Jangan kau sebut aku angin,
bilamana wujudku tampak nyata dimatamu..
Jangan kau kira
aku angin, yang bisa menahan gerimis dalam perahu hujan..
Jangan kau
anggap aku angin, yang hanya bisa menyejukkanmu kala panas menyusup kehidupan..
Jangan, jangan
kau samakan aku dengan angin.. yang tampak tegar dengan semilirnya,, yang
tampak berbinar dengan sepoinya,, dan yang tampak kuat dengan geraknya yang
tanpa hati..
Aku bukan
angin.. Mengertilah!!!
Pahami gerak
melambatku tanpa bahasa..
Mengerti
senandung kata gelisahku dalam gulana..
Tolong,, tolong
mengerti dan pahami melodiku..
Ada nada-nada
sumbang dalam sumringah tawa itu,
Ada luka-luka
menganga dalam lirik yang kau sebut cinta,
Ada kecewa yang
bersembunyi diruas rengkuh ucap bahagia..
Ya, kecewa.. Aku
kecewa!!!
Jangan kau sebut aku angin, yang
bisa melewati ribuan kilometer jarak kita yang terpisah..
Jangan kau sebut
aku angin, yang masih bisa tersenyum, kala gurat wajahku kau abaikan..
Jangan kau sebut
aku angin, yang masih bisa berirama, kala iramaku kau acuhkan..
Tapi, sebut aku
wanitamu.. ya, wanitamu yang bertahan dalam benteng kesetiaan..
Pernah kau berjalan ke kotaku,
dan aku berlari ke kotamu..
Pernah kau
berbisik ke hatiku, dan aku berteriak lantang ke hatimu..
Pernah.. pernah
kau begitu dan aku begini..
Namun, aku bukan
angin,, bukan pula sajak-sajak hiburan dalam hujan..
Aku bukan
rembulan,, bukan pula perhiasan tanpa intan..
Tapi, aku
wanitamu..
Wanita yang
datang membawa seribu nampan kerinduan..
Aku wanitamu..
Wanita yang
datang dengan cahaya ketulusan..
Menjelajahai
jurang-jurang malam yang tertawan..
Aku wanitamu..
Wanita yang kau
hadiahkan jamuan tercampakkan..
Ya, pernah kau
campakkan wanitamu kala itu..
Tatkala siang
datang menggulung terang, dan wanita lugumu kau biarkan bisu memburu waktu..
Siang.. siang..
dipetala siang..
Awalnya kau
enggan datang, namun akhirnya kau pun datang menawarkan untaian kerlip
bintang-bintang, meski wanitamu tau, hangatmu kian beku..
Dan kau biarkan
malam menghunus gurun sepinya yang tandus,, sedang kau terlelap gelisah, tanpa
mau membabat arah..
Ya, kau biarkan
wanitamu terpenjara diruas-ruas gelap tak bermakna..
Gelap.. gelap.. gelap
tatkala mentari kian lelap..
Sendiri
menyingsing,, wanitamu kian terasing..
Berpijak
melemah,, di Kotamu yang lelah..
Kantuknya binasa
seakan musnah... hingga dia menangis,, menangis,, menangis menghitung gerimis..
Dan esoknya
marah menyeka gundah,,
Kau biarkan
wanitamu berjalan tanpa arah..
Pulang.. pulang..
pulang.. namun tak terbang..
Sendiri
merekatkan sayap-sayap patah..
Sendiri
tenggelam dalam ramadhan yang suram..
Sendiri..
sendiri.. sendiri.. wanitamu kembali tanpa pelangi..
Lalu asa berujar
pada nyala,,
Lembut,,
lembut,, lembut,, kau hidupkan barisan pengharapan..
Lembut,,
lembut,, lembut,, kau katakan akan kedatangan..
Ya, lembut,,
lembut,, tak menyahut..
Padam,, dan
terlupa..
Ya, lupakan saja
baris simfoni akan janji..
Lupakan saja
garis makna yang terekam pada malam..
Karena ucapmu
kau sampaikan,, kau tak bisa lagi terbang,, datang membawa seribu keindahan...
untuk bertamu melaju.. ke KOTAKU....
Lembut,,
lembut,, lembut,, lembut,,
Untaian janji
kawanan semut-semut..
Lembut,,
lembut,, lembut,,
Rinduku tersudut
maut,,
Kalut,,
Berkabut...
No comments:
Post a Comment