Sunday, June 26, 2016

Pengemis Rasa


Seorang pengemis rasa
Dipelataran bersalju tanpa busana
Menengadah pada hujan air mata
Mengais lelah pada lalu lalang paras mesra

Diam tertunduk lesu,
Malu..
Lusuh berdebu,
Berselimutkan baju kenangan
Dan tambalan-tambalan luka

Tak ada satupun dermawan rasa
Pada kantong sakunya gulana

Sendiri..
Dia mengecup sepi
Di bawah langit-langit bertali mimpi

Ketir,
Sendirinya memeluk kaki
Seakan-akan cinta sejati..

Duka adalah temannya memintal sunyi
Yang dingin tanpa pijaran mentari

Satu, dua, kawanan warna pelangi
Sudah beranjak tadi pagi

Tinggalah dia terpencil
Menggigil..
Menunggu kekasihnya Izrail
Memanggil..





Friday, June 24, 2016

Dua Pasang Mata (Bagian Lima)




    “Aku udah sampe nih, rumahnya yang mana ya?”
Setelah mengirimkan pesan singkat kepada Acha, aku lalu menunggunya di bawah pohon tepat disebuah halaman rumah yang sepertinya tidak berpenghuni.
    “Masuk aja ke dalam, rumah aku itu yang ga ada pagarnya. Aku ganti baju dulu sebentar ya.”
    “Maksud dia, rumahnya adalah rumah yang aku lihat ini?”
Tanyaku dalam hati. Aku masih tidak percaya bahwa rumah Acha itu adalah rumah yang tadi aku kira rumah kosong. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam halaman rumahnya.
Mataku kemudian melihat-lihat ke sekeliling halaman rumah ini dan aku sungguh tidak menyangka kalau rumah ini berpenghuni. Pohon-pohon besar dan rindang berjejer di sana, rumput-rumput liar dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa pernah dipotong, bunga-bunga di dalam pot tua tampak layu dan sepertinya tidak pernah di siram. Bukan hanya itu, cat rumah ini juga tampak memudar dan sebagian telah mengelupas, langit-langit rumahnya juga sebagian hampir roboh. Aku tertegun sesaat dan masih merasa tidak percaya bahwa dia tinggal di sini.
    “Udah lama? Ayo masuk!”
Sebuah suara kemudian membuyarkan lamunanku. Aku melihat Acha sudah berada di depan pintu seraya tersenyum dan mempersilahkan aku untuk masuk.
    “Belum lama ko, baru aja nyampe.”
Aku kemudian membuka sepatu dan masuk ke dalam rumahnya. Mataku dengan spontan melihat ke sekeliling rumah ini dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat sebuah pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan yang aku lihat di luar. Kursi-kursi jati berwana gelap tampak berdebu di ruangan tamu, juga sebuah kursi goyang dan sepeda anak yang sudah di penuhi sarang laba-laba. Lantai marmer yang aku pijak saat ini juga penuh dengan debu.
Ukuran rumah ini sebenarnya lumayan besar dan bertingkat dua, hanya saja aku merasa seperti berada disebuah rumah kosong karena melihat keadaannya yang seperti ini.
    Aroma mistis kemudian aku rasakan ketika sepasang mata memandangku tajam seraya menghampiri aku yang tengah duduk tidak jauh dari situ. Sepasang mata itu adalah milik seekor kucing hitam milik Acha.
    “Ya beginilah keadaan aku! Oya Itu foto keluargaku”
Acha kemudian memulai pembicaraan dan kemudian menunjuk sebuah foto keluarga yang tepat berada di sebelahnya. Aku mengamati foto yang dimaksud oleh Acha dan sepertinya hanya foto itu satu-satunya yang berada di ruang tamu ini, dan tidak ada hiasan-hiasan dinding lainnya.
    “Sekarang keluarga pada kemana? Rasanya sepi banget dari tadi. Aku sempet ngira ini rumah kosong lho.”
Tanpa berbasa basi, aku kemudian menanyakan keberadaan keluarganya kepada Acha, namun Acha malah tersenyum dan terdiam cukup lama.
    “Ibu udah meninggal dan ayah sekarang tinggal di Sumatera dengan istri barunya, sedangkan saudara-saudaraku entah kemana, sudah tidak ada kabar lagi. Jadi, aku tinggal sendirian di sini.”
    “Sendirian??”
Acha mengangguk pelan.
    Pikiranku kemudian melayang kemana-mana. Aku masih ingat perkenalan pertamaku dengan Acha sekitar seminggu yang lalu ketika kita sama-sama mengikuti sebuah seminar. Mulanya dia bertanya tentang kampusku, lalu dia terkejut mendengar nama kampus itu dan kemudian mulai bercerita bahwa mantan kekasihnya adalah salah satu dosen di sana. Aku pun mengenal dosen yang dia maksud tersebut. Jadilah obrolan aku dan Acha berlanjut setelah pembicaraan mengenai dosen tersebut, termasuk mengenai alasan Acha tidak menikah sampai sekarang dan alasan dia adalah karena dia tidak bisa melupakan cinta pertamanya. Acha kemudian menanyakan usiaku saat ini dan aku menjawabnya, namun sebaliknya, ketika aku menanyakan usia dia, dia hanya diam. Namun, aku memperkirakan bahwa usia dia di atas empat puluh tahun, sesuai dengan usia dosen yang merupakan mantan pacarnya, karena sebelumnya Acha bercerita bahwa usia dia dengan dosen tersebut sama.
    “Kok melamun?”
Suara Acha kemudian membuyarkan kembali lamunanku.
    “Aku ga nyangka aja kalau kamu tinggal sendirian dan jauh dari sanak saudara. Mungkin kalau aku di posisi kamu, aku akan merasa sangat kesepian.”
Acha kemudian tersenyum seraya mengelus kucing hitamnya.
    “Ya mau gimana lagi. Namanya hidup ga selalu sesuai dengan yang kita mau. Kesepian itu pasti, tapi kadang kala kita memang butuh sepi dan sunyi untuk bisa mengenal diri kita sendiri.”
Aku menatap Acha dengan simpati. Aku lalu membayangkan diriku sendiri yang seringkali mengeluh sangat kesepian, padahal aku masih memiliki orang tua dan sanak saudara.
    “Apa kamu ga takut tinggal sendirian di sini?”
Acha kemudian tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia lalu berdiri dan menatap kearah jendela.
    “Ga ada yang lebih aku takutkan lagi  selain takut kehilangan.”
    “Takut kehilangan??”
Dengan rasa penasaran, aku menanyakan tentang pernyataan mengenai rasa takut kehilangan yang Acha maksud, karena aku berpikir dia telah kehilangan banyak hal, seperti kehilangan kekasih dan keluarganya, sehingga sekarang dia tinggal dalam kesendirian.
    “Aku takut kehilangan kendali terhadap diri aku sendiri!”
Aku kemudian mengangguk pelan mendengar jawabannya dan mulai merenungkan kalimat yang baru saja dia ucapkan.
    “Ketika kita kehilangan kendali terhadap diri sendiri, maka kita akan mudah terombang-ambing ketika menghadapi pasang surut kehidupan. Ketika kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi, bisa saja kita nekat untuk bunuh diri karena kita sudah tidak bisa menahan kesedihan yang berlarut-larut. Lalu kalau sudah begitu, untuk apa kita hidup? Kendali terhadap diri sendiri itu penting, agar kita bisa bertahan menghadapi ketidakpastian hidup ini.”
***

    Kata-kata Acha tentang pengendalian diri masih terngiang di telingaku, bagaimana tidak, selama ini aku nyaris kehilangan itu. Aku terombang-ambing dalam pusara nafsu, kesedihan, pemujaan cinta dan kesepian. Aku seperti kehilangan waktu untuk mengenali diriku lebih jauh. Padahal, pengenalan terhadap diri sendiri itu sangat penting, sebelum kita mengenal dan memahami orang lain lebih jauh.
    “Aku kangen banget sama kamu :’( ”
Tiba-tiba aku melihat sebuah email dari DS yang mengatakan bahwa dia merindukan aku. Aku kemudian membaca email itu sekali lagi dengan sedikit rasa senang. Namun kemudian aku tertegun sejenak dan mencoba menenangkan perasaanku yang selalu membuncah tiba-tiba.
    “Coba bersikap biasa, tenangkan diri! Bukankah dia sering mempermainkan perasaan kamu? Dia yang mulanya menumbuhkan rasa, kemudian setelah kamu ada rasa terhadap dia, dia kemudian meninggalkan kamu. Jadi, kamu harus tegas terhadap diri kamu sendiri! Jangan biarkan perasaan kamu diombang-ambing oleh orang lain!”
Suara hatiku kemudian berbicara seakan tengah menasehatiku. Aku merenungkannya sesaat, namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat bahagia mengetahui bahwa dia merindukanku. Aku kemudian tidak menggubris suara hatiku sendiri dan mulai membalas email dari dia.
    “Apa kamu kira aku ga kangen sama kamu?
Aku tak sabar menunggu kembali jawaban dari dia. Selalu seperti ini ketika dia tiba-tiba menghubungi aku, sehingga aku bingung dengan perasaan yang aku rasakan terhadapnya.
    “Maaf.”
Singkat, padat dan tidak jelas, hanya itu balasan dari dia, padahal aku menunggu kalimat berbaris-baris yang sudah lama aku rindukan darinya.
***
    “Apa kamu yakin akan pergi?”
Suara ibu kemudian menyadarkanku bahwa keberadaanku di sini tinggal beberapa minggu lagi sebelum aku menetap di Indiana, Amerika Serikat. Aku kemudian menatap ibu haru. Aku tahu bahwa aku tidak bisa jauh darinya. Aku tidak bisa setegar Acha yang hidup sendiri tanpa sebuah keluarga. Aku kemudian teringat sebuah lirik lagu yang mengatakan bahwa,
“Wanita mana yang sanggup hidup sendiri?”
Aku tertunduk lesu dan dipenuhi oleh kebimbangan.
    “Coba dipikir-pikir lagi!”
Suara ibu kemudian menyadarkanku bahwa dia tidak ingin jauh dari aku. Aku lalu menatap wajahnya dengan penuh kerinduan, kerinduan yang jarang sekali aku rasakan sebelumnya.
Aku kemudian membayangkan kondisi Acha yang sudah tidak memiliki ibu dan diusianya yang semakin tua, dia tidak memiliki suami dan juga jauh dari sanak saudara. Apa jadinya jika Aku berada diposisi dia? Aku kemudian menitikkan airmata dan lalu merasa bersyukur masih bisa melihat ibuku hingga detik ini.
***
    Ketika jarak membentangkan sayapnya, bersiap-siaplah kau berkecamuk dengan sebuah rasa yang mereka namakan rindu. Apa yang kau takutkan dengan rindu? Padahal rindu adalah sebuah lipatan, dimana bentangan dari jarak lalu terasa dekat dan setelah itu kalian akan tahu bagaimana rasa itu terhubung.
    Maka, bersiap-siaplah dengan putaran waktu, karena setiap putarannya akan memberikan kejutan-kejutan yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Untuk apa berlari? Jika dengan berlari kita akan semakin cepat untuk berpisah. Jadi cobalah untuk berjalan, karena dengan berjalan, kau akan tahu apa itu ritme dari sebuah keberadaan.
Aku ingin dekat, kau ingin dekat, kita ingin dekat. Tapi, sedekat apa? Padahal kita tahu bahwa dalam sebuah kedekatan yang sangat dekat sekalipun kita butuh jarak, untuk saling melihat satu sama lain.
    Aku bersemayam dalam bias matamu. Dalam binar-binar haru tatkala hatimu berkecamuk dengan rasa rindu.
Bercerminlah maka kau akan melihat bahwa aku tengah menatapmu. Aku adalah kalimat dari surat-suratmu yang tak pernah kau tuliskan. Aku adalah pantulan cahaya dari cahaya kasih sayangmu yang semakin jauh kau lupakan. Aku adalah bagian dari dalam dirimu. Aku adalah luapan dari rasamu yang tak pernah kau utarakan.
    Aku ingin menatapmu dari dekat, sekali lagi sebelum kelak  kau hanya mampu aku lihat sebagai siluet dari kenangan yang tak mampu lagi aku kenang.
Aku telah menuliskannya, satu persatu dari kalimat yang mampu aku tuliskan. Di sana ada namamu, pun ada namanya. Kau, dia dan sekelumit kisah-kisah rahasia kita.
    Dalam nafas yang masih hilir mudik hingga detik ini, aku ingin menghembuskannya pada raut wajahmu yang beku agar kelak saat takdir menuliskan kita untuk bertemu, aku mampu merasakan kehangatan yang penuh, tanpa ada lagi sikap diammu yang dilanda acuh.
Biru..sekali lagi terimakasih untuk nama itu.

Aku lipat surat itu dan lalu memasukannya ke dalam sebuah balon untuk kemudian aku lepaskan. Aku lalu menatap balon itu yang terbang semakin jauh, dan tidak bisa lagi dijangkau oleh kedua mataku.
    “Surat untuk siapa?”
Aku lalu menoleh seraya tersenyum.
    “Untuk DS.”
***
Bersambung..

Friday, June 17, 2016

Dua Pasang Mata (Bagian Empat)



    “ Apa kamu menyesal?”
Pertanyaan itu keluar seketika tatkala aku menemui Ray yang kini berada di balik jeruji besi. Ekspresinya terlihat datar, lalu dia menolehku seraya tersenyum.
    “Aku ga pernah menyesal dengan semua yang udah aku lakukan!”
Aku kaget mendengar jawabannya yang seperti itu, karena biasanya aku melihat beberapa tersangka pembunuhan selalu mengungkapkan kalimat penyesalan ketika mereka sudah mendekam dipenjara, namun lain halnya dengan Ray.
    “Apa sih yang kamu dapat dari semua ini?”
Mendengar kembali pertanyaan dari aku, Ray kemudian berdiri, menatapku sekilas dengan senyuman sinis, lalu berlalu dari hadapanku.
    “KEPUASAN!”
***

    “Ada apa dengan tanggal 19 Juni?”
Gumamku dalam hati tatkala melihat sebuah tanda merah di kalender, tepat pada tanggal 19.
    “Itu tanggal kamu jadian dengan mantan!”
Aku menoleh seketika ke arah sumber suara, namun tak ada siapapun di sana. Aku kemudian memejamkan mata dan mengingat kenangan beberapa tahun silam tepat pada tanggal 19, namun belum sempat aku mengingatnya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lain.
    “Menurut kamu apakah cinta itu seperti yang kamu rasakan terhadap HF atau DS?”
Teresa? Aku kemudian merasakan keberadaannya di tempat ini dengan sebuah pertanyaannya yang tiba-tiba tentang cinta.
    “Entahlah, aku sulit untuk membedakannya!”
    “Seingatku, kamu pernah mengatakan bahwa kamu mencintai HF dan menyayangi DS. Bukan begitu?”
Aku kemudian mengingat kembali beberapa perkataan yang pernah aku ucapkan kepada Teresa dan aku mengiyakan apa yang dikatakannya tentang rasa cinta dan sayang.
    “Apa bedanya rasa cinta dan sayang?”
Mendengar pertanyaan lain dari Teresa, Aku kemudian menghadirkan sosok HF dan DS dalam hatiku dan berusaha mengingat kembali perasaan yang aku rasakan terhadap mereka.
    “Dulu, aku punya definisi tentang perbedaan kedua istilah itu, namun sekarang aku sadar bahwa tidak semua yang kita rasakan harus didefinisikan, bahkan dicari perbedaannya.”
Keheningan kemudian terasa di sekitarku, sebelum akhirnya Teresa berbicara kembali terhadapku.
    “Besok adalah tanggal 19 Juni pada tahun kelima kamu jatuh cinta pada HF, apa kamu mau berbicara dengannya?”
Aku kemudian menggelengkan kepalaku dan aku mulai membuka mata.
    “Aku ingin berbicara dengan DS.”
Teresa kemudian tertawa mendengar jawabanku, namun aku tidak menghiraukannya dan kembali menutup mata.
    “Coba ceritakan kepadaku apa yang menarik dari dia, sebelum kamu menghadirkan sosoknya dan berbicara kepadanya!”
Aku kemudian mengingat sosok DS yang dulu selalu menemani hari-hariku. Aku tersenyum sesaat dan mengingat kembali masalalu ketika aku jatuh cinta pada HF, namun aku lebih merasakan kenyamanan dengan DS yang juga menyukaiku.
    “Ketulusannya membuatku merasa selalu terhubung dengan dia! Dibalik sikap diamnya, aku melihat kepedulian. Diantara sikap acuhnya, aku merasakan perhatian, dan dibalik jarak yang begitu jauh antara aku dengan dia, aku merasa dia begitu dekat, sangat dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan kehadirannya setiap saat. Aku bisa melihat diriku sendiri ketika aku melihatnya.”
Teresa kemudian mendekatiku lalu menaruh kedua tangannya di atas pundakku.
    “Kalau itu yang kamu rasakan terhadap DS, lalu bagaimana dengan cinta yang hingga saat ini kamu rasakan terhadap HF?”
Aku kemudian berpaling dari Teresa dan menatap foto HF dari jauh. Hatiku kemudian terasa terbakar dan kebencian membuat kedua mataku berpijar, panas.
    “Dia adalah cinta pertama aku. Aku selalu berkorban untuk dia dan dia seringkali menyakitiku, namun dibalik rasa cintaku itu, sekarang aku tau bahwa aku ga pernah benar-benar tulus terhadapnya. Sebesar apapun aku berkorban untuk dia, ternyata aku hanya ingin membahagiakan diriku sendiri. Aku ingin memiliki dia dan aku tidak terima ketika dia bersama yang lain, hingga timbul kebencian dan dendam dari dalam diriku. Aku kemudian menyimpulkan bahwa ini bukan cinta, melainkan nafsu dan keegoisan!”
Teresa kembali menghampiriku seraya tersenyum. Dia kemudian menyodorkan sebuah tiket ke arahku.
    “Jika aku kasih kamu satu tiket, siapa yang benar-benar ingin kamu temui saat ini?”
Dengan tatapan serius aku kemudian melihat tiket itu. Dan aku sulit untuk menyebutkan satu nama. Aku kemudian menggeleng pelan dan lalu dilanda sebuah kebingungan yang baru sekarang aku rasakan.
    “HF atau DS?”
Aku terhenyak mendengar dua nama yang semakin diperjelas oleh Teresa. Aku lalu mengangkat wajahku dan mengucapkan satu nama.
    “DS”
***

    Sudah satu jam lamanya aku membiarkan selembar kertas kosong dan pulpen itu tergeletak di depanku, padahal aku seharusnya sudah mulai menulis surat untuk DS, sesuai dengan perintah Teresa. Namun aku malah diam dan memikirkan percakapan terakhir aku dengan Teresa yang terus terngiang ditelingaku.
    “Kamu mencintai HF, namun kamu mengistimewakan DS. Setiap hari kamu ingin bertemu dengan HF, tapi ketika aku menyodorkan sebuah tiket, kamu justru memilih menemui DS. Bukankah kamu sangat aneh?”
Teresa tertawa dan aku juga tertawa.
    “Aku aneh dan DS juga aneh. Jadi, kita cocok!”
Aku dan Teresa kembali tertawa mendengar pernyataan itu.
    “Ada satu waktu dimana aku memang harus benar-benar menjauh dari orang yang paling aku cintai, paling ingin aku temui. Kamu tau kenapa? Agar keinginan aku untuk memilikinya ga semakin kuat. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk menemui DS, karena aku merasakan sebuah kasih sayang yang tanpa syarat, yang tidak mengharuskan sebuah timbal balik, dan yang tidak menimbulkan benci dan dendam sedikitpun.”
Teresa kemudian mengangguk dan tersenyum sinis ke arahku.
    “Bila memungkinkan, sebenarnya kamu ingin memiliki mereka berdua, bukan begitu?”
***
    Tepat dibulan Juni, hujan kembali turun dengan deras, menghantarkan kembali kerinduan yang tidak pernah memiliki batas. Ada cinta, ada airmata, dan ada cerita-cerita lama yang kini berjatuhan bersama hujan yang singgah di teras rumah, menceritakan kembali kisahnya, hingga tergenanglah sekumpulan kenangan yang kini berkidung dalam sebuah puisi yang begitu menyayat hati, Hujan Bulan Juni.

Hujan Bulan Juni
Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu


    “Happy 5th Anniversarry, June!”
***
Bersambung..

Thursday, June 16, 2016

Dua Pasang Mata (Bagian Tiga)


    “Hidup itu jangan dibikin rumit. Yang udah berlalu ya udahlah, ngapain juga diinget-inget terus?”
Suara Ray tiba-tiba memecah keheningan diruangan siaran. Aku yang sejak beberapa menit yang lalu kepergok melamun olehnya, tiba-tiba dikejutkan oleh perkataannya yang seakan mengetahui apa yang sedang aku rasakan.
    “Kenapa ngomongnya gitu?”
Dia lalu menggeser kursinya dan mendekat ke arahku.
    “Kamu tuh ya, jalan ke Mall sama aku, tiba-tiba pengen pulang, alasannya karena terakhir kamu ke Mall itu sama dia. Terus aku ajak makan, kamu tiba-tiba sedih, kamu bilang kalau itu makanan kesukaan dia dan kamu sering makan itu bareng dia. Oke, aku terima. Tapi, makin ke sini, ko semuanya tentang dia terus? Ya udah, aku ajak ke pantai, eh sedih lagi, kamu inget orang yang satu lagi lah dan temen kamu yang udah meninggal juga lah. Aku bingung lho lama-lama.”
Aku sedikit terkejut mendengar ucapannya tentang sikap aku akhir-akhir ini. Aku kemudian berdiri dan menatapnya sesaat seraya tersenyum.
    “Aku pulang dulu!”

***

    Di luar, hujan turun dengan deras, jalanan mulai basah dan aku masih sedikit ragu untuk melangkahkan kaki dan beranjak dari sini. Ray yang melihatku masih berdiri tidak jauh dari parkiran, kemudian menghampiriku dengan tergesa-gesa.
    “Ayo aku antar. Oya, tapi, kita mampir dulu ya ke suatu tempat, mudah-mudahan di tempat ini kamu belum pernah punya kenangan dengan siapapun.”
Ray tersenyum seraya mengikat rambut gondrongnya yang sedikit berantakan. Aku masih penasaran dengan tempat yang dia maksud, sehingga aku ragu untuk berjalan mengikutinya menuju tempat parkir.
    “Mau kemana gitu? Aku ga bisa ikut kalau ga jelas!”
Ray lalu menoleh dengan wajah datar dan tanpa senyuman.
    “Makam!”
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku lalu mengikutinya. Aku berpikir mungkin dia merindukan keluarga atau orang terdekatnya yang sudah meninggal, jadi aku merasa kalau ajakannya ke makam adalah hal yang wajar.
    “Sedih itu wajar, tapi akan jadi ga wajar kalau terus berlarut-larut! Kehilangan? Itu juga wajar banget, apa sih yang abadi di dunia ini? Ga ada! Semua orang juga bakal berpisah satu sama lain, jadi ngapain sedih mulu.
Ray tiba-tiba membuka percakapan ketika mulai menyetir dan menerobos jalanan yang basah oleh air hujan.
    “Kamu ngomong gitu karena mungkin ga merasakan apa yang aku rasakan! Mungkin kalau kamu ada di posisi aku, kamu bakal bersikap kaya aku.”
Tanpa menggubris ucapanku, Ray kemudian menghentikan laju mobilnya, lalu dia menoleh ke arahku seraya tersenyum.
    “Ayo turun, kita udah sampe!”
Aku kemudian turun dari mobil dan melihat keadaan disekelilingku. Tempat ini sangat sepi sekali dan banyak sekali pohon-pohon besar. Aku tidak melihat banyak kuburan layaknya sebuah pemakaman, tapi aku tidak menaruh kecurigaan sedikitpun terhadapnya dan aku terus mengikuti dia. Hingga aku sampai di tempat yang tidak jauh dari situ, di mana ada sebuah pohon paling besar dan rimbun yang di bawahnya terdapat empat buah kuburan, Ray kemudian berhenti di situ.
    “Itu adalah makam orangtua, adik, dan istri aku yang baru aku nikahi satu hari! Mereka mati dibantai!”
Sontak aku terkejut mendengar ucapannya. Aku tidak mengira dengan apa yang aku dengar saat ini. Kengerian kemudian terasa disekujur tubuhku. Sekarang tepat pukul 18.00 dan aku masih berada di tempat yang jauh dari keramaian, tepat di tengah-tengah makam orang-orang yang mati dibantai. Bulu kudukku berdiri dan aku ingin segera pergi dari situ.
    “Ray, aku ingin pulang!”
Ray kemudian menoleh dengan tatapan serius, aku merasakan sesuatu yang lain pada sorot matanya. Dia tidak seperti biasanya.
    “Sabar, sebentar lagi kamu pulang ko! Lihat, itu udah ada tempat baru satu. Udah aku siapin jauh-jauh hari!”
Ray kemudian menunjuk sebuah kuburan yang tampak baru digali. Aku semakin merinding mendengar ucapannya, tapi aku yakin dia hanya bercanda dengan ucapannya itu.
    Apaan sih, ga lucu!”
Ray berjalan mendekat ke arahku dan menunjukkan sesuatu ditangannya, sabit. Aku terkejut bukan main dan merasa kalau dia tidak sedang bercanda kali ini. Tanpa berpikir panjang, aku mencoba berlari dari hadapannya seraya berteriak meminta tolong, namun dengan cepat dia telah memegang tangan dan membungkam mulutku.
    “Aku kasihan sama kamu! Kamu jangan takut, sakitnya cuma sebentar ko dan setelah itu kamu bakal tau apa itu arti dari kebahagiaan sejati.”
Dalam keadaan panik dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi, aku kemudian memejamkan mata dan berdoa. Aku yakin dengan kekuatan doa, apalagi disaat terdesak seperti ini. Airmataku deras mengalir, disertai keringat dingin yang mengalir diseluruh tubuh. Tubuhku terasa sangat dingin dan jantungku berdegup dengan kencang. Dalam hitungan ketiga, Ray telah menaruh sabit itu didekat leherku.
    “Pasrah atau lawan!”
Tiba-tiba aku mendengar suara hatiku sendiri. Aku kemudian memikirkan dua kata itu, pasrah atau lawan. Dari tadi aku tidak melawan karena aku tidak yakin kalau aku bisa melawan seorang laki-laki dengan tinggi 187cm, berat 86kg, dan memegang sabit ditangannya. Namun, sekonyong-konyong tubuhku seperti mempunyai kekuatan. Aku menggigit tangannya dan menendangnya, hingga sabit itu jatuh dari tangannya, lalu dengan cepat aku mengambil sabit itu dengan keringat bercucuran dan nafas tersengal. Ray kemudian diam dan mengangkat kedua tangannya seperti seorang penjahat yang menyerah kepada polisi.
***
   
    “Veee, itu ada Ray!!!”
Suara ibu kemudian membangunkan tidurku yang cukup pulas. Aku tertegun sesaat dan mengingat kejadian yang baru saja aku alami.
    “Ternyata cuma mimpi!”
Aku usap keringatku dan mencoba menemui Ray yang sudah menunggu sejak tadi.
    “Kamu jam segini baru bangun? Kamu lupa ya kalau sekarang harus siaran untuk jadi narasumber! Mandi gih, aku tunggu ya!”
Aku tatap wajah Ray dengan seksama dan terasa ketakutan masih menghantui pikiranku. Terbayang sikap Ray yang begitu menakutkan dalam mimpiku. Ah, tapi, bukankah itu hanya mimpi? Gerutuku dalam hati. Namun, aku teringat kata-kata Teresa bahwa mimpi bisa saja merupakan firasat sesuatu yang akan terjadi dalam hidup kita, hanya saja kita sulit untuk mengartikannya.
    “Loh ko malah melamun?”
Ray keheranan melihatku termangu di depan matanya. Aku kemudian kembali menatap matanya dengan serius dan mencoba menanyakan sesuatu.
    “Aku mau tanya boleh?”
Dia mengangguk pelan.
    “Aku minta maaf sebelumnya karena menanyakan hal ini, tapi aku ingin tau, apakah keluarga kamu masih ada atau sudah meninggal? Dan apa kamu juga pernah punya seorang istri lalu dia juga sudah meninggal?”
Wajah Ray tampak terkejut mendengar pertanyaanku, dia kemudian melihat jam tangannya dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
    “Wah kita hampir telat nih, buruan kamu mandi dulu deh. Nanti aku jawab di jalan!”
    “Ga bisa! Aku ingin tau sekarang!”
Dengan nada serius, aku memaksa Ray untuk menjawab pertanyaanku. Dia kemudian menghela nafas panjang dan mulai bercerita.
    “Iya, keluarga dan istri aku yang baru aku nikahi satu hari sudah meninggal.”
    “Meninggal kenapa dan dimakamkan dimana?”
Aku memotong pembicaraannya dan menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Dia kemudian tertawa dan mulai berdiri.
    “DIBANTAI! PUAS? Aku duluan ya, kamu berangkat sendiri aja, permisi!”
Ray kemudian berlalu dari hadapanku dan menyisakan tanda tanya besar dikepalaku.
***
    Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana mereka dibantai!”
Suara Ray kemudian terdengar mengharukan sesaat setelah kita selesai siaran. Aku hanya mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkomentar sedikitpun hingga dia selesai bercerita.
    “Rumahku saat itu ibarat tempat penjagalan. Darah bercucuran dimana-mana dan sebelumnya aku mendengar banyak suara rintihan seperti orang kesakitan. Aku ga bisa berbuat apa-apa, selain hanya menyaksikan, karena aku ga bisa melihat dimana dan siapa pembunuhnya.”
    “Kamu ada di sana saat terjadi pembantaian, tapi kamu ga bisa berbuat apa-apa dan tidak tau siapa yang melakukan pembantaian? Itu aneh sekali menurutku!”
Aku mulai mengutarakan rasa heranku setelah mendengar ceritanya yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia tidak dapat melihat orang yang membantai keluarganya, padahal dia berada di situ.
    “Apa kamu datang setelah pembantaian itu terjadi? Atau kamu sedang bersama mereka, lalu tiba-tiba datang pembunuh?”
Dia kemudian tersenyum kecut, lalu menatap mataku.
    “Aku sedang bersama mereka, lalu aku melihat mereka dibantai!”
Tanpa bertanya lebih banyak lagi, aku memilih untuk menutup pembicaraan hari ini dan bergegas untuk pulang sendiri. Aku merasa ada yang rancu dari semua rangkaian kejadian yang dia ceritakan.
    “Aku antar pulang ya? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Aku menggelengkan kepala dengan cepat dan mencoba berjalan mendekati pintu. Aku tak ingin mimpi buruk yang aku alami benar-benar terjadi dalam alam nyata, karena aku belum siap menghadapi kejadian yang menakutkan seperti itu.
    “Kenapa ga mau?”
Dia kemudian bertanya dengan penuh rasa penasaran karena melihat gelagatku yang menurutnya berbeda dari biasanya.
    “Aku mau ketemu pacarku!”
Dia kemudian tertawa lebar mendengar kata pacar yang aku ucapkan.
    “Pacar? Setau aku kamu belum pacaran lagi sejak beberapa tahun yang lalu kamu putus dari orang yang udah nyakitin kamu itu!”
    “Aku balikan lagi sama dia!”
Tawa dia kemudian terhenti dan rona wajahnya kemudian memerah seperti orang yang tiba-tiba tersengat listrik.
    “APAA?? Coba ulangi sekali lagi!”
Matanya kini melotot dan urat-urat diwajahnya mulai tegang. Tanpa melanjutkan pembicaraan, aku kemudian berlari keluar, memanggil Taxi dan bergegas untuk pulang.
***
    Disepanjang jalan pulang, aku mulai memikirkan banyak hal, termasuk ucapanku yang mengatakan kalau aku menjalin hubungan kembali dengan mantan. Aku telah berbohong kepada Ray, tapi itu adalah spontanitas yang aku lakukan karena aku takut berlama-lama dengannya, terlebih lagi saat mendengar cerita pembantaian terhadap keluarganya, sedang dia tidak mengetahui siapa pelakunya. Itu aneh sekali menurutku.
Handphoneku kemudian berdering, disaat Taxi tengah melaju dengan kencang.
    “Hallo, ada apa Fell?”
Tak ada suara dan panggilan itu kemudian terputus. Aku kemudian menelpon balik Fella, karena aku kira pulsanya habis, namun tidak ada yang mengangkat. Aku kemudian meletakkan kembali handphoneku di dalam tas dan mencoba untuk tidur sebelum sampai rumah. Belum sempat aku tertidur, handphoneku kembali berdering dan bukan dari Fella, tapi dari pacarnya, Ari.
    “Ada apa ya Ari nelpon, tumben!”
Aku kemudian mengangkat telpon dari Ari dengan rasa penasaran.
    “Hallo, ada apa Ri?”
Nafas Ari terdengar naik turun. Dalam keadaan panik, dia menceritakan kalau Fella sekarang di rumah sakit.   
    “Fella pulang bareng Ray, lalu mereka berhenti sebentar di sebuah pemakaman keluarga yang jauh dari pemukiman warga. Ray kemudian ke luar, sedang Fella tetap berada di dalam mobil. Di dalam mobil, tanpa sengaja Fella melihat sebuah buku terbuka dan Fella sangat terkejut ketika membaca salah satu kalimat di dalamnya yang mengatakan bahwa dia akan membunuh kamu! Ray kemudian memergoki Fella yang sedang membaca buku pribadinya. Fella kemudian berlari ke luar, namun Ray menusuknya. Kemudian ada tukang ojek yang tidak sengaja melihat kejadian itu, dan berniat menolong Fella. Ray kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kencang. Fella tadi sempat bercerita sebelum jatuh pingsan. Sekarang keadaan Fella kritis, sedangkan Ray masih menjadi buronan polisi.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika mendengar penjelasan dari Ari. Aku hanya bisa diam dan memejamkan mataku. Semua terasa berat dan berputar.
    Isak tangis terdengar begitu menyayat hati tatkala aku tiba di Rumah sakit. Fella ternyata tidak bisa diselamatkan. Aku tertegun cukup lama di sana. Aku kemudian berjalan menuju pojok paling sepi di luar rumah sakit itu. Aku pejamkan mata dan menghela nafas panjang. Aku biarkan diriku larut dalam keheningan sesaat.
    “Hati-hati dengan cinta!”
Aku kemudian mendengar suara Teresa tidak jauh dari tempat aku berdiri, namun aku masih diam dan mencoba berbaur dengan suasana yang aku rasakan saat ini.
    “Cinta yang berakhir dengan keinginan untuk memiliki, ujungnya hanya akan menyakiti.”
Aku tetap memejamkan mata dan kembali mendengarkan suara-suara yang kini tengah menasehatiku.
    “Bukankah cinta adalah kebebasan?”
Aku kemudian membuka mataku dan melihat sekelilingku yang sudah gelap. Aku kemudian duduk dan kembali memejamkan mata. Aku masih ingin mendengar kembali suara-suara itu.
    “Kamu takut dengan Ray? Coba kamu ambil cermin dan bercerminlah! Bukankah awal mula dia berbuat seperti itu karena keinginan yang kuat untuk memiliki? Bukankah kamu bisa saja seperti dia jika kamu terus menerus memupuk dendam karena keingininan kamu untuk memiliki tidak bisa terwujud?”
Aku kembali membuka mataku dan memahami kalimat terakhir yang baru saja aku dengar. Aku kemudian menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
    “Aku tidak mungkin bersikap sadis seperti dia!”
    “Tidak ada kata sadis, kejam ataupun keji, tapi semuanya bermula dari keinginan untuk memiliki. Jadi, hati-hati!”
***
Bersambung..