Hidup ini tidak seperti novel, yang kita bisa mengulang halaman pertama kapanpun kita mau. Dalam kehidupan nyata, saat sebuah kisah tidak lagi menyenangkan, mulai menyakitkan, kita tidak bisa mengulanginya dari halaman pertama lagi. Tapi tidak mengapa, karena kita selalu bisa membuat bab baru, halaman baru. Selalu bisa.
Seharusnya masih tertinggal
di sini, kepingan-kepingan hati yang kemarin terasa utuh menyesapi. Seharusnya
masih bersemayam di sini, senyuman-senyuman menawan yang hidup dalam riangnya.
Seharusnya masih terpahat di sini, nama-nama yang kemarin tak asing lagi terbaca
oleh naluri. Seharusnya tak begini. Seharusnya tak begini…
Aku biarkan purnama bercahaya diantara gelap
dunia yang berserakan dosa. Aku biarkan ribuan kunang-kunang jiwaku pergi dalam
sajak-sajak airmata tanpa judul. Aku resapi malam ini. Riuh ramai diluar sana
suara nyaring bergeming. Riuh ramai rembulan diluar sana berpapasan.
Aku masih di sini.. meresapi apa yang ingin
diresapi hati.. Menghayati apa yang telah lama pergi..
Seharusnya tak begini..
Bingkai-bingkai yang masih aku tatap diantara
bunga-bunga tak bertangkai..
Cerita-cerita yang masih terekam dalam pita
jendela terbuka..
Aku meresapi..
Sejenak saja melihat sajak yang pernah
terbaca diri..
Sang pelangi.. sendiri.. di sini..mulai
mengenali..
Siapa?? Siapa dia yang mengendap diam-dam
kala pagi??
Aku bahkan tak lupa setiap inchi keindahan
makhluk Tuhan yang kini seakan berlari pergi..
Aku tak akan lupa debaran hati yang tak
teredam tatkala hati gerimis menyesali..
Ajak kembali aku mengenali.. ajak kembali aku
merakit hati..
Hariku terus beranjak.. berjalan dalam onak.
Memoriku terus terpenuhi oleh mimpi dan pijaran mentari esok pagi.. naluri ini kembali meronta, menguji dan
berjanji untuk tetap mengenali..
Mengenali sang pelangi yang terekam dalam
sunyi.
Duhai
para malaikat yang masih berbaris dalam barisannya.. jangan segera kau cepatkan
akhir tahun ini.. biarkan aku menengok kembali.. sesaat saja, hanya sejenak.
Aku rindu.. sungguh merindui ilalang-ilalang yang seakan hilang terbang.
Sungguh aku merindui jejak-jejak sang petualang bermata elang. Sungguh aku
merindui sebaris kalimat manis darinya yang kemarin hatinya teriris.
Duhai sang pemilik embun kelembutan..
teteskanlah sejenak ketegarannya yang kemarin masih berenang mengarungi
samudera keikhlasan. Perlambatlah sesaat waktu yang seakan membinasakan
keberadaan.
Duhai jiwa-jiwa yang kini menorehkan luka..
kembalilah sesaat dan hapus duka ini yang semakin menenggelamkan perahu makna.
Duhai perisai-perisai malam.. hentikan
sajalah setiap tarian jarum jam yang tak henti untuk beranjak melangkahi.
Duhai embun.. embun yang mengembun diakhir
tahun..
Aku lelah dengan tetesanmu yang tak lagi
menyuarakan keheningan..
Aku bosan dengan suaramu yang meninggalkanku
dalam kesepian..
Duhai embun.. embun yang mengitari akhir
tahun..
Sudahkah kau beralalu dari kenangan
masalalu??
Sudahkah kau tabahkan lenteramu yang
tertinggal terisak haru??
Sudahkah semuanya diakhiri dalam panas
kobaran api?? Api yang membakar sepenggal senyum kemarahan.. ketidakrelaan..
kepahitan..
Sudahkah?? Sudahkah tahun ini kau isi gelasku
dengan tawa riang dan senyuman??
Sudahkah merpati itu kembali untuk bisa
membingkai wajah yang senyumnya semakin tak terlihat lagi??
Sudahkah?? Sudahkah itu??
Kau masih membiarkan jemariku menari dalam kosong
hati.. kau masih tertinggal disepenggal hari yang sedetik lagi akan berlari..
Kau sisakan aku sebagai serpihan yang
menunggu sang hujan datang untuk terus membuatku teriris menyesali..
“Demi
waktu dluha (ketika matahari naik sepenggalan), dan demi malam apabila telah
sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak pula membencimu, dan
sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan. Dan
sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau
menjadi puas. Bukankah Tuhanmu mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia
memberikan kecukupan. Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau
menghardik(nya). Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan
bersyukur)” (QS.Ad-Duha:1-9)
***
Pernahkah kita
mencermati dengan seksama maksud dari surat Ad-Duha yang tertera di atas?
Apabila kita cermati dengan baik, di dalam surat tersebut Allah telah menjelaskan
tentang adanya solusi dalam setiap perkara yang terjadi di dalam kehidupan.
Ada satu kata kunci yang tertera pada ayat di atas, yaitu SYUKUR.
Pernahkah kita bersyukur?? Coba bandingkan, apakah kita lebih sering melontarkan
kalimat syukur atau justru mengeluh karena selalu merasa kekurangan?? Apakah
kita sering membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain yang secara
materi berada di atas kita?? Jika ya, berarti kita belum mampu merealisasikan
satu kata yang telah Allah katakan dalam surat Ad-Duha, yaitu tentang bersukur.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, dan dalam perjalanannya
mencapai kepuasan ternyata manusia selalu merasa kurang, oleh karenanya banyak
kita temui orang-orang serakah dan menghalalkan segala cara demi memenuhi apa
yang diinginkannya.
Sikap zuhud dalam hal ini sungguh sangat diperlukan, mengingat
sifat dasar manusia yang telah saya sebutkan di atas bahwa manusia punya
peluang untuk menghalalkan segala cara, karena sifatnya yang tidak pernah
merasa puas.
Lihat saja persentase jumlah koruptor yang ada di Indonesia saat
ini, sungguh memprihatinkan. Sisi intelektualitas dan kekuasaan yang telah
mereka dapatkan justru dijadikan alat untuk meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa berpikir tentang peraturan dan konsekuensi yang ada.
Padahal jika kita amati, para koruptor itu masih dapat hidup berkecukupan, makan
enak dan bahkan mendapatkan fasilitas yang tidak bisa dinikmati oleh semua
orang, namun itulah yang terjadi, nilai-nilai etika dan moral diera modern ini
telah merosot tajam.
Kembali pada surat
Ad-Duha, Allah juga berpesan kepada kita untuk dapat bersabar. Seperti kita
ketahui bahwa pergantian waktu antara siang dan malam tidak terjadi secara
ekstrim, melainkan perlahan-lahan dan melalui proses yang panjang, sebagai
contoh pergantian malam menuju siang, malam yang gulita tidak tiba-tiba
dikejutkan dengan pijaran matahari yang langsung panas, akan tetapi ada waktu
subuh, di mana matahari bersiap-siap akan muncul dengan udara yang masih segar,
kemudian ada waktu dluha, di mana matahari mulai naik sepenggalan, dan
seterusnya hingga terik matahari terasa di atas kepala, begitupun Allah
memberikan solusi atas setiap persoalan hidup yang dialami oleh
hamba-hamba-Nya, tidak akan instan, akan tetapi melalui sebuah proses.
Proses adalah
sebuah tahapan yang paling berharga dalam kasus apapun yang dihadapi oleh
setiap manusia, karena melalui proses itulah, kita dapat melihat seberapa kuat
kita untuk bangkit dan menemukan solusi. Banyak sekali kasus-kasus sederhana
yang berujung fatal karena robohnya ketahanan diri manusia ketika berada pada
alur sebuah proses, sebagai contoh orang-orang yang bunuh diri karena terlilit
hutang, atau orang-orang yang rela mengeksploitasi tubuhnya demi memenuhi tuntutan
hidup, serta orang-orang yang menghalalkan segala cara karena terdesak. Ada
banyak alasan kenapa orang-orang tersebut mengambil jalan pintas, selain ingin
segera mendapatkan solusi yang instan, di sini juga adanya kesenjangan sosial
yang mengakibatkan beberapa kasus seperti di atas kerap terjadi disekitar kita.
Disadari atau tidak, kesenjangan sosial telah menjadi momok bagi
setiap lapisan sosial, tidak mengenal ras, genre dan usia, semuanya seringkali
terlibat dalam hal ini. Ada banyak kasus yang telah terjadi tentang akibat
buruk dari kesenjangan sosial, diantaranya kasus anak Sekolah Dasar yang bunuh
diri karena terdesak hutang senilai dua puluh ribu rupiah kepada temannya,
kemudian seorang ibu yang membunuh anak-anaknya lalu bunuh diri karena tuntutan
ekonomi, selain itu kasus-kasus prostitusi dikalangan pelajar dan mahasiswa
sebagai dampak dari adanya kecemburuan sosial yang marak terjadi belakangan
ini.
Melihat kasus tersebut, perlulah sekiranya kita untuk dapat
menjadikan KESEDERHANAAN sebagai bagian dari konsep yang kita tekankan pada
perilaku keseharian kita, agar hal-hal di atas dapat diminimalisir jumlahnya.
Sederhana dan syukur adalah dua kunci penting agar keseimbangan sosial dapat
terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Bayangkan, bila kita dapat meminimalisir kesenjangan sosial dengan
merealisasikan hidup sederhana dan penuh syukur, maka tidak akan ada lagi
perbedaan yang kaya dan yang miskin secara mencolok, dan alangkah lebih baik
apabila kelebihan harta dari si kaya dapat disalurkan kepada orang-orang di
bawahnya melalui cara yang tepat, maka akan terjadilah pemerataan penduduk. Bukankah
tujuan dari adanya zakat dan infak adalah demikian?? Akan tetapi kenapa masih
banyak orang-orang muslim yang hidup kekurangan bahkan kelaparan?? Kejahatan
merajalela dan anak-anak di bawah usia banyak yang menjadi pengemis jalanan.
Oleh karena itu,
perlulah sekiranya kita bermuhasabah sejenak dan memikirkan solusi yang tepat
untuk persoalan ini. Yang sering saya cermati dari kasus-kasus yang saya
sebutkan di atas adalah kurangnya kesadaran sebagian orang untuk berbagi kepada
sesamanya, alasan utamanya adalah kebutuhannya belum bisa tercukupi, masih
kekurangan, dsb, padahal untuk mengatasi hal ini, Allah telah memberikan
jawaban melalui shalat dluha.
Dalam kitab: “an-nuraini fiisylahid-daraini”, diterangkan dalam
sabda Nabi Muhammad saw : “Shalat dluha itu mendatangkan rezeki dan
menolak kefakiran/kemiskinan, dan tidak ada yang akan memelihara shalat dluha,
kecuali orang-orang yang bertaubat.”
Dengan
demikian, maka jelaslah bahwa solusi atas segala persoalan hidup adalah ada
pada diri kita sendiri, tinggal kita dapat mengubah pola pikir dan mau untuk
berubah secara optimal dengan terus mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara
bersyukur dan hidup dengan sederhana, serta berbagi dengan sesama selama masih
diberi kesempatan untuk hidup di dunia.
Dari Nuwas bin Sam’an ra. Bahwasanya Nabi
Muhammad saw bersabda:
“Allah.SWT berfirman: Wahai anak Adam, jangan
sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang
(yakni shalat dluha), nanti pasti Ku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.”
Dari Abu Dzzarriin ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Jadilah
atas setiap anggota daripada tiap-tiap seseorang kamu itu hak sedekah. Dan tiap
tasbih itu sedekah, tiap tahmid itu sedekah, menyuruh dengan ma’ruf itu
sedekah, mencegah dari kemunkaran itu sedekah, dan sebagai gantinya semua itu,
cukuplah menjalankan shalat dluha dua rakaat yang melakukannya seorang dari
hamba.” (HR.Ahmad,
Muslim dan Abu Daud).
“Tersenyumlah ibuku.. cerita sedih masa
kecilmu adalah alasan di mana kini aku harus berjuang. Tersenyumlah bu.. aku
tau kau sangat lelah.. tersenyumlah.. biarkan mimpiku yang menerbangkanmu
dilangit kata-kata tanpa bahasa.
Aku
di sini merangkai bunga paling cantik untuk mengusap airmata pedih itu.. tutup
matamu bu, resapi apa yang bergemuruh dalam jiwaku.. itu kobaran semangatku..
semangat ingin membahagiakanmu.. Jadi tersenyumlah.. ^_^
Tak
usah kau dengar kata-kata yang merendahkanmu.. tak usah kau pedulikan
cibiran-cibiran yang menjatuhkanmu, tak usah kau tanggapi perkataan-perkataan
pedih yang menghinakan martabatmu.. aku di sini, dengarlah kata-kataku.. kaulah
inspirasi.. kaulah alasan.. alasanku beranjak tatkala aku larut dalam kesedihan
yang sia-sia. Seperti katamu, kau rela menjadi pelindungku sampai titik darah
penghabisan.. aku pun ingin begitu.. jadi tersenyumlah.. “
Rembulan, bolehkah aku bercerita
sedikit tentang ibuku?? Ya sedikit saja karena terlalu banyak yang ingin aku
ceritakan tentangnya.. tentang wanita luar biasa yang berjiwa tangguh..
Rembulan,
kau harus tahu satu hal tentang ibuku.. yaitu ketegaran.. itu yang aku kagumi
darinya.
Sering
aku dengar ceritanya yang menyayat hati.. seringkali aku mendengar bahwa
mimpi-mimpinya hanya menjadi nyanyian kosong tanpa bunyi.. sering-sering sekali
aku menatap wajahnya yang merindukan sebuah kedamaian..
Dia
bilang,, aku harapan..
Harga
dirinya telah dia pertaruhkan demi sebuah keyakinan yang menyatakan bahwa aku
adalah tumpuan.
Hai
rembulan, aku malu.. malu sekali dengan kalimat ibu..
Aku
malu dengan kerumunan kupu-kupu diperutku..
Aku
malu, seperti bunga-bunga yang kuncup di taman waktu..
Aku
lelah berlari untuk mengeringkan gerimis yang menyisir hati..
Aku
ingin pulang..
Aku
malu di sini..
Aku
gersang
Bawa
aku pulang..
Aku
ingin pulang”
Malamku masih hening.. di sini dingin. Di sini beku..
Sebagian dari ruang ini kini gelap. Tunjukkan aku pada matamu..
Aku ingin berkaca..
Ada berapa keping hati yang
perlahan aku lukai.. ada berapa tetes airmata yang orang-orang jatuhkan karena
aku..
CINTA..
Ya, kata mereka itu cinta..
Disebut apakah aku ini?? Aku
yang terlalu bermain-main dengan orang-orang yang mencintaiku??
Bukan, bukan bermain-main, tapi
aku terlalu sulit untuk bisa memberikan hati.. Dan kadang aku kehilangan rasa..
apapun itu..
Entahlah, aku pun tak tahu
kenapa begini..
Terlalu dingin?? Terlalu cuek??
Ya benar.. itu aku.. kadang
semua terasa datar..
Dear orang-orang yang tulus mencintaiku, dear orang-orang
yang pernah aku lukai, dear orang-orang yang pernah ada dihidupku tapi aku tak
sedikitpun memberikan hati, namun aku masih bisa berada disamping kalian dulu,
aku minta maaf..
Aku benar-benar minta maaf dan
merasa bersalah begitu dalam.. Kalian harus tahu bahwa kalian tetap hidup dalam
memoriku, kalian masih berarti meskipun tanpa satu kata “CINTA”
Aku lelah bermain-main dengan
perasaan.. aku ingin terbang dan menghilang sesaat.. aku bosan.. aku marah..
aku ingin berkaca dan melihat seberapa banyak orang-orang yang tulus mencintai
yang telah aku lukai.. aku rindu kalian.. rindu kalian hadir di sini.. maafkan
aku.. aku menyesal..
Rektor dan Pembantu Dekan FIK berfoto bersama mahasiswa berprestasi juara tingkat nasional dan provinsi. Dari kiri ke kanan: Pembantu Dekan FIK Rakhmat Sudrajat, juara 1 lomba desain tingkat nasional Dwi Muhammad Ramdhoni, juara 1 BITreneurship Bank Indonesia Indriani Monica, juara 2 lomba desain tingkat Jawa Barat Ishaq Hasanuddin, dan Rektor, Prof. DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA. —
Kesadaran.. seringkali aku mendengar kata itu terselip diantara kalimat permintaan maaf diakhir sebuah pertengkaran. Mungkinkah itu adalah babak dimana orang akan ingat pada bisikan murni hati nuraninya? Entahlah, yang pasti ada hal yang lebih penting yang aku pikirkan setelahnya, yaitu tentang waktu dan kesempatan.
Berbicara tentang waktu, kita selalu diingatkan bahwa hidup itu singkat dan seharusnyalah kita hidup dengan sebaik-baiknya. Adakalanya kita terlalu angkuh ketika berhadapan dengan waktu, seakan-akan kita mampu untuk menjinakkannya kapan saja, padahal nyatanya, waktu selalu membayangi kita dengan satu hal yang sangat jelas didepan mata, yaitu kematian.
Ada sedikit hal yang ingin aku ceritakan tentang kematian. Ya, sedikit saja.. tentang rasa rindu yang tak akan pernah ada habisnya ketika kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Dan tentang kesempatan? Kesempatan memang tak pernah datang dua kali. Kalau saja kesempatan itu masih ada, maka aku ingin sekali menyelesaikan satu babak yang memang belum sempat diakhiri, atau bahkan sebuah kesempatan yang belum dimulai sama sekali. Ada surat yang ingin aku tulis untuk hatiku yang selalu ketakutan tatkala malam datang dan teringat akan kematian. Satu surat.. surat untuk angin.. kematian.
"Aku lelah dengan bayang-bayang hitammu yang mengikat, membuntuti kemanapun aku melangkah.. seperti siluet tak berbentuk yang siap menerkamku kapanpun itu.. Gelap, kenapa kau teramat gelap mencekam?? Membuat imajiku terpenjara tatkala menatap mentari yang hampir tenggelam setiap senja datang. Aku takut tersudut sendiri tanpa cahaya kedamaian, aku takut kelak menemuimu seorang diri dalam kepenatan.. aku takut.. sangat takut. Aku bukan pengecut yang takut melihat dunia dari sudut pandang kehinaan.. aku tak takut melihat gejolak api dari petarung kesempatan, aku tak takut.. tak pernah takut.. tapi tentang kematian?? Aku diam.. tak ada kalimat yang tepat tatkala aku dihadapkan pada kematian.. abstrak.. kosong.. cukuplah airmataku menjadi saksi ketika dengan sekejap, mereka yang terkasih dalam hati terenggut olehnya.. cukup.. ribuan puisi tak mampu mendeskripsikan bagaimana pahitnya berpisah tanpa kalimat dan pesan perpisahan.. cukup.. cukup.. cukup.. aku masih tak kuat.. lelapkan aku sesaat saja.. dalam ketenangan.. dalam sunyi senyap kedamaian.. itu saja titik"
Surat singkat?? ya, biarlah esok melanjutkannya tatkala waktu berbicara dalam sorot mata lain yang aku rindukan.. kapanpun itu, aku akan menunggunya.. SOSOK