perhelatan batin yang tengah marah. Dia telah membuat riak pada air tenang yang tengah mengalir. Dia meludahi beningnya air yang hampir saja ia minum. Dia tak bisa menyentuh inti jiwa dari kehidupan. Dia hanya bisa berkata-kata dengan api yang menghanguskan segalanya. Dia buas dalam jubah lembutnya. Dia melahirkan pujangga yang sekarat akan rasa sakit. Dia bukan manusia.

Kalau saja mau, aku tak pernah ingin memulainya, namun dia yang membuka pintu itu lebih dulu. Menunggu di sana bertahun-tahun hingga aku menghampirinya. Datang yang tidak berarti membuka hati, tapi dia terus menguji, hingga kemudian ada yang jatuh tanpa rencana. Dia memulainya, permainan yang kemudian tidak berakhir seri.

Aku kalah pada babak dimana perangkapnya mulai mengurung kewarasanku. Suhu yang tak bisa mendinginkan gejolak yang tengah memburu nafsu. Dia adalah parameter yang mulanya dapat menjadi sisi lain dari mata pisau yang begitu tajam, namun kini dia menjelma menjadi mata pisau itu sendiri yang kerapkali melukai tanpa mau mengerti tentang kata mengasihi.

Padanya, sejumput cerita berlarian sebagai warna lain dari sampul diari yang mulai kehilangan jati diri. Dia adalah rasa nyaman yang kini menjelma menjadi tumpukan ketakutan. Dia adalah taman hijau dan padang ilalang yang mulai hilang. Dia hanya bisa berkata-kata pada kalimat pengandaian dan bersembunyi di atas imaji yang dia namakan syurga para pemimpi.
Dia melarikan diri.

    Adakalanya benci menjadi kunci untuk membuka lemari yang mulai rapuh dimakan rayap. Adakalanya suhu berubah begitu saja tanpa ada prediksi sebelumnya, seperti air tenang yang tiba-tiba menjadi ganas dan melahap korbannya satu persatu.

Kau tahu? Aku marah tanpa mampu meluapkan amarah. Aku benci tanpa bisa mencaci dengan keji. Aku terluka tanpa harus merintih dengan terbata-bata. Aku memilih menjadi dingin yang merayap pada malam yang membuat gigil pada tidurmu. Kau merasakannya, namun tak bisa melihatnya. Aku suhu yang meninabobokan kesombonganmu. Memeluk diam-diam dalam doa dan munajat malam. Memanggilmu pada jam-jam dimana matamu terpejam begitu pulas. Aku mengingatmu diantara rasa sakit yang enggan mengakui sakit. Aku merindukanmu diantara rindu yang tak mau menyebut dirinya rindu. Aku hidup dalam jiwamu yang tak pernah kau ketahui sedikitpun. Kau mengubah suhu itu, membunuhku dalam pusaran rindu yang dipayungi awan kekalutan. Kau mengubur semua ingatan di bawah bongkahan es yang tak bisa menampakkan diri ke permukaan. Kau mengakhiri rasa nyamanku diantara api yang melahap rasa sayang menjadi pijaran benci. Aku pamit kali ini, sampai jumpa pada negeri dongeng tempat para puteri berdansa sampai pagi. Tempat para pangeran berakhir dengan rasa bahagia di atas pelaminan. Sampai jumpa di sana. Aku menginginkannya.

No comments:

Post a Comment