Pernah ada yang menikam ulu hati dimusim hujan. Angka sembilan belas yang bertengger pada barisan kalender lama. Juni yang meradang bak bayangan pengulang ingatan. Bilangan-bilangan yang baru saja menetas di angka 2012. Masih ingatkah waktu? Akan buncahan-buncahan yang kini sudah mulai menjadi debu.
Aku pernah menamainya senja. Jingga yang kemudian menjadi penanda akan hati yang mulai terbuka. Hari-hari yang kemudian menjadi liar tak terkendali. Aku pernah menjadi waktu. Menjadi kilas balik yang tak pernah dijumpai rindu.
Ada tahun-tahun yang hilang sejak Juni datang berkenalan. Usia yang kerap berlalu seperti tiupan lilin di atas kue ulang tahun. Secepat itu, seperti hilir mudik rasa yang tak bisa lagi berkata-kata. Hai Jingga, masihkah ada nama “kita” diantara lalu-lalang rahasia?
Sembilan tahun yang lalu, sejak badai mengamuk dalam pertarungan yang tak usai. Sejak cincin melingkar pada kalimat tersembunyi. Sejak aku menjatuhkan hati pada pilihan yang tak bisa aku pilih hati-hati. Sejak saat itulah aku berjalan atas nama kerinduan. Atas nama kesedihan yang kemudian dinamakannya kehilangan.
Hai Jingga, sudah terlalu lama ternyata. Dan aku masih berselimut sepi dalam abu yang mulai larung di lautan. Tak ada lagi yang bisa aku kenali dari gerimis atau basahnya air hujan. Tak ada lagi yang bisa aku eja dari panasnya kemarau atau redupnya musim gugur.
Aku terkungkung di balik lukisan tanpa coretan. Bingkai yang kini renta oleh waktu dan menjadi butiran debu.
Aku kembali mengingat angka sembilan belas yang telah tertiup angin malam. Perjalanan mendaki bukit ego untuk bisa tahu bagaimana cara memeluk sunyi. Kau ingat bagaimana kupu-kupu bertebaran di atas ranting harapan? Kau ingat bagaimana aku bisa menaklukan jarak pada pertarungan yang tak mudah? Kau tahu betapa lelahnya aku mengenalmu? Betapa letihnya aku ketika jarak mulai memecah hatimu menjadi racun?
Ada kenangan di balik saku bajuku. Di antara selimut-selimut berbulu angsa yang belum sempat aku rapikan lagi. Aku ingin menyulam benang kenangan dan memajangnya di rumah masalalu. Aku ingin bertegur sapa dengan bayangan yang tak bisa lagi bertatap muka. Aku ingin menyalakan lilin doa diantara nama-nama yang aku beri judul “Jingga”. Aku ingin kembali berahasia, tanpa ada lagi yang menganggapnya sia-sia.
No comments:
Post a Comment