“Aku udah sampe nih, rumahnya yang mana ya?”
Setelah mengirimkan pesan singkat kepada Acha, aku lalu menunggunya di bawah pohon tepat disebuah halaman rumah yang sepertinya tidak berpenghuni.
“Masuk aja ke dalam, rumah aku itu yang ga ada pagarnya. Aku ganti baju dulu sebentar ya.”
“Maksud dia, rumahnya adalah rumah yang aku lihat ini?”
Tanyaku dalam hati. Aku masih tidak percaya bahwa rumah Acha itu adalah rumah yang tadi aku kira rumah kosong. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam halaman rumahnya.
Mataku kemudian melihat-lihat ke sekeliling halaman rumah ini dan aku sungguh tidak menyangka kalau rumah ini berpenghuni. Pohon-pohon besar dan rindang berjejer di sana, rumput-rumput liar dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa pernah dipotong, bunga-bunga di dalam pot tua tampak layu dan sepertinya tidak pernah di siram. Bukan hanya itu, cat rumah ini juga tampak memudar dan sebagian telah mengelupas, langit-langit rumahnya juga sebagian hampir roboh. Aku tertegun sesaat dan masih merasa tidak percaya bahwa dia tinggal di sini.
“Udah lama? Ayo masuk!”
Sebuah suara kemudian membuyarkan lamunanku. Aku melihat Acha sudah berada di depan pintu seraya tersenyum dan mempersilahkan aku untuk masuk.
“Belum lama ko, baru aja nyampe.”
Aku kemudian membuka sepatu dan masuk ke dalam rumahnya. Mataku dengan spontan melihat ke sekeliling rumah ini dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat sebuah pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan yang aku lihat di luar. Kursi-kursi jati berwana gelap tampak berdebu di ruangan tamu, juga sebuah kursi goyang dan sepeda anak yang sudah di penuhi sarang laba-laba. Lantai marmer yang aku pijak saat ini juga penuh dengan debu.
Ukuran rumah ini sebenarnya lumayan besar dan bertingkat dua, hanya saja aku merasa seperti berada disebuah rumah kosong karena melihat keadaannya yang seperti ini.
Aroma mistis kemudian aku rasakan ketika sepasang mata memandangku tajam seraya menghampiri aku yang tengah duduk tidak jauh dari situ. Sepasang mata itu adalah milik seekor kucing hitam milik Acha.
“Ya beginilah keadaan aku! Oya Itu foto keluargaku”
Acha kemudian memulai pembicaraan dan kemudian menunjuk sebuah foto keluarga yang tepat berada di sebelahnya. Aku mengamati foto yang dimaksud oleh Acha dan sepertinya hanya foto itu satu-satunya yang berada di ruang tamu ini, dan tidak ada hiasan-hiasan dinding lainnya.
“Sekarang keluarga pada kemana? Rasanya sepi banget dari tadi. Aku sempet ngira ini rumah kosong lho.”
Tanpa berbasa basi, aku kemudian menanyakan keberadaan keluarganya kepada Acha, namun Acha malah tersenyum dan terdiam cukup lama.
“Ibu udah meninggal dan ayah sekarang tinggal di Sumatera dengan istri barunya, sedangkan saudara-saudaraku entah kemana, sudah tidak ada kabar lagi. Jadi, aku tinggal sendirian di sini.”
“Sendirian??”
Acha mengangguk pelan.
Pikiranku kemudian melayang kemana-mana. Aku masih ingat perkenalan pertamaku dengan Acha sekitar seminggu yang lalu ketika kita sama-sama mengikuti sebuah seminar. Mulanya dia bertanya tentang kampusku, lalu dia terkejut mendengar nama kampus itu dan kemudian mulai bercerita bahwa mantan kekasihnya adalah salah satu dosen di sana. Aku pun mengenal dosen yang dia maksud tersebut. Jadilah obrolan aku dan Acha berlanjut setelah pembicaraan mengenai dosen tersebut, termasuk mengenai alasan Acha tidak menikah sampai sekarang dan alasan dia adalah karena dia tidak bisa melupakan cinta pertamanya. Acha kemudian menanyakan usiaku saat ini dan aku menjawabnya, namun sebaliknya, ketika aku menanyakan usia dia, dia hanya diam. Namun, aku memperkirakan bahwa usia dia di atas empat puluh tahun, sesuai dengan usia dosen yang merupakan mantan pacarnya, karena sebelumnya Acha bercerita bahwa usia dia dengan dosen tersebut sama.
“Kok melamun?”
Suara Acha kemudian membuyarkan kembali lamunanku.
“Aku ga nyangka aja kalau kamu tinggal sendirian dan jauh dari sanak saudara. Mungkin kalau aku di posisi kamu, aku akan merasa sangat kesepian.”
Acha kemudian tersenyum seraya mengelus kucing hitamnya.
“Ya mau gimana lagi. Namanya hidup ga selalu sesuai dengan yang kita mau. Kesepian itu pasti, tapi kadang kala kita memang butuh sepi dan sunyi untuk bisa mengenal diri kita sendiri.”
Aku menatap Acha dengan simpati. Aku lalu membayangkan diriku sendiri yang seringkali mengeluh sangat kesepian, padahal aku masih memiliki orang tua dan sanak saudara.
“Apa kamu ga takut tinggal sendirian di sini?”
Acha kemudian tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia lalu berdiri dan menatap kearah jendela.
“Ga ada yang lebih aku takutkan lagi selain takut kehilangan.”
“Takut kehilangan??”
Dengan rasa penasaran, aku menanyakan tentang pernyataan mengenai rasa takut kehilangan yang Acha maksud, karena aku berpikir dia telah kehilangan banyak hal, seperti kehilangan kekasih dan keluarganya, sehingga sekarang dia tinggal dalam kesendirian.
“Aku takut kehilangan kendali terhadap diri aku sendiri!”
Aku kemudian mengangguk pelan mendengar jawabannya dan mulai merenungkan kalimat yang baru saja dia ucapkan.
“Ketika kita kehilangan kendali terhadap diri sendiri, maka kita akan mudah terombang-ambing ketika menghadapi pasang surut kehidupan. Ketika kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi, bisa saja kita nekat untuk bunuh diri karena kita sudah tidak bisa menahan kesedihan yang berlarut-larut. Lalu kalau sudah begitu, untuk apa kita hidup? Kendali terhadap diri sendiri itu penting, agar kita bisa bertahan menghadapi ketidakpastian hidup ini.”
***
Kata-kata Acha tentang pengendalian diri masih terngiang di telingaku, bagaimana tidak, selama ini aku nyaris kehilangan itu. Aku terombang-ambing dalam pusara nafsu, kesedihan, pemujaan cinta dan kesepian. Aku seperti kehilangan waktu untuk mengenali diriku lebih jauh. Padahal, pengenalan terhadap diri sendiri itu sangat penting, sebelum kita mengenal dan memahami orang lain lebih jauh.
“Aku kangen banget sama kamu :’( ”
Tiba-tiba aku melihat sebuah email dari DS yang mengatakan bahwa dia merindukan aku. Aku kemudian membaca email itu sekali lagi dengan sedikit rasa senang. Namun kemudian aku tertegun sejenak dan mencoba menenangkan perasaanku yang selalu membuncah tiba-tiba.
“Coba bersikap biasa, tenangkan diri! Bukankah dia sering mempermainkan perasaan kamu? Dia yang mulanya menumbuhkan rasa, kemudian setelah kamu ada rasa terhadap dia, dia kemudian meninggalkan kamu. Jadi, kamu harus tegas terhadap diri kamu sendiri! Jangan biarkan perasaan kamu diombang-ambing oleh orang lain!”
Suara hatiku kemudian berbicara seakan tengah menasehatiku. Aku merenungkannya sesaat, namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat bahagia mengetahui bahwa dia merindukanku. Aku kemudian tidak menggubris suara hatiku sendiri dan mulai membalas email dari dia.
“Apa kamu kira aku ga kangen sama kamu? ☹”
Aku tak sabar menunggu kembali jawaban dari dia. Selalu seperti ini ketika dia tiba-tiba menghubungi aku, sehingga aku bingung dengan perasaan yang aku rasakan terhadapnya.
“Maaf.”
Singkat, padat dan tidak jelas, hanya itu balasan dari dia, padahal aku menunggu kalimat berbaris-baris yang sudah lama aku rindukan darinya.
***
“Apa kamu yakin akan pergi?”
Suara ibu kemudian menyadarkanku bahwa keberadaanku di sini tinggal beberapa minggu lagi sebelum aku menetap di Indiana, Amerika Serikat. Aku kemudian menatap ibu haru. Aku tahu bahwa aku tidak bisa jauh darinya. Aku tidak bisa setegar Acha yang hidup sendiri tanpa sebuah keluarga. Aku kemudian teringat sebuah lirik lagu yang mengatakan bahwa,
“Wanita mana yang sanggup hidup sendiri?”
Aku tertunduk lesu dan dipenuhi oleh kebimbangan.
“Coba dipikir-pikir lagi!”
Suara ibu kemudian menyadarkanku bahwa dia tidak ingin jauh dari aku. Aku lalu menatap wajahnya dengan penuh kerinduan, kerinduan yang jarang sekali aku rasakan sebelumnya.
Aku kemudian membayangkan kondisi Acha yang sudah tidak memiliki ibu dan diusianya yang semakin tua, dia tidak memiliki suami dan juga jauh dari sanak saudara. Apa jadinya jika Aku berada diposisi dia? Aku kemudian menitikkan airmata dan lalu merasa bersyukur masih bisa melihat ibuku hingga detik ini.
***
Ketika jarak membentangkan sayapnya, bersiap-siaplah kau berkecamuk dengan sebuah rasa yang mereka namakan rindu. Apa yang kau takutkan dengan rindu? Padahal rindu adalah sebuah lipatan, dimana bentangan dari jarak lalu terasa dekat dan setelah itu kalian akan tahu bagaimana rasa itu terhubung.
Maka, bersiap-siaplah dengan putaran waktu, karena setiap putarannya akan memberikan kejutan-kejutan yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Untuk apa berlari? Jika dengan berlari kita akan semakin cepat untuk berpisah. Jadi cobalah untuk berjalan, karena dengan berjalan, kau akan tahu apa itu ritme dari sebuah keberadaan.
Aku ingin dekat, kau ingin dekat, kita ingin dekat. Tapi, sedekat apa? Padahal kita tahu bahwa dalam sebuah kedekatan yang sangat dekat sekalipun kita butuh jarak, untuk saling melihat satu sama lain.
Aku bersemayam dalam bias matamu. Dalam binar-binar haru tatkala hatimu berkecamuk dengan rasa rindu.
Bercerminlah maka kau akan melihat bahwa aku tengah menatapmu. Aku adalah kalimat dari surat-suratmu yang tak pernah kau tuliskan. Aku adalah pantulan cahaya dari cahaya kasih sayangmu yang semakin jauh kau lupakan. Aku adalah bagian dari dalam dirimu. Aku adalah luapan dari rasamu yang tak pernah kau utarakan.
Aku ingin menatapmu dari dekat, sekali lagi sebelum kelak kau hanya mampu aku lihat sebagai siluet dari kenangan yang tak mampu lagi aku kenang.
Aku telah menuliskannya, satu persatu dari kalimat yang mampu aku tuliskan. Di sana ada namamu, pun ada namanya. Kau, dia dan sekelumit kisah-kisah rahasia kita.
Dalam nafas yang masih hilir mudik hingga detik ini, aku ingin menghembuskannya pada raut wajahmu yang beku agar kelak saat takdir menuliskan kita untuk bertemu, aku mampu merasakan kehangatan yang penuh, tanpa ada lagi sikap diammu yang dilanda acuh.
Biru..sekali lagi terimakasih untuk nama itu.
Aku lipat surat itu dan lalu memasukannya ke dalam sebuah balon untuk kemudian aku lepaskan. Aku lalu menatap balon itu yang terbang semakin jauh, dan tidak bisa lagi dijangkau oleh kedua mataku.
“Surat untuk siapa?”
Aku lalu menoleh seraya tersenyum.
“Untuk DS.”
***
Bersambung..
No comments:
Post a Comment