Tuesday, June 14, 2016

Dua Pasang Mata (Bagian Dua)



    “Coba kamu pajang foto orang-orang yang saat ini kamu rindukan!”
Aku tersenyum kembali mengingat kenangan dengan Teresa beberapa waktu lalu, tatkala dia menyuruhku memajang foto orang-orang yang aku rindukan secara berurut.
    “Kenapa kamu memajang dua foto itu secara sejajar?”
Dia lalu menunjuk foto yang menurutnya salah posisi.
    “Ya karena aku ga bisa mengurutkannya. Aku sama-sama merindukan mereka berdua. Kadar kerinduannya sama!”
    “BOHONG!”
Dia lalu menyela ucapanku seketika dan melepas kedua foto itu.
    “Siapa yang paling membuatmu sakit hati dari kedua foto ini?”
Mataku lalu berkaca-kaca dan menujuk salah satu foto yang dia pegang. Dia lantas menaruh foto tersebut diurutan paling atas yang berarti dialah orang yang sebenarnya paling aku rindukan.
    “Heyyy, tunggu! Aku bilang tadi kalau dia yang paling membuatku sakit hati, aku benci sama dia, tapi ga bisa aku pungkiri kalau aku juga rindu, tapi kamu salah meletakkan foto itu disitu! Yang benar saja!”
Aku menghentikan gerakannya, sedangkan dia malah tersenyum mendengar ucapanku yang bernada protes.
    “Dalamnya luka adalah tanda dari dalamnya cinta! Jadi kalau kamu mengaku sangat terluka, itu berarti cinta kamu sangat dalam!”
Aku diam seketika mendengar ucapannya. Aku tatap lekat-lekat foto yang kini terpampang di depan mataku, lalu terbayang beberapa kenangan dengannya, namun lebih banyak kenangan pahit yang aku ingat tentangnya, sehingga rasa bencipun kembali menggurita.
    “Suatu hari, kalau kamu merindukan orang lain yang fotonya belum terpajang di sini, coba kamu pajang, kemudian tutup mata kamu dan bayangkan kalau orang tersebut benar-benar berada di depanmu, lalu bicaralah dan utarakan apa yang ingin kamu sampaikan kepadanya!”
***
    Sepekan sudah sejak kepergiannya, aku lalu memajang fotonya di tempat aku memajang foto orang-orang yang aku rindukan. Aku lalu memejamkan mata, membayangkan kalau Teresa ada di depan mataku, lalu aku mencoba berkomunikasi dengannya.
    “Apa sekarang kamu merindukan aku?”
Tiba-tiba suaranya memecah keheningan. Aku masih sulit untuk berkata-kata, karena masih bingung dengan apa yang ingin aku sampaikan.
    “Iya, aku merasa kehilangan!”
Dia lalu berjalan mendekat dan menatap kedua mataku lekat.
    “Ada yang ingin kamu tanyakan atau ceritakan?”
    “Dimana ujung dari rasa rindu??”
Dia menggeleng pelan mendengar pertanyaanku.
    “Rindu tidak pernah memiliki ujung. Rindu itu seperti roda, berputar, tidak ada ujungnya, namun selalu berpindah posisi. Hari ini mungkin kamu sangat merindukan seseorang, kemudian setelahnya kamu merindukan orang lain, namun bukan berarti kerinduan terhadap orang pertama itu hilang, melainkan hanya berpindah posisi, suatu hari bisa jadi kamu sangat merindukannya lagi. Rindu itu berputar, naik dan turun, jadi jangan tanyakan dimana ujungnya!”
Aku diam sesaat mendengar jawabannya. Aku kemudian mencerna kembali apa yang dia katakan tentang rindu yang tidak pernah memiliki ujung, benarkah? Hatiku kemudian mengiyakan apa yang diucapkannya. Kalau rindu memiliki ujung, mungkin rindu terhadap orang yang sama tidak akan muncul lagi dikemudian hari. Benar juga, pikirku.
    “Lalu, apa kamu tau kenapa ada benci?”
Dia lalu tersenyum kembali mendengar pertanyaanku yang masih diliputi banyak rasa ingin tahu.
    “Benci adalah bentuk lain dari cinta!”
    “Maksudnya??”
Aku menatapnya tak mengerti. Aku merasa heran dengan perkataannya yang menyamaratakan antara benci dan cinta, padahal dua kata itu sangat berlainan sama sekali.
    “Seperti gelap yang sebenarnya tidak ada! Gelap hanyalah sebuah kondisi dari ketiadaan cahaya, begitupun dengan benci, benci adalah sebuah kondisi dari ketiadaan cinta! Saat kamu melihat kabut tebal, mata kamu mungkin hanya akan melihat warna putih disekelilingnya, padahal dibalik kabut itu, ada gunung menjulang yang berdiri tegak dan begitu kokoh. Begitu pula dengan benci, benci ibarat kabut yang menghalangi rasa cinta yang sebenarnya lebih besar dari rasa benci itu sendiri.”
Aku mengangguk mendengar ucapannya, namun aku masih belum puas dengan jawaban itu.
    “Tapi, kenapa terkadang benci justru mengalahkan rasa cinta? Coba kamu lihat dua foto itu! Kebencian telah membuat mereka menjauh, padahal sebelumnya ada cinta yang besar!”
    “Apakah dengan menjauh, kamu mengira bahwa rasa cinta mereka surut dan telah berubah menjadi kebencian?”
Dia balik melontarkan pertanyaan ketika mendengar ucapanku. Dia kemudian tertawa lebar dan menatapku dengan tatapan serius.
    “Itulah kesalahanmu hingga detik ini! Kamu keliru dalam memahami sesuatu. Manusia itu unik, perasaannya juga tidak kalah unik. Selama ini kamu berpikir jika orang yang dulu mencintai kamu, yang setiap harinya berkomunikasi denganmu dan selalu memberikan perhatian, lalu kemudian terjadi konflik yang mengakibatkan mereka menghilang dan menjaga jarak denganmu, apa lantas mereka mutlak dikatakan membenci kamu dan rasa cintanya terhadapmu tidak tersisa sedikitpun? TIDAK. Kamu ga akan pernah benar-benar tau tentang apa yang mereka rasakan saat ini, karena bisa jadi mereka juga sangat merindukanmu, namun mungkin mereka memilih diam dan menjauh agar rasa cinta tidak kembali menimbulkan luka. Jadi mungkin diam adalah cara terbaik untuk menjaga kemurnian dari cinta.”
Aku kemudian menitikkan airmata dan mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah terjadi dengan orang-orang yang aku rindukan saat ini.
    “Tapi aku sangat merindukan mereka! Kerinduan ga mungkin bisa diobati hanya dengan didiamkan. Aku bukan patung, aku rindu sebuah keberadaan, bukan hanya diam! Aku ga bisa terus menerus menatap fotonya dan berbicara sendiri seperti orang gila! Aku merindukan mereka, tapi mereka begitu egois dengan diri mereka sendiri, padahal dulu ketika mereka mengatakan rindu terhadapku, aku lalu menemui mereka, tapi kamu lihat yang mereka lakukan terhadapku sekarang? Mereka justru mengabaikan perasaanku!”
Tangisku kini pecah dan aku mulai tidak bisa mengontrol lagi perasaanku. Semuanya campur aduk. Hingga kemudian mataku terbuka dan menyadari bahwa sedari tadi aku tengah berbicara sendiri dan aku hanya ditemani oleh beberapa foto dari orang-orang yang saat ini aku rindukan.
Bersambung..

No comments:

Post a Comment