“Hidup itu jangan dibikin rumit. Yang udah berlalu ya udahlah, ngapain juga diinget-inget terus?”
Suara Ray tiba-tiba memecah keheningan diruangan siaran. Aku yang sejak beberapa menit yang lalu kepergok melamun olehnya, tiba-tiba dikejutkan oleh perkataannya yang seakan mengetahui apa yang sedang aku rasakan.
“Kenapa ngomongnya gitu?”
Dia lalu menggeser kursinya dan mendekat ke arahku.
“Kamu tuh ya, jalan ke Mall sama aku, tiba-tiba pengen pulang, alasannya karena terakhir kamu ke Mall itu sama dia. Terus aku ajak makan, kamu tiba-tiba sedih, kamu bilang kalau itu makanan kesukaan dia dan kamu sering makan itu bareng dia. Oke, aku terima. Tapi, makin ke sini, ko semuanya tentang dia terus? Ya udah, aku ajak ke pantai, eh sedih lagi, kamu inget orang yang satu lagi lah dan temen kamu yang udah meninggal juga lah. Aku bingung lho lama-lama.”
Aku sedikit terkejut mendengar ucapannya tentang sikap aku akhir-akhir ini. Aku kemudian berdiri dan menatapnya sesaat seraya tersenyum.
“Aku pulang dulu!”
***
Di luar, hujan turun dengan deras, jalanan mulai basah dan aku masih sedikit ragu untuk melangkahkan kaki dan beranjak dari sini. Ray yang melihatku masih berdiri tidak jauh dari parkiran, kemudian menghampiriku dengan tergesa-gesa.
“Ayo aku antar. Oya, tapi, kita mampir dulu ya ke suatu tempat, mudah-mudahan di tempat ini kamu belum pernah punya kenangan dengan siapapun.”
Ray tersenyum seraya mengikat rambut gondrongnya yang sedikit berantakan. Aku masih penasaran dengan tempat yang dia maksud, sehingga aku ragu untuk berjalan mengikutinya menuju tempat parkir.
“Mau kemana gitu? Aku ga bisa ikut kalau ga jelas!”
Ray lalu menoleh dengan wajah datar dan tanpa senyuman.
“Makam!”
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku lalu mengikutinya. Aku berpikir mungkin dia merindukan keluarga atau orang terdekatnya yang sudah meninggal, jadi aku merasa kalau ajakannya ke makam adalah hal yang wajar.
“Sedih itu wajar, tapi akan jadi ga wajar kalau terus berlarut-larut! Kehilangan? Itu juga wajar banget, apa sih yang abadi di dunia ini? Ga ada! Semua orang juga bakal berpisah satu sama lain, jadi ngapain sedih mulu.”
Ray tiba-tiba membuka percakapan ketika mulai menyetir dan menerobos jalanan yang basah oleh air hujan.
“Kamu ngomong gitu karena mungkin ga merasakan apa yang aku rasakan! Mungkin kalau kamu ada di posisi aku, kamu bakal bersikap kaya aku.”
Tanpa menggubris ucapanku, Ray kemudian menghentikan laju mobilnya, lalu dia menoleh ke arahku seraya tersenyum.
“Ayo turun, kita udah sampe!”
Aku kemudian turun dari mobil dan melihat keadaan disekelilingku. Tempat ini sangat sepi sekali dan banyak sekali pohon-pohon besar. Aku tidak melihat banyak kuburan layaknya sebuah pemakaman, tapi aku tidak menaruh kecurigaan sedikitpun terhadapnya dan aku terus mengikuti dia. Hingga aku sampai di tempat yang tidak jauh dari situ, di mana ada sebuah pohon paling besar dan rimbun yang di bawahnya terdapat empat buah kuburan, Ray kemudian berhenti di situ.
“Itu adalah makam orangtua, adik, dan istri aku yang baru aku nikahi satu hari! Mereka mati dibantai!”
Sontak aku terkejut mendengar ucapannya. Aku tidak mengira dengan apa yang aku dengar saat ini. Kengerian kemudian terasa disekujur tubuhku. Sekarang tepat pukul 18.00 dan aku masih berada di tempat yang jauh dari keramaian, tepat di tengah-tengah makam orang-orang yang mati dibantai. Bulu kudukku berdiri dan aku ingin segera pergi dari situ.
“Ray, aku ingin pulang!”
Ray kemudian menoleh dengan tatapan serius, aku merasakan sesuatu yang lain pada sorot matanya. Dia tidak seperti biasanya.
“Sabar, sebentar lagi kamu pulang ko! Lihat, itu udah ada tempat baru satu. Udah aku siapin jauh-jauh hari!”
Ray kemudian menunjuk sebuah kuburan yang tampak baru digali. Aku semakin merinding mendengar ucapannya, tapi aku yakin dia hanya bercanda dengan ucapannya itu.
“Apaan sih, ga lucu!”
Ray berjalan mendekat ke arahku dan menunjukkan sesuatu ditangannya, sabit. Aku terkejut bukan main dan merasa kalau dia tidak sedang bercanda kali ini. Tanpa berpikir panjang, aku mencoba berlari dari hadapannya seraya berteriak meminta tolong, namun dengan cepat dia telah memegang tangan dan membungkam mulutku.
“Aku kasihan sama kamu! Kamu jangan takut, sakitnya cuma sebentar ko dan setelah itu kamu bakal tau apa itu arti dari kebahagiaan sejati.”
Dalam keadaan panik dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi, aku kemudian memejamkan mata dan berdoa. Aku yakin dengan kekuatan doa, apalagi disaat terdesak seperti ini. Airmataku deras mengalir, disertai keringat dingin yang mengalir diseluruh tubuh. Tubuhku terasa sangat dingin dan jantungku berdegup dengan kencang. Dalam hitungan ketiga, Ray telah menaruh sabit itu didekat leherku.
“Pasrah atau lawan!”
Tiba-tiba aku mendengar suara hatiku sendiri. Aku kemudian memikirkan dua kata itu, pasrah atau lawan. Dari tadi aku tidak melawan karena aku tidak yakin kalau aku bisa melawan seorang laki-laki dengan tinggi 187cm, berat 86kg, dan memegang sabit ditangannya. Namun, sekonyong-konyong tubuhku seperti mempunyai kekuatan. Aku menggigit tangannya dan menendangnya, hingga sabit itu jatuh dari tangannya, lalu dengan cepat aku mengambil sabit itu dengan keringat bercucuran dan nafas tersengal. Ray kemudian diam dan mengangkat kedua tangannya seperti seorang penjahat yang menyerah kepada polisi.
***
“Veee, itu ada Ray!!!”
Suara ibu kemudian membangunkan tidurku yang cukup pulas. Aku tertegun sesaat dan mengingat kejadian yang baru saja aku alami.
“Ternyata cuma mimpi!”
Aku usap keringatku dan mencoba menemui Ray yang sudah menunggu sejak tadi.
“Kamu jam segini baru bangun? Kamu lupa ya kalau sekarang harus siaran untuk jadi narasumber! Mandi gih, aku tunggu ya!”
Aku tatap wajah Ray dengan seksama dan terasa ketakutan masih menghantui pikiranku. Terbayang sikap Ray yang begitu menakutkan dalam mimpiku. Ah, tapi, bukankah itu hanya mimpi? Gerutuku dalam hati. Namun, aku teringat kata-kata Teresa bahwa mimpi bisa saja merupakan firasat sesuatu yang akan terjadi dalam hidup kita, hanya saja kita sulit untuk mengartikannya.
“Loh ko malah melamun?”
Ray keheranan melihatku termangu di depan matanya. Aku kemudian kembali menatap matanya dengan serius dan mencoba menanyakan sesuatu.
“Aku mau tanya boleh?”
Dia mengangguk pelan.
“Aku minta maaf sebelumnya karena menanyakan hal ini, tapi aku ingin tau, apakah keluarga kamu masih ada atau sudah meninggal? Dan apa kamu juga pernah punya seorang istri lalu dia juga sudah meninggal?”
Wajah Ray tampak terkejut mendengar pertanyaanku, dia kemudian melihat jam tangannya dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Wah kita hampir telat nih, buruan kamu mandi dulu deh. Nanti aku jawab di jalan!”
“Ga bisa! Aku ingin tau sekarang!”
Dengan nada serius, aku memaksa Ray untuk menjawab pertanyaanku. Dia kemudian menghela nafas panjang dan mulai bercerita.
“Iya, keluarga dan istri aku yang baru aku nikahi satu hari sudah meninggal.”
“Meninggal kenapa dan dimakamkan dimana?”
Aku memotong pembicaraannya dan menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Dia kemudian tertawa dan mulai berdiri.
“DIBANTAI! PUAS? Aku duluan ya, kamu berangkat sendiri aja, permisi!”
Ray kemudian berlalu dari hadapanku dan menyisakan tanda tanya besar dikepalaku.
***
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana mereka dibantai!”
Suara Ray kemudian terdengar mengharukan sesaat setelah kita selesai siaran. Aku hanya mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkomentar sedikitpun hingga dia selesai bercerita.
“Rumahku saat itu ibarat tempat penjagalan. Darah bercucuran dimana-mana dan sebelumnya aku mendengar banyak suara rintihan seperti orang kesakitan. Aku ga bisa berbuat apa-apa, selain hanya menyaksikan, karena aku ga bisa melihat dimana dan siapa pembunuhnya.”
“Kamu ada di sana saat terjadi pembantaian, tapi kamu ga bisa berbuat apa-apa dan tidak tau siapa yang melakukan pembantaian? Itu aneh sekali menurutku!”
Aku mulai mengutarakan rasa heranku setelah mendengar ceritanya yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia tidak dapat melihat orang yang membantai keluarganya, padahal dia berada di situ.
“Apa kamu datang setelah pembantaian itu terjadi? Atau kamu sedang bersama mereka, lalu tiba-tiba datang pembunuh?”
Dia kemudian tersenyum kecut, lalu menatap mataku.
“Aku sedang bersama mereka, lalu aku melihat mereka dibantai!”
Tanpa bertanya lebih banyak lagi, aku memilih untuk menutup pembicaraan hari ini dan bergegas untuk pulang sendiri. Aku merasa ada yang rancu dari semua rangkaian kejadian yang dia ceritakan.
“Aku antar pulang ya? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Aku menggelengkan kepala dengan cepat dan mencoba berjalan mendekati pintu. Aku tak ingin mimpi buruk yang aku alami benar-benar terjadi dalam alam nyata, karena aku belum siap menghadapi kejadian yang menakutkan seperti itu.
“Kenapa ga mau?”
Dia kemudian bertanya dengan penuh rasa penasaran karena melihat gelagatku yang menurutnya berbeda dari biasanya.
“Aku mau ketemu pacarku!”
Dia kemudian tertawa lebar mendengar kata pacar yang aku ucapkan.
“Pacar? Setau aku kamu belum pacaran lagi sejak beberapa tahun yang lalu kamu putus dari orang yang udah nyakitin kamu itu!”
“Aku balikan lagi sama dia!”
Tawa dia kemudian terhenti dan rona wajahnya kemudian memerah seperti orang yang tiba-tiba tersengat listrik.
“APAA?? Coba ulangi sekali lagi!”
Matanya kini melotot dan urat-urat diwajahnya mulai tegang. Tanpa melanjutkan pembicaraan, aku kemudian berlari keluar, memanggil Taxi dan bergegas untuk pulang.
***
Disepanjang jalan pulang, aku mulai memikirkan banyak hal, termasuk ucapanku yang mengatakan kalau aku menjalin hubungan kembali dengan mantan. Aku telah berbohong kepada Ray, tapi itu adalah spontanitas yang aku lakukan karena aku takut berlama-lama dengannya, terlebih lagi saat mendengar cerita pembantaian terhadap keluarganya, sedang dia tidak mengetahui siapa pelakunya. Itu aneh sekali menurutku.
Handphoneku kemudian berdering, disaat Taxi tengah melaju dengan kencang.
“Hallo, ada apa Fell?”
Tak ada suara dan panggilan itu kemudian terputus. Aku kemudian menelpon balik Fella, karena aku kira pulsanya habis, namun tidak ada yang mengangkat. Aku kemudian meletakkan kembali handphoneku di dalam tas dan mencoba untuk tidur sebelum sampai rumah. Belum sempat aku tertidur, handphoneku kembali berdering dan bukan dari Fella, tapi dari pacarnya, Ari.
“Ada apa ya Ari nelpon, tumben!”
Aku kemudian mengangkat telpon dari Ari dengan rasa penasaran.
“Hallo, ada apa Ri?”
Nafas Ari terdengar naik turun. Dalam keadaan panik, dia menceritakan kalau Fella sekarang di rumah sakit.
“Fella pulang bareng Ray, lalu mereka berhenti sebentar di sebuah pemakaman keluarga yang jauh dari pemukiman warga. Ray kemudian ke luar, sedang Fella tetap berada di dalam mobil. Di dalam mobil, tanpa sengaja Fella melihat sebuah buku terbuka dan Fella sangat terkejut ketika membaca salah satu kalimat di dalamnya yang mengatakan bahwa dia akan membunuh kamu! Ray kemudian memergoki Fella yang sedang membaca buku pribadinya. Fella kemudian berlari ke luar, namun Ray menusuknya. Kemudian ada tukang ojek yang tidak sengaja melihat kejadian itu, dan berniat menolong Fella. Ray kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kencang. Fella tadi sempat bercerita sebelum jatuh pingsan. Sekarang keadaan Fella kritis, sedangkan Ray masih menjadi buronan polisi.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika mendengar penjelasan dari Ari. Aku hanya bisa diam dan memejamkan mataku. Semua terasa berat dan berputar.
Isak tangis terdengar begitu menyayat hati tatkala aku tiba di Rumah sakit. Fella ternyata tidak bisa diselamatkan. Aku tertegun cukup lama di sana. Aku kemudian berjalan menuju pojok paling sepi di luar rumah sakit itu. Aku pejamkan mata dan menghela nafas panjang. Aku biarkan diriku larut dalam keheningan sesaat.
“Hati-hati dengan cinta!”
Aku kemudian mendengar suara Teresa tidak jauh dari tempat aku berdiri, namun aku masih diam dan mencoba berbaur dengan suasana yang aku rasakan saat ini.
“Cinta yang berakhir dengan keinginan untuk memiliki, ujungnya hanya akan menyakiti.”
Aku tetap memejamkan mata dan kembali mendengarkan suara-suara yang kini tengah menasehatiku.
“Bukankah cinta adalah kebebasan?”
Aku kemudian membuka mataku dan melihat sekelilingku yang sudah gelap. Aku kemudian duduk dan kembali memejamkan mata. Aku masih ingin mendengar kembali suara-suara itu.
“Kamu takut dengan Ray? Coba kamu ambil cermin dan bercerminlah! Bukankah awal mula dia berbuat seperti itu karena keinginan yang kuat untuk memiliki? Bukankah kamu bisa saja seperti dia jika kamu terus menerus memupuk dendam karena keingininan kamu untuk memiliki tidak bisa terwujud?”
Aku kembali membuka mataku dan memahami kalimat terakhir yang baru saja aku dengar. Aku kemudian menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Aku tidak mungkin bersikap sadis seperti dia!”
“Tidak ada kata sadis, kejam ataupun keji, tapi semuanya bermula dari keinginan untuk memiliki. Jadi, hati-hati!”
***
Bersambung..